Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Papa

Hari ini sekolah pulang cepat karena para guru tengah rapat untuk membahas ujian semester.

Hampir semua siswa sudah berlomba-lomba untuk pulang, berbeda dengan Safira yang masih memilih berada di ruang kelas sambil membaca buku. Tak lupa pula ia menyalakan musik sebagai teman untuk mengurangi keheningan.

Ia melirik ke arah jendela, cuaca cukup cerah hari ini, sinar mentari yang jatuh ke bumi belum terlalu terik. Tentu saja, ini masih pukul sepuluh pagi.

Ia kembali fokus membaca buku yang dipegangnya sampai sebuah keributan kecil membuyarkan semuanya.

Suara benda jatuh yang sangat kencang mengejutkan Safira, dengan tergesa gadis itu berjalan ke arah suara karena penasaran.

Ia menyembulkan kepalanya keluar kelas, menoleh ke kanan dan ke kiri. Dapat dilihatnya Nathan bersama dua orang lelaki yang tak Safira kenal. Salah satu lelaki itu jatuh terduduk sementara satu lagi berdiri di samping Nathan.

Setelah melihatnya Safira memilih berjalan kembali ke kelas, tetapi Nathan yang melihatnya langsung mencegah gadis itu.

"Safira!" panggilnya. Sebelum berlari ke arah gadis itu, Nathan membisikkan sesuatu ke lelaki yang ada di sampingnya.

Setelah lelaki tadi mengangguk paham, Nathan bergegas menyusul Safira. Keduanya berjalan masuk ke kelas bersama.

"Lo belum pulang?" tanya Nathan basa-basi.

"Ini mau pulang," katanya sambil merapikan isi tasnya.

"Gue anterin, ya?" tawar lelaki itu yang hanya dibalas dehaman oleh Safira.

Keduanya berjalan keluar dari gedung sekolah bersama. Safira memakai helm yang diberikan Nathan setelahnya keduanya naik.

"Oh, iya, lo udah nemu kerjaan baru belum, Saf?" tanya Nathan tiba-tiba.

Gadis itu menggeleng, dirinya memang sudah keluar dari pekerjaan yang lama karena tragedi yang sama. Orang-orang asing mencari Safira dan hendak membawa gadis itu pergi, Syukurlah Nathan selalu menolongnya.

Namun, lelaki itu masih penasaran sebenarnya siapa yang mengejar Safira dan apa tujuan mereka. Sayangnya gadis itu selalu bungkam jika ditanya.

"Nanti sore kita ke cafe temen gue, ada lowongan di sana siapa tahu cocok sama lo," usulnya.

Mata Safira berbinar mendengarnya, dengan semangat gadis itu mengiyakan tawaran dari Nathan.

Setelah pembicaraan mereka usai, Nathan mulai menyalakan mesin dan melajukan motornya menjauhi gedung sekolah.

Selama di perjalanan keduanya hanya diam, Safira memang melarang Nathan untuk mengajak dirinya berbincang ketika naik motor. Ia hanya takut jika lelaki itu tidak fokus pada jalanan dan berakhir dengan kecelakaan.

Sebenarnya jarak rumah Safira dekat dengan sekolah, tetapi Nathan malah memilih rute yang berputar. Safira mendengkus setelahnya.

Tak lama mereka sampai di rumah kost. Safira turun dan memberikan helm miliknya. "Makasih, Nath."

Nathan menerima helm Safira dan meletakkannya di belakang jok motor, mengedipkan salah satu matanya ke arah Safira. "Gue pulang dulu, nanti sore gue jemput jam empat."

Safira mengangguk dan tersenyum kecil, Nathan langsung mengusak rambut gadis itu lalu pergi.

Setelah memastikan Nathan menjauh, Safira masuk ke dalam rumah dan meletakkan alat sekolahnya lalu berganti baju.

Masih ada beberapa jam sebelum Nathan datang dan hal itu digunakan Safira untuk beristirahat sejenak. Ia merangkak menuju kasur dan membaringkan diri di sana, mulai memejamkan mata hingga akhirnya tertidur pulas.

**********

Suara ketukan pintu mengejutkan Safira yang baru selesai merias diri. Ia melirik jam dinding yang tertempel di tembok.

Jarum masih menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh menit. "Itu pasti Nathan," batin Safira berjalan menuju ke pintu dan membukanya.

"Nath, gak kecepー" Ucapannya terhenti setelah melihat siapa yang datang.

Seorang lelaki paruh baya dan tiga orang lelaki dengan pakaian serba hitam yang sering mengejar Safira.

Safira terkejut, kedua bola matanya membulat sempurna. "Paーpapa ...," lirihnya sangat pelan yang bahkan hampir seperti bisikan.

Seseorang yang disebut papa oleh Safira berjalan maju mendekat ke arah Safira dan diwaktu yang bersamaan Safira memundurkan langkahnya menjauh.

Safira mengangkat tangannya. "Stop! Berhenti di sana!"

"Fira, Papa kangen sama kamu, Nak," kata lelaki paruh baya tadi. Dari sorot matanya terlihat jika ia benar-benar merindukan putrinya.

Sudut bibir kanan Safira terangkat membentuk sebuah senyuman miring. "Kangen saya? Mungkin Anda salah orang."

Menghela napas panjang, lelaki paruh baya tadi kembali berujar, "Ayo pulang, Nak. Kamu gak kangen sama rumah? Gak kangen sama Papa?"

Lelaki itu kembali mencoba mendekat ke arah Safira tetapi gadis itu menahannya. "Berhenti, saya bilang berhenti di sana!"

Melihat lelaki yang notabenya adalah ayah biologisnya membuat dadanya sesak. Hanya kenangan pahit yang tersisa jika Safira berhadapan dengan ayahnya.

Sang ayah masih mencoba membujuk putrinya agar mau pulang bersama, tetapi Safira menolaknya mentah-mentah.

"Silakan pergi dari sini, saya sedang sibuk," sinis Safira.

"Jangan seperti anak kecil, Nak! Kita pulang, ya?" Sang Ayah masih berusaha membujuk.

"Pulang? Rumah saya di sini, jadi saya akan tetap di sini," kukuh Safira.

"Jangan keras kepala, lagipula apa kamu yakin betah tinggal di tempat sempit seperti ini? Kamu harus kerja buat penuhin semuanya sendiri sedangkan di rumah kamu bebas minta apa aja sama Papa, Nak. Kita pulang, ya?" Sang ayah masih tetap membujuk putrinya.

"Apa aja?" ulang Safira, sang ayah menganggukkan kepalanya.

"Kalau gitu Safira mau Papa ceraikan selingkuhan Papa itu dan usir dia dari rumah kita. Jika wanita ular itu masih di rumah maka Safira gak akan pernah mau pulang!" Senyuman yang tadinya terbit di wajah sang ayah kembali luntur ketika mendengar permintaan putrinya.

"Safira, apa Papa pernah mengajarkanmu berkata kasar?" bentak sang Ayah.

"Apa Anda pernah mengajari saya? Bukankah Anda terlalu sibuk dengan seingkuhan Anda?" Bibir Safira terangkat membentuk seringai kecil.

Sang Ayah sangat terkejut mendengar ucapan putrinya, ia layangkan sebuah tamparan yang membuat Safira memejamkan matanya.

Syukurlah ayah Safira menghentikan pergerakan tangannya di udara dan menghempaskannya ke bawah dengan kasar. Safira membuka kedua matanya.

"Safira tidak akan pernah sudi menginjakkan kaki di rumah yang seperti neraka itu lagi sampai kapan pun!" Suara Safira naik satu oktav ketika mengatakannya.

Hatinya sakit, dadanya sangat sesak. Ingin sekali ia menangis, air matanya sudah menggenang di pelupuk mata, tetapi Safira masih cukup kuat untuk menahannya. Ia tidak ingin menjadi gadis lemah lagi, ia tak akan menangis hanya karena hal sepele seperti ini.

"Kalau kamu gak mau, Papa terpaksa ajak kamu pulang dengan kekerasan." Safira terkejut mendengarnya.

Ketiga lelaki berseragam hitam tadi langsung menyeret Safira pergi, gadis itu berusaha keras untuk memberontak. Ia mencengkeram gagang pintu dengan kuat untuk bertahan, tetapi hasilnya sia-sia.

Ketiga orang itu terlalu kuat untuk ia hadapi sendiri. Tiba-tiba saja bayangan Nathan yang berhasil mengalahkan mereka muncul dalam benak Safira.

Jika saja Nathan ada di sana sekarang, mungkin saja lelaki itu bisa mengalahkan mereka lagi dan membawa Safira kabur dari sana, setidaknya itulah yang ada di pikiran Safira saat ini.

"Lepas! Anda tidak bisa memaksa saya. Lepas atau saya akan lapor polisi!" teriak Safira sambil terus mencoba meronta.

Namun hal yang dilakukannya hanyalah sia-sia. Mereka tidak mendengarkan ancaman Safira sama sekali.

Gadis itu benar-benar geram, tidak puaskah ayahnya itu melukai batinnya? Apakah kesengsaraan Safira selama tinggal di rumah itu tidak dapat dilihatnya?

Safira kini benar-benar lelah, ia sudah tak bisa menahan buliran bening yang sekarang mulai jatuh satu per satu membentuk sungai kecil menuruni pipinya.

"Berhenti! Lepaskan Safira!" teriak Nathan yang entah muncul dari mana.

"Siapa kamu? Jangan ikut campur urusan saya!" hardik lelaki paruh baya tadi.

"Gue pacarnya. Lepasin Safira sekarang atau kalian akan tahu akibatnya!" ancam Nathan.

Tetapi sepertinya ancaman itu tak berlaku untuk sang lelaki yang notabenya adalah ayah Safira.

Ia mengisyaratkan ketiga anak buahnya untuk menyerang Nathan. Awalnya mereka ragu karena sudah sering kalah dari Nathan, tetapi mereka tetap menyerang lelaki itu dengan cara keroyokan.

Nathan sempat tidak fokus karena mengkhawatirkan kondisi gadisnya dan akhirnya wajahnya terkena bogeman mentah dari salah satu mereka.

Tetapi lelaki itu tak menyerah. Ia dengan brutal menendang, meninju dan memukul lawannya hingga ketiganya keok.

Nathan langsung berlari ke arah Safira, menarik tangan gadis itu dan kabur bersama.

To be continue ....



Akhirnya terungkap siapa orang yang selalu ngejar Safira selama ini, trnyta suruhan bokapnya 😂😂

Gimana sama part ini? Greget gak?
Btw makasih krna kmren udh spam komen, mksih jg yg udh vote
meski ga sesuai target gpp, lah
besok ak up lg sebagai hadiah, hehe
baik, 'kan aku? canda :v😂😂

Oke deh gitu aja, happy reading and don't forget buat vote dan komen yang banyak
Papai

12/07/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro