penyergapan
maaf ralat Si gadis diganti sang putri
Hujan turun semakin deras diikuti gemuruh petir Yang tak masuk akal mengukung langit sedemikian rupa, aku masih bertengger diatas dahan diam menatap lembah itu untuk waktu Yang Lama, dibawah sana panji panji perang berkibar tertiup angin badai Yang berhembus kesegala arah, ini tidak masuk akal, firasatku mengatakan sesuatu Yang buruk akan terjadi tapi visi ku tidak melihat apapun, apa ini?
Kawan semoga kau sadar akan keganjilan Yang terjadi, karena visi ku tidak melihat apapun.
...
Sang jenderal menghempaskan punggung nya bersandar pada sofa, Sang Putri meletakan pedang nya.
"Apa kau mau minum? " Sang Putri beranjak dari tempat nya, menyeduh secangkir teh hijau untuk Sang jenderal.
"Entah mengapa malam ini visi ku tidak merasakan apapun, aku merasa sangat damai" Sang Putri meletakan teko dan cangkir itu diatas nampan, lalu melenggang anggun menenteng nampan.
Duarr......
Nampan itu terjatuh disertai Sang Putri Yang terduduk lemas, Sang Jenderal bergegas menghampiri Sang Putri Yang memegangi kepalanya nya
"Kenapa sayang? Apa kau baik baik saja? " Sang Putri menatap Sang Jenderal tak percaya.
"Ki.. Kita diperdaya" Sang Jenderal terdiam, fikiran nya sedang merangkai berbagai keganjilan Yang ia bari sadari, lalu kesadaran itu datang menyambar.
"Bagaimana bisa visi mu tak mengatakan apapun? " Sang Putri mencoba berdiri.
"Mereka menggunakan kabut Hecate, visi ku dan yang lain pasti tertutup" Sang Jenderal segera berlari keluar tendanya, hujan mengguyur wajahnya Yang menatap langit, ia meraih terompet, meniupnya untuk mengumpulkan para jenderalnya, tapi Yang keluar bukan suara berat tiupan terompet, melainkan dentuman meriam Yang diarahkan menuju perkemahannya.
...
"Se se bagian n n jenderal ki kita telah gu gu gur, vi vi visi ku terhalang en entah ke ke napa" Wanita bertudung itu tampak ketakutan meringkuk di dekat Sang Jenderal dan berberapa jenderalnya Yang sedang berlindung dari lesatan anak panah.
"Tentu saja kau tak melihat mereka, mereka menipu visi mu dengan kabut Hecate" Ungkap Sang Putri kesal. Ia menggengam tombaknya erat siaga disisi sang jenderal. Mereka terjebak ditengah medan pembantaian, pasukannya tak siap dengan serangan mendadak ini, Sang jenderal menarik nafas dalam-dalam, tak ada yang bisa ia lakukan selain "itu" ia menatap kekasihnya, pandangan mereka bertemu.
"Tidak!, Tidak ku izinkan kau menggunakan "itu", kau sudah berjanji!" Rengek Sang Putri.
"Apa kau bisa memberi solusi selain itu?" Sang Putri memandang jenderal kesal. Ia benar, tak ada jalan lain.
"Apa perintah mu tuan?"Jenderal-jenderalnya menunggu perintah, ia menatap kekasihnya lagi. Sang Putri mengamati keadaan diluar, jerit kesakitan pasukannya diluar membuat ia tak tahan lagi.
Sang putri menatap sang jenderal masam, mengangguk pelan. Sang Jenderal menggenggam kalungnya, permata itu berpendar ungu selagi ia merapalkan puisi kuno yang telah lama dilupakan, kabut hitam keluar dari permatanya, menyelimuti kedua lengan Sang Jenderal.
"Bersiaplah!" Sang Jenderal melesat keluar dari tempat berlindungnya, tangannya yang diselimuti kabut menghantam tanah, hantaman itu meledakkan kabut yang ada ditangannya, melontarkan panah-panah yang mengincarnya kembali pada pemanahnya.
Suara terompet membelah keheningan malam. Diikuti angin yang berhembus dahsyat pasukan penyergap turun dari sisi-sisi lembah siap menghancurkan sisa sisa pasukan Sang Jenderal.
"Prajurit yang tersisa! Buat formasi bertahan Di sekitar Sang Jenderal!" Berberapa prajurit muncul dari puing-puing perkemahan, tapi jumlah mereka tak banyak, berberapa perwira yang mengikutinya mengambil posisi siaga di sekitar Sang Jenderal, Sang Putri memunggungi Sang Jenderal, ikut pula bersiaga.
"Pergilah kalian semua!" Titah Sang Jenderal, mereka terkejut mendengar hal itu.
"Biar kualihkan perhatian mereka, pastikan Sang putri dapat kembali dengan selamat" Sang Putri berbalik menatap Sang Jenderal marah.
"Tidak tidak tidak akan kubiarkan kau melakukan itu lagi, lalu siapa yang akan menjaga mu nanti?" Para perwiranya ikut membenarkan argument Sang Putri. Sang Jenderal menatap mereka satu persatu.
"Aku... menghargai tekad kalian, tapi aku tak bisa...." Belum selesai Sang Jenderal berbicara Sang putri memeluknya. Menangis dalam dekapan Sang Jenderal.
"Aku tak ingin kehilangan mu..." Sang Jenderal menghela nafas.
"Baiklah... kalian semua telah memilih untuk tetap bersama ku, maka mala mini bertempurlah disisiku sebagai seorang kawan" Jeritan perang sisa sisa pasukan itu sempat membuat pasukan penyergap ragu untuk menyerang, Sang Jenderal menghunus pedang hitam nya, menyerukan perlawanan terakhir pada mereka yang menentang dirinya.
Ia dipanggil Sang Jenderal bukan tanpa alasan...
...
Baker menyelinap diantara prajuritnya yang sedang dibantai oleh pasuka Sang Jenderal, jumlah yang kecil tak menjadi masalah bagi pasukan Sang Jenderal, mereka terbiasa akan hal ini.
Perwira yang menyertai Sang Jenderal tersisa dua, Baker tersenyum licik, ia merapal mantra stealth, bergerak dalam senyap secepat mungkin mengincar Sang Jenderal yang tidak jauh darinya, ketika jarak mereka tinggal berberapa meter Baker menghunus pedang khusus yang ia dapatkan hanya untuk membunuh Sang Jenderal. Ia menyeringai, pertahanan Sang Jenderal terbuka, kesempatan ini tidak akan ia sia-siakan, Baker melesat menyasar punggung Sang Jenderal.
Crash!!!
Sang Jenderal berbalik, jantungnya serasa tiba tiba berhenti ketika ia melihat tubuh Sang Putri yang jatuh dibelakang nya, ia menangkap tubuh Sang Putri yang bersimbah darah, Ia menatap nanar pedang yang menusuk Sang Putri. Sang Putri memasang badan melindungi Sang Jenderal dari serangan Baker.
Sang Putri terkulai dalam pelukan Sang Jenderal, darah mengalir dari lukanya yang tak mungkin disembuhkan. Mengetahui dirinya salah target Baker lari sejauh-jauhnya dari Sang Jenderal.
"Mengapa kau melakukan itu?!"Ucap Sang Jenderal lirih, Sang Putri membelai lembut pipi Sang Jenderal, wajahnya semakin pucat seiring memudarnya kehidupan dalam dirinya.
"Me..melindungimu tentu saja..."Sang Jenderal menatap mata indah Sang Putri yang kian meredup.
"Kau tau kan, aku bisa menahan itu?" Sang Putri tersenyum lembut, menggeleng.
"Kau tak akan selamat..."
"Lantas mengapa kau yang harus tertikam?! kenapa tak kau biarkan aku yang mati melindungi mu?! Tak ada gunanya aku hidup" Tanya Sang Jenderal putus asa, Sang Putri menggeleng sekali lagi, ia mengusap air mata Sang Jenderal.
"Tersenyumlah... Karena kau yang akan merubah dunia..."Sang jenderal berusaha tersenyum meski itu menyayat hatinya, Sang Putri tersenyum untuk terakhir kalinya.
"Bagus...pertahankan itu... hingga kita... bertemu lagi..."Matanya terpejam, genggamannya melemah diikuti isak tangis Sang Jenderal yang memilukan, ia mendekap tubuh Sang Putri yang sudah tak bernyawa.
...
Pagi itu mentari dengan indahnya terbit dari timur, seperti biasa menyambut pagi dengan cahaya hangatnya yang menembus dedaunan dan embun pagi sisa hujan tadi malam.
Aku menikmati tarian alam itu sejenak hingga matahari terlihat agak tinggi dari tempatku bertengger, aku turun perlahan mendekati Sang Jenderal yang sedang tertunduk dibawah pohon akasia yang sudah berumur cukup tua tepat diatas slaah satu sisi lembah.
"Aku turut berduka cita kawan.." Tanpa menoleh pun Sang Jenderal sudah tau siapa yang datang. Ia hanya diam tak menggubrisku, aku tau ia butuh waktu untuk menerima hal ini, tapi ada hal yang harus aku sampaikan.
"Ada sesuatu yang harus kau ketahui kawan ku..." Ia menoleh sedikit.
"Sampaikan.." Suaranya berat tanda bahwa ia sedang bersedih.
"Baker dan pasukannya telah tiba di kerajaan, dan dengan trik yang sama mereka menaklukan ibukota dalam semalam, taka da armada yang sanggup menahan mereka.." Sang Jenderal mengangkat tangannya menyuruh ku untuk diam.
"Aku tak peduli... " Hening sesaat.
"Aku bertanya-tanya, apa yang kau lakukan semalaman bertengger diatas sana?" Sang Jenderal menatap ku tajam.
"Aku merasakan ada yang ganjil, entah apa itu jadi kuputuskan untuk memeriksanya secara langsung"
"Apa yang kau temukan?" Aku dapat merasakan tekanan yang luar biasa dari Sang Jenderal.
"Entahlah aku juga tidak mengerti, tapi sesuatu telah merubah apa yang aku atur untukmu..."
"APA?! Kau mengatur semua ini dengan kertas ajaib konyol mu itu?" Teriak Sang Jenderal marah, ia mengarahkan tinjunya pada ku.
"Tu..tunggu bukan itu maksudku... aku mengatur agar kisah mu bahagia... kumohon dengarkan aku..TOLONG BERHENTI!" Aku tak menyangka ia akan mencoba untuk menyerangku. Untungnya ia berhenti tepat sebelum tinjunya menghantam ku.
"Apa maksudmu dengan "Sesuatu merubah apa yang aku atur"?" Aku mundur berberapa langkah darinya, mencoba menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan padanya.
"Maksudku... ada sesuatu yang telah membaca kertas-kertasku dan ia tidak ingin itu terjadi, lalu dengan berbagai intefrensi akhirnya ia berhasil merubah apa yang ku atur di kertas itu"
"Siapa yang mungkin menjadi "Sesuatu" ini?" Aku mengedikkan bahu.
"Dewa mungkin.. entahlah, sesuatu itu bisa memiliki kekuatan setara dewa ataupun dewa itu sendiri" Ia menghembuskan nafas panjang, aku tak tau apa artinya itu tapi aku merasa tidak enak.
"Terimakasih informasinya" Ia berjalan meninggalkan ku tanpa berkata apapun.
"Hey?! Apa yang akan kau lakukan?!" Teriak ku, aku berusaha mensejajari langkahnya.
"Balas dendam.." Ucapnya lirih, kesadaran itu menyambar fikiran ku. Siapa yang berani merubah kertas-kertasku adalah orang yang dapat memasuki perpustakaan agung milikku, dan Sang Jenderal sudah menyadarinya sedari awal.
"Tunggu, kuperingatkan kau Jenderal! Jangan berani-beraninya kau..."Ia berhenti, berbalik menatapku dengan tatapan paling mengerikan yang pernah aku lihat.
"Apa?... apa kau juga mau menentangku?" Bisikannya terdengar menusuk.
'Bukan begitu, tapi..." Belum selesai aku berbicara, cahaya pagi telah menghilang digantikan kabut keputusasaan, aku terbutakan bahkan dengan visi seorang dewa.
"Jenderal!" Aku mencoba memanggil dirinya, tapi ia hanya berbisik.
"Mereka akan membayar ini.." Dan menghilang.
...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro