Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 02

Matahari hanya setengah panas seperti biasanya matahari pukul delapan pagi, tetapi situasi cukup panas untuk membuatnya bingung dan pusing. Detektif Cheon Mu Young berdiri di dalam gang, kakinya bergerak-gerak gelisah. Dia belum makan apa pun selama dua belas jam terakhir, atau minum kopi selama empat puluh delapan jam. Tidak lemah. Hanya pusing, dan dia tahu itu adalah salah satu resiko pekerjaannya sebagai detektif kepolisian.

Pemandangan dalam gang cukup menyakitkan mata yang memandang. Mayat dalam kubangan darah, senjata pisau panjang tergeletak di tanah basah sisa hujan semalam, diduga sebagai alat pembunuhan. Tulisan dalam huruf kapital besar di dinding, carut marut oleh darah, menunjukkan hal-hal yang hanyut di benaknya. Cheon Mu Young dalam setelan celana panjang hitam dan blazer hitam serta id tergantung di dada, menatap penuh selidik pada tulisan di dinding.

FOX

Apa maksudnya?

"Aahh, berandal sok ..." ia mendesis, menyapu rambut ke belakang.

Dia baru saja membentak seorang wartawan yang merangsek melintasi garis kuning polisi untuk memotret jasad korban. Dia masih kesal karena hal itu, dan tulisan pamer di dinding membuatnya makin kesal.

"Dia membunuh, meninggalkan senjata di tempat kejadian, lantas menuliskan identitas dirinya di dinding dengan media darah. Apa pendapatmu?" Seorang rekannya, polisi wanita dengan pangkat super intenden, Ryu Hong Joo, muncul di sampingnya dan bertanya.

Mu Young menggeleng, "Dia jelas-jelas ingin menyombongkan hasil karyanya, sekaligus menantang polisi."

Hong Joo menatap tubuh korban. Dua orang petugas forensik tengah bertugas di lokasi. Laporan lengkap tentang detail korban serta kematiannya masih harus menunggu.

"Pria bertopi merah," Hong Joo bergumam, seperti teringat sesuatu, dia menoleh pada Mu Young.
"Apa kau ingat kasus terakhir yang kita tangani. Seorang korban perempuan berhasil lolos dari maut. Dia tidak melihat pelakunya, tapi mengatakan bahwa sosok yang menyerang adalah pria bertopi merah."

Bayangan dari kasus itu timbul tenggelam dalam benak Mu Young, muncul ke permukaan, kemudian memudar. Kejadian itu sekitar sebulan lalu dan merupakan kasus pembunuhan yang ketiga di distrik yang merupakan yuridiksinya. Mereka memburu pelaku dengan petunjuk minimum. Pria bertopi merah bisa siapa saja, dan penyelidikan nyaris buntu. Kini, kata-kata dari Hong Joo tampak penting daripada tulisan yang tidak masuk akal, karena dia tidak pernah tertarik pada aksi pamer si pelaku pembunuhan.

"Apa kau baru akan mengatakan bahwa pelaku ini telah membantu polisi dengan membunuh pria bertopi merah?"

Hong Joo mengangkat bahu. Tidak berani melanjutkan karena khawatir rekannya tersinggung.

"Polisi menangkap penjahat, bukan membunuh," gumam Mu Young, mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik dari saku blazernya.

"Kau tahu dengan jelas bahwa unit kita kesulitan menangkap pembunuh bertopi merah. Sekarang, jika mayat di depan kita memang bajingan itu, apa itu bukannya membantu tugas kita?" ujar Hong Joo.

"Jadi aku harus mengucapkan terima kasih?" Mu Young mengurungkan niat menyalakan rokok, menoleh pada wanita cantik di sampingnya dengan raut cemberut. Yang ditatap berpura-pura tidak tahu.

"Lagi pula," lanjut Mu Young, "Forensik belum memberikan laporan apa pun terkait identitas mayat ini."

Hong Joo hanya menghela nafas. Tepat saat Mu Young menyelesaikan kalimatnya, seorang petugas Forensik berjalan mendekat.

"Apa yang kau dapatkan?" tanya Mu Young.

Petugas itu seorang wanita seusianya, bernama Seunwoo.

"Untuk saat ini tidak banyak. Korban seorang pria berusia tiga puluh lima atau lebih sedikit. Penyebab kematian akibat tiga sayatan dalam di leher yang dilakukan secara cepat dan akurat, memutus urat dan saluran pernafasan. Waktu kematian sekitar pukul sepuluh tadi malam, atau bisa jadi lebih dari itu."

"Identitasnya?"

"Kami sedang menunggu laporan dari data basis."

"Apakah ada sidik jari di pisau?"

Dokter Seunwoo menggeleng, "Kami tidak menemukan sidik jari. Kalaupun ada yang tersisa, hujan mungkin telah menghancurkannya."

Mu Young menoleh sekilas pada Hong Joo, "Kita harus menunggu apakah korban ini adalah pelaku pembunuhan sebelumnya yang disebut pria bertopi merah."

Hong Joo mengangkat alis, "Setidaknya jalan kita tidak buntu. Pelaku bernama Fox bisa jadi memberikan titik terang secara tidak langsung."

"Kau tampaknya sudah menjadi penggemar orang ini," Mu Young mencibir gusar. Dia kehilangan mood untuk merokok dan memasukkan kembali rokok serta pemantiknya ke dalam saku.

"Lupakan dia sementara. Sekarang, apa kau pernah bertanya-tanya apa yang dilakukan pria bertopi merah ini dalam gang pada pukul sepuluh malam?"

"Entahlah, mungkin dia pulang dari suatu tempat."

Dalam situasi seperti ini, peran seorang saksi sangat penting. Mu Young mengawasi setiap tiang atau atap, kalau-kalau ada kamera pengawas terpasang di satu titik. Tetapi nihil.

"Apakah sama sekali tidak ada saksi?" ia bergumam pada diri sendiri sambil memutar pandang pada beberapa warga yang berkerumun untuk menonton tempat kejadian. Para wartawan menyiarkan berita sela secara darurat, sisanya masih berusaha mengambil potret.

Tiba-tiba tatapan tajam Mu Young menangkap satu sosok wanita tua di antara bahu-bahu tinggi para pria. Sebenarnya dia tidak bermaksud menatap nenek itu, tetapi reaksinya yang cemas dan waswas mengundangnya perhatian. Sewaktu kedua mata bertemu tanpa sengaja, nenek tua itu terkesiap dan mundur dengan cepat.

Mu Young menyeringai, "Sepertinya kita menemui seseorang."

Dia bergegas menghampiri kerumunan untuk mencapai nenek mencurigakan barusan.

"Hei, siapa yang kau maksud?" Hong Joo menyusul di belakangnya.

Si nenek berjalan tergesa menyusuri jalan kecil menuju rumahnya.

"Nyonya, tunggu!" Mu Young menekan suaranya agar tidak terlalu tegas. Dia khawatir hanya akan membuat si nenek semakin takut.

"Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal," ujar Mu Young lagi, masih membuntuti si nenek.

"Tolong kerja samanya. Aku tahu Anda menyaksikan sesuatu tadi malam."

Kalimat itu membuat si nenek menghentikan langkah, sadar bahwa polisi sudah mencurigai dirinya lewat insting tajam mereka. Tak ada gunanya menghindar. Mu Young dan Hong Joo berhenti sejarak satu langkah di hadapan si nenek, mengatur nafasnya sejenak.

"Kami butuh pernyataan siapa pun yang mungkin menjadi saksi peristiwa semalam," Mu Young memperlihatkan id-nya.

"Aku Cheon Mu Young. Detektif polisi. Bisa kita bicara?"

Wajah si nenek masih pucat, tapi dia mengangguk ragu-ragu. Suaranya serak saat berkata, "Mari kita bicara di rumahku."

Lima menit kemudian, mereka duduk di kursi rotan di teras rumah nenek itu.

"Baiklah. Kami hanya ingin mengajukan pertanyaan sederhana. Apa yang kau lihat tadi malam?"

"Semalam," si nenek mulai mengingat sesuatu.

"Aku baru saja membetulkan posisi gorden karena itu sedikit terbuka, sewaktu seorang gadis melintas di jalan depan rumah."

"Gadis?" ulang Mu Young.

Si nenek mengangguk, "Sebenarnya aku pernah melihat dia sebelumnya. Dia mungkin tinggal tidak jauh dari kawasan ini. Dari pakaian yang dikenakan, sepertinya dia masih seorang mahasiswa. Dia berjalan terburu-buru. Malam gelap dan hujan, tak ada siapa pun di jalan. Tapi kemudian ..."

Mu Young dan Hong Joo menatap mata kelabu si nenek yang menerawang.

"Seorang pria bertopi merah berjalan mengikuti gadis itu. Dia tidak membawa payung, dan lidah topi membuat wajahnya membayang gelap. Jarak jendela rumah dengan jalan cukup jauh, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas."

"Apakah pria itu terkesan membuntuti gadis itu?"

Si nenek menggeleng tidak yakin, "Entahlah ... tetapi dari caranya bergegas, gadis itu nampak ketakutan. Awalnya aku pikir dia tergesa karena hujan. Tapi jika dipikirkan sekarang, nampaknya dia memang tengah menghindari seseorang yang menguntitnya."

Mu Young dan Hong Joo saling berpandangan.

"Pria bertopi merah ditemukan tewas dan waktu kematiannya berkisar antara pukul sepuluh atau lebih. Anda ingat pukul berapa saat melihat gadis itu melintas?"

Si nenek menatap kedua petugas dengan pandangan nanar.

"Ya, sekitar pukul sepuluh."

Ada keraguan dalam benak Mu Young. Jika disesuaikan dengan keterangan si nenek, itu pun jika saksi berkata yang sebenarnya, akan ada satu tersangka dalam peristiwa pembunuhan ini.

Gadis itu.

Dia menoleh pada Hong Joo.
"Apa kau memikirkan apa yang aku pikirkan?"

Rekannya menggeleng perlahan, nampak bingung. "Menyayat leher korban dengan kuat, menulis di tembok dengan darah. Aku tidak yakin itu dilakukan oleh seorang gadis. Jangan lupakan ukuran fisik mereka. Kau yakin gadis itu bisa melumpuhkannya, pria bertopi merah memiliki tubuh tinggi tegap. Ingat itu," gumam Hong Joo dalam suara rendah.

Mu Young sudah memikirkan itu sejak awal, dan ia setuju dengan pendapat rekannya. Kini ia beralih pada si nenek.

"Apa Anda ingat ciri-ciri gadis itu, atau pakaian yang dia kenakan?"

Si nenek tidak langsung mengangguk, sebaliknya ia nampak ragu.
"Kalian berdua tidak akan menangkapnya bukan? Aku khawatir kau menjadikan gadis itu sebagai tersangka pembunuhan."

"Untuk saat ini, semua kemungkinan bisa terjadi. Karena itu kau harus bekerja sama agar kami bisa mencari gadis itu. Jika dia bukan pelakunya, mungkin saja dia melihat pelaku yang sesungguhnya."

Keheningan melingkupi mereka sebelum si nenek akhirnya setuju. Dia menjelaskan ciri-ciri fisik gadis itu yang bisa ia ingat dalam momen singkat semalam.

🌟🌟🌟


Yuki Music Studio

Deru musisi yang berlatih membuat semua suara lain menjadi tidak mungkin untuk didengar dengan jelas. Anggota orkestra nyaris memenuhi ruangan luas studio musik yang berada di kawasan kreatif kota Seoul. Semua memainkan alat musik mereka dalam ritme tidak beraturan, memainkan simfoni yang sulit.

"Harap berhenti sebentar!" Sebuah suara mengatasi kebisingan di ruangan. Seorang wanita berpenampilan elegan, berusia awal lima puluhan dan merias diri dengan sentuhan natural yang cantik, memasuki ruangan dan menyapukan pandangan pada sekitar dua belas anggota peserta les musik di bawah asuhannya. Dia Nyonya Yuki, pemilik studio musik.

Beberapa orang di dalam ruangan yang terdiri dari lima orang gadis dan tujuh orang pemuda untuk detik detik pertama mengabaikan seruan si wanita cantik. Baru sewaktu Nyonya Yuki berseru kedua kalinya, mereka menatap padanya berbarengan.

"Ada apa dengan kekacauan ini?" gerutu Nyonya Yuki.

"Anda tahu guru musik kami sudah beberapa hari tidak hadir," seorang anggota menyahut. Dia gadis cantik berambut panjang dan memiliki senyum manis bernama Yeo Hee.

Keheningan menyelimuti semua orang yang berada di sana. Nyonya Yuki tersenyum miring, mengangguk-angguk perlahan kemudian melanjutkan bicara penuh percaya diri.

"Guru musik kalian sudah memutuskan untuk memgundurkan diri," dia berkata lambat-lambat namun tegas.

"Akan butuh waktu mencari pengganti yang seimbang. Untuk sementara, aku telah menyiapkan satu guru pengganti. Dia seorang professor muda lulusan Stanford, seorang penisnis dan memilih mengajar musik untuk mengisi waktu luang."

Para peserta les berpandangan satu sama lain.

"Satu kehormatan bagi kalian bisa menjadi peserta didiknya," lanjut Nyonya Yuki penuh kebanggaan.

"Apakah dia begitu hebat?" Seorang pemuda yang berdiri dekat piano menyela. Dia Lee Rang, mahasiswa yang baru saja lulus dari universitas ternama. Dalam waktu dekat ini dia belum mendapatkan pekerjaan yang cocok dan memutuskan menemani Yeo Hee, sahabatnya, mengikuti les musik.

"Ah, ya tentu saja. Kau tampaknya penasaran bukan?" Nyonya Yuki melirik genit, membuat Lee Rang memutar bola mata.

"Ayo, kenalkan dia pada kami," pinta anggota lain.

Nyonya Yuki lagi-lagi melemparkan senyum menjengkelkan. Nampaknya dia menikmati rasa ingin tahu para peserta. Kembali, keheningan memenuhi seisi ruangan, berpasang-pasang mata menunggu sang maestro masuk dengan penuh harap. Lee Rang menyesuaikan posisi sedikit bersandar pada piano dan menghela nafas saat Nyonya Yuki mengumumkan seseorang masuk dari pintu yang mengayun.

"Tuan Lee Yeon, silakan masuk. Aku akan memperkenalkan Anda pada para peserta les."

Setiap kepala menoleh serentak ke arah pintu seperti sekawanan bebek yang terlatih. Guru musik itu berjalan anggun memasuki ruangan, menghampiri Nyonya Yuki dengan senyum manis di wajahnya yang tampan. Dia berjabat tangan dengan Nyonya Yuki dengan cara yang anggun dan sopan. Senyum itu masih belum memudar sewaktu dia menghadap pada sekelompok anak muda yang tercengang, membungkuk dan melambai sedikit pada mereka.

Lee Rang masih tidak mau menatap berlama-lama pada sang maestro tampan. Tetapi ya---sesuatu menarik perhatiannya tanpa bisa dikendalikan. Akhirnya dia menoleh sekali lagi pada pria tampan di tengah ruangan, dan tanpa dia duga Tuan Lee Yeon pun menoleh dan menatap padanya. Wajah pria itu putih pucat, mengingatkan Rang pada sosok vampir dalam film. Terlebih bibirnya terlalu merah, sangat cocok jika dia benar-benar seorang penghisap darah. Pandangan mereka bertemu di udara yang hening pada siang hari yang cerah. Senyuman Lee Yeon pun semakin lebar, dan misterius.
Rang tiba-tiba jadi merinding.

🌟🌟🌟

(Tbc)

Falling For The Villain
Shenshen_88

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro