Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Hero

Happy Reading

Vote komen skuy

••••••••

Tiga minggupun berlalu begitu saja, perihal Soojin yang bertemu Jukyung ataupun Seojun yang berbicara seolah-olah dia juga sama dengan Soojin—mengalami pengulangan ataupun kesempatan kedua, berlalu begitu saja.

Soojin mengabaikan, padahal dia sungguh penasaran, apalagi tentang Seojun, beberapa kali gadis pintar itu terlihat mengawasi Seojun yang tidak mengalami perubahan banyak, pemuda itu tampak santai, bermain dengan Chorong dan lainnya, ataupun menatap tajam Suho.

Benarkah Seojun sama seperti dirinya?

Jika seperti itu seharusnya Seojun sudah tau bahwa Suho tidak bersalah mengenai kematian Seyeon, ataupun pemuda itu lebih giat dalam hal mendekati Im Jukyung, tapi masalahnya Han Seojun terlihat seperti biasanya.

Tunggu, memangnya Han Seojun seperti biasanya itu bagaimana?

Soojin jadi bingung, bahkan sedikit mengeluhkan lehernya yang menjadi pegal akibat terus menerus melihat kebelakang, mengawasi meja si bad boy itu.

Jika Soojin tiba-tiba bertanya kepada Seojun mengenai pengulangan pada dirinya, rasanya tidak masuk akal, bisa jadi pemuda itu malah menatapnya aneh atau lebih parah membawanya ke rumah sakit kejiwaan, lagipula mana ada yang percaya bahwa dia mengulangi hidupnya, bahkan dia sendiri belum juga percaya dan menemukan mengapa dia bisa kembali ke masa-masa ini.

Kemudian Han Jonwoo-Seonsaengnim memasuki ruangan kelas, dia berdehem hanya untuk membuat atensinya terlihat oleh murid-muridnya yang seperti asyik pada dunia mereka.

"Selamat siang anak-anak, bapak ingin membagikan hasil latihan pada kalian," ujar Jonwoo dengan senyuman.

Murid-murid langsung mendesah, lebih tepatnya merasa dunia kesenangan mereka akan segera hilang jika hasilnya kurang memuaskan.

"Tapi sebelum itu bapak akan mengumumkan untuk hasil latihan terbaik, selamat untuk Lee Suho," tambah Jonwoo dengan tepuk tangan disusul dengan yang lain.

Soojin melihat Suho yang mengambil kertas latihannya, dulu, dia selalu iri dan bertanya-tanya mengapa pemuda itu selalu mendapatkan nilai yang bagus, sedangkan dirinya? Yang selalu mendapatkan les bahkan tidak ada kesempatan untuk bermain, selalu berada pada posisi kedua. Miris.

Tapi itu dulu, sebelum dia sadar bahwa jika hanya membandingkan dengan orang, maka akan menyebabkan kefrustasian yang mendalam.

"Kang Soojin,"

Soojin berdiri, dia menghampiri guru Han dan mengambil kertas ulangannya, hanya ada satu kesalahan dan itu membuatnya tersenyum. Ternyata dirinya masih pintar seperti dulu, walau dia tau setelah melihat hasil ini,  pasti ayahnya akan memakinya atau bahkan memukulnya—tidak mentolerir bahwa ini hanya latihan.

Setelah itu murid-murid dibagikan hasil latihannya, ada yang bersorak gembira karena dapat bagus ataupun ada yang lesu karena mendapat hasil yang tidak memuaskan.

"Han Seojun." Kini giliran Seojun yang dipanggil, pemuda itu berjalan santai sebelum mendapat gelengan dari pak guru Han Jonwoo.

"Coba lagi, Seojun, perbaiki nilaimu," ujar pak guru Han sembari menepuk-nepuk pundak muridnya itu.

Soojin melihat Seojun yang tampak santai berjalan dan kembali duduk di bangkunya, dalam hati bertanya-tanya apakah pemuda itu tidak gelisah dengan nilainya? Walaupun nanti dia akan menjadi trainee, setidaknya buatlah nilainya membaik.

"Baiklah anak-anak kita mulai pelajarannya."

Setelah itu pelajaran dimulai, Soojin kembali fokus kepada apa yang diterangkan dan mencatatnya, seharusnya dia tidak perlu mengomentari hidup seseorang jika dirinya sendiri masih belum jelas.

•••••••

"Soojin-ah."

Soojin menoleh dan mendapati Jukyung berlari kearahnya. "Ayo pulang bareng," ujar perempuan cantik itu, yang langsung diangguki oleh Soojin.

Mereka berdua berjalan menuju halte bus, sesekali mengobrol. "Kau selalu sibuk ya," ucap Jukyung.

"Ya, ayahku selalu memberikanku pelajaran tambahan, jadi aku harus mengikutinya," tanggap Soojin, walaupun dia juga ingin sekali bermain bersama teman-temannya.

"Sepertinya ibuku juga akan memberikanku les," ujar Jukyung sedikit helaan nafas, membuat Soojin menepuk-nepuk bahu perempuan itu.

"Ayo belajar denganku, atau dengan Suho, kau tinggal memilih," ajak Soojin.

"Sooah juga mengajakku, tapi aku masih ragu," balas Jukyung, sungguh perempuan cantik itu ragu, apalagi jika ada Suho disana.

"Kita memang ada niat untuk belajar bersama, tapi untuk hari masih menyesuaikan," ungkap Soojin. "Coba pikirkan ya, selagi kita masih menentukkan hari," tambah perempuan itu lagi. Jukyung mengangguk dan tersenyum.

"Baiklah," ucap Jukyung akhirnya.

Ketika bus tepat berhenti di depan mereka yang sedang menunggu di halte, mereka menaikinya dan duduk dikursi paling belakang.

"Untung saja bus tidak begitu ramai ya," ujar Jukyung yang duduk tepat disebelah Soojin.

Soojin mengangguk, entah mengapa kejadian ini terasa dejavu, atau memang sepertinya momen ini juga pernah terjadi, tapi Soojin lupa akan bagaimana nantinya, berhubung dia sudah banyak melewati adegan-adegan yang lebih penting dan membekas di memorinya, kapasitas memori manusiakan terbatas.

Kemudian bus berhenti dipemberhentian selanjutnya, beberapa orang naik dan Soojin tidak menyadari bahwa beberapa orang itu adalah Saemi dan dua orang temannya, kalau saja perempuan itu tidak menegur Soojin duluan.

"Perempuan sialan!"

Soojin menoleh mendapati umpatan dan suara yang dia kenal. Dia melihat Saemi menatap tajam kearahnya, begitupula teman-teman perempuan itu.

Sungguh sial harus bertemu di dalam bus seperti ini, tapi tidak mungkinkan jika perempuan bar-bar itu akan melakukan keributan di dalam bus? Berdoa saja.

"Kang Soojin, aku sudah tau namamu," desisnya penuh kemarahan.

"Lalu kalau kau sudah tau memangnya kenapa?" Balas Soojin dengan mata yang melihat kearah Saemi, sebenarnya dia juga tidak mau meladeni tapi setidaknya dia berusaha untuk membuat Saemi hanya berfokus padanya, karena ada Jukyung di sampingnya.

"Aku akan membuatmu menyesal," desis perempuan itu.

"Baiklah," ujar Soojin santai sembari menekan tombol pemberhentian bus untuk berhenti di halte selanjutnya. "Sekarang minggir," tambah Soojin lagi, dia melihat Jukyung yang bergetar disampingnya.

"Apa kau takut?"

Soojin mendecih, rasanya tangannya gatal untuk melayangkan satu pukulan kearah mulut perempuan dihadapannya ini, tapi dia harus tahan, akhirnya dia memutuskan untuk menarik Jukyung keluar bersamanya walaupun sebenarnya bukan itu pemberhentian mereka.

Mata Soojin melihat sekilas Saemi yang masih memelototinya di dalam bus ketika mereka turun, sepertinya perempuan itu akan mencari masalah lagi dengannya.

"K-Kenapa kau berurusan dengan S--orang yang tadi?" Tanya Jukyung, dilihat bagaimanapun perempuan itu sedang ketakutan. Soojin paham, jelas dia paham kalau Saemi adalah mimpi buruk seorang Jukyung.

"Hanya sebuah kesalahpahaman, orang seperti dia selalu mencari masalah," jelas Soojin, tangannya memegang bahu Jukyung. "Kau tidak apa-apa? Badanmu bergetar." Tanya Soojin memastikan, dia juga tidak tau mengapa harus berakting seolah-olah dirinya tidak mengetahui apa-apa.

"Y-Ya aku baik, tidak masalah, aku baik-baik saja," ucap Jukyung mengulang-ngulang bahwa dirinya baik-baik saja, perempuan itu melepas tangan Soojin yang sedang memegang bahunya.

"Aku pergi ya, sampai jumpa," ujar Jukyung, langkah perempuan itu terlihat gontai, bahkan Soojin tidak tau apakah perempuan itu fokus atau tidak.

"Im Jukyung, tunggu," panggil Soojin. Tapi tidak digubris oleh perempuan yang sudah berjalan tidak fokus, sebenarnya Soojin tidak ingin peduli tapi rasa bersalahnya lebih besar daripada ketidakpeduliannya, jadi dia memutuskan untuk mengejar perempuan itu dan menawarkan untuk mengantarnya pulang.

Mereka berjalan pulang dalam keheningan, hingga sampai disalah satu toko kecantikan pembuatan alis, Soojin sempat mengernyit dengan pikiran, mungkinkah Jukyung ketika merasa cemas jadi membuat alis?

Jukyung melihat kearah Soojin yang bingung. "Ini toko milik ibuku," ujarnya sebelum menggeser pintu toko tersebut.

"Aku pulang." Suara Jukyung ketika memasuki toko alis itu, Soojin mengikuti dari belakang, perempuan itu cukup terkejut dengan kehidupan temannya ini, dulu bahkan mereka hanya bermain-main dan bersenang-senang, Soojin belum sempat untuk ke rumah Jukyung ataupun ke toko milik ibunya.

"Eomma ada tamu?" Suara Jukyung membuatnya kembali fokus kearah depan, tepat kepada dua orang wanita yang Soojin yakini satu diantaranya adalah ibunya Jukyung.

"Kenapa kau kesini? Langsung saja pulang," ujar salah satu wanita berambut ikal diikat satu serta memakai bandana dikepalanya—ya, terlihat seperti itu.

"Aku ingin membantu eomma, tapi sepertinya ada tamu," ucap Jukyung menunduk sebagai sebuah salam untuk teman wanita ibunya.

"Apakah ini Im Jukyung, anak keduamu? Oh yaampun, dia cantik sekali," ungkap wanita itu dengan senyuman lembut.

Dua wanita itu saling tertawa, sebelum ibunya Jukyung melihat kearah Soojin. "Temanmu Jukyung? Kenapa kau bawa kemari, tidak langsung ke rumah?" Tanyanya lagi yang membuat Jukyung menghela nafas.

"Tadikan aku sudah jawab eomma, dan dia temanku, Kang Soojin."

"Kang Soojin, bi." Soojin memperkenalkan diri.

"Baiklah, kalau begitu kalian bisa pergi, Jukyung, ajak dia ke rumah kita," ujar ibunya Jukyung. Akan tetapi Soojin langsung menolak dengan halus.

"Maafkan aku, tapi aku harus segera pulang, aku hanya mengantar Jukyung," ujar Soojin dengan senyuman tidak enak karena baru datang sudah langsung pergi.

"Secepat itu? Sayang sekali,"

"Ah benar juga, bukankah kau ada les private hari ini?" Tanya Jukyung yang membuat Soojin baru ingat, dia melihat arlojinya dan baru sadar bahwa lesnya sudah lewat beberapa menit.

"Iya, sudah lewat beberapa menit," ujar Soojin tanpa sadar, membuat Jukyung dan dua wanita didalam ruangan itu menatapnya khawatir.

"Kalau begitu aku pamit, Jukyung, bibi," pamit Soojin, diangguki oleh Jukyung dan juga ibunya, lalu perempuan itu segera keluar.

"Sepertinya aku juga pamit," ucap teman ibunya Jukyung.

"Kau pulang naik apa Mihyang-ah, apakah anakmu menjemputmu?" Tanya ibunya Jukyung kepada temannya itu.

Mihyang mengangguk, "Iya, sepertinya dia sudah dekat sini,"

Lee Hyunsook, atau ibunya Jukyung mengangguk. "Hati-hati, lain kali bawa anakmu kesini, aku ingin melihatnya," ujar Hyunsook yang langsung diangguki oleh wanita dihadapannya, setelah itu Mihyang keluar dari toko tersebut.

••••••

Soojin melihat ponselnya dan mendesah, ibu dan gurunya sudah me nelepon, jika saja Soojin memutuskan untuk berlari, maka kemungkinan pelajarannya akan ditambah, sudah begitu guru private-nya sepertinya sangat betah atau tidak ada kerjaan lain, jadi senang-senang saja mendapat pelajaran tambahan, mengingat itu membuat Soojin pusing.

"Apa aku bolos saja?" Batin Soojin. Rasanya sungguh menyenangkan untuk melakukan hal itu.

Ketika sudah sampai di halte bus dan masih menimbang ingin bolos atau tidak, dari sudut mata Soojin dia bisa melihat teman ibunya Jukyung ternyata berada di belakangnya sedang memegang ponsel, sepertinya ingin menelepon seseorang.

Kemudian pandangan Soojin mengarah kembali pada jalanan, sebelum sebuah motor melesat dengan cepat menuju kearahnya, disusul oleh sebuah teriakkan.

"Tasku!"

Soojin tanpa banyak berpikir segera melepas salah satu sepatunya dan memperhitungkan jarak lemparannya, hingga dengan kekuatan penuh melempar sepatunya tersebut—beruntung karena pengemudi motor tersebut tidak jauh dari Soojin, masih bisa digapai oleh jarak lemparannya.

Dan secara kebetulan berhasil tepat mengenai pengemudi motor hingga oleng dan jatuh di bahu jalan, Soojin langsung berlari dengan salah satu kaki tanpa sepatu.

Ketika pengemudi dan salah satu temannya berusaha kabur, Soojin langsung mencegahnya, dia menatap dua laki-laki itu.

"Minggir!" Ucap salah satu yang membawa tas.

"Kembalikan tas itu, jika kau ingin aku menyingkir," balas Soojin yang langsung mendapat tawa dari dua laki-laki itu.

"Sebaiknya kau minggir, sebelum kita melukaimu," ancam salah satu diantara mereka.

Soojin menaikkan salah satu sudut bibirnya. "Silahkan saja"

Setelah mengucapkan itu laki-laki yang mengemudi motor maju dan melayangkan satu tinju kearah Soojin, dengan mudahnya perempuan itu menghindar dan memberikan pukulan melalui lutut kaki kanannya kepada perut laki-laki itu, hingga mengaduh seperti kehilangan masa depan.

Laki-laki itu jatuh sambil memegangi perutnya, membuat temannya yang sedang memegang tas dibuat terkejut, tentu saja kesempatan itu dilihat oleh Soojin, sehingga dia menendang tangan laki-laki itu dan membuat tasnya terlepas dari genggaman, jatuh cukup jauh dari mereka.

Laki-laki itu mendecih sekaligus mengumpat, Soojin masih mengawasi dan betapa terkejutnya dia melihat bahwa laki-laki itu mengeluarkan pisau dari saku jaketnya. Ingatkan Soojin jika mereka ini adalah jambret, jadi pisau adalah senjata terakhir mereka.

Tanpa banyak bicara, laki-laki itu berlari kearahnya membuat Soojin bersiap, pisau mengarah padanya, tepat pada arah perut, langsung saja ditahan oleh tangan kanan Soojin yang memegang kuat pergelangan tangan laki-laki dihadapannya, tapi tentu saja mau bagaimanapun tenaga laki-laki itu jauh lebih kuat daripada perempuan, apalagi untuk pelajar sepertinya, jika dibandingkan dengan tubuh tentu saja, tenaga terakhir Soojin adalah melindungi perutnya dari pisau menggunakan tangan kirinya, hingga telapak tangan kiri tergores cukup dalam, sebuah pekikan terdengar dari arah belakang—Soojin melupakan keberadaan teman ibunya Jukyung.

Suara derap langkah terdengar serta bunyi sirine polisi, tentu saja membuat dua laki-laki itu panik, satu diantaranya pergi terlebih dahulu tanpa membawa motor karena terlanjur panik dan satu lagi yang masih memegang pisau sedikit teralihkan dan itu diambil kesempatan Soojin untuk memelintirnya dengan sisa-sisa tenaga tentunya, pisau terjatuh dengan darah yang menetes, laki-laki itu menjerit, polisi datang, dan lagi-lagi tanpa sadar Soojin melakukan suatu adegan action yang memukau.

Semua kejadian itu berakhir begitu saja setelah polisi berhasil menangkap dua pencuri itu, salah satu sudah berhasil dicegah oleh beberapa warga disana.

Soojin mendapat perawatan di salah satu klinik terdekat, menolak tidak ingin dibawa ke rumah sakit karena lukanya tidak begitu serius, tidak ada infeksi atau hal-hal semacamnya.

Teman ibunya Jukyung yang bernama Lee Mihyang sedari tadi menatapnya khawatir dan terus menerus berterimakasih.

"Kamu yakin tidak ingin dirawat di rumah sakit? Luka itu sepertinya cukup dalam." Mihyang masih menatap tangan Soojin sembari mereka berjalan keluar klinik.

"Tidak apa-apa bi, kata dokter ini tidak masalah jika perbannya selalu diganti," balas Soojin tersenyum, berusaha mengatakan tidak apa-apa.

"Tapi tetap saja, bibi berhutang banyak pada kamu, nak," ujar Mihyang. "Bagaimana jika bibi antar pulang? Ini sudah malam," tanya wanita cantik itu.

Soojin menggeleng. "Tidak apa-apa, aku bisa naik taxi, kalau bibi pulang naik apa?" Tanya Soojin berusaha mengalihkan.

"Ah itu.."

"Eomma!"

Soojin dan Mihyang melihat kearah suara berat tersebut dan betapa terkejutnya dia melihat siapa orang itu.

Han Seojun.

"Kenapa lama sekali, nak?" Tanya Mihyang, tapi bukannya membalas Seojun langsung memeriksa tubuh ibunya. "Baik-baik sajakan? Tidak ada yang tergores? Ada luka?" Tanya laki-laki itu beruntun, membuat Mihyang langsung memegang pundak anaknya.

"Ibu tidak apa-apa, barang-barang ibu juga semua selamat, semua karena nak Soojin," kerling Mihyang kearah Soojin yang masih mematung.

Seojun melihat perempuan disamping ibunya. "Jadi kau..." Mihyang langsung memeloti Seojun yang berbicara tidak sopan. Seojun langsung berdehem. "Terimakasih Kang Soojin," ucap Seojun dengan nada malas.

Soojin mengangguk. "Aku tidak tau jika ini ibumu," ucap perempuan itu yang membuat Seojun sedikit tersinggung. "Maksudmu aku tidak mirip?" Tanyanya galak.

"Mungkin,"

Seojun mendecih yang lagi-lagi mendapat cubitan dari ibunya. "Jadi kalian saling kenal?" Tanya Mihyang.

Seojun menggeleng.

Soojin mengangguk. "Kami satu kelas, dengan Jukyung juga," jawab Soojin.

Mihyang menutup mulutnya menggunakan tangan. "Astaga, aku tidak tau jika kamu adalah temannya Seojun, jika seperti itu, aku akan sangat berhutang padamu," ujar wanita itu.

Soojin langsung menggeleng. "Tidak apa-apa, aku juga sudah diobati, terimakasih bi," ucap Soojin. Dia benar-benar ekstra meyakinkan ibunya Seojun.

"Kalau begitu, aku mengundangmu untuk makan dirumah kami, katakan pada Seojun kapan harinya, aku benar-benar menunggu dan senang jika kamu menerimanya,"

Sebenarnya Soojin ingin menolak tapi dia tidak bisa karena melihat ibunya Seojun yang merasa bersalah dan tidak enak, akhirnya perempuan itu mengangguk.

"Akan aku usahakan," ucapnya.

Mihyang tersenyum, dia melihat Seojun yang sedari tadi hanya diam, sepertinya laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu.

"Seojun, kau bisa antarkan Soojin pulang ya, ibu akan naik taxi," perintah Mihyang.

Seojun protes begitupula Soojin yang menolak, tapi kali ini Mihyang tidak ingin dibantah, dia memanggil taxi yang melintasi mereka, dengan lambaian singkat sebelum masuk taxi, kemudian mobil itu melaju begitu saja.

Meninggalkan Seojun dan Soojin yang hanya saling pandang dan terdiam.

To be continued

Jika ada adegan action yang kurang bisa ditelaah, maafkan, karena authornya masih mempelajari pendeskripsian bertarung.

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Terimakasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro