Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[9] My Mommy


Gue sama sekali enggak sangka kalau Nyokap mainnya sampai sini. Gokil! Tapi enggak mungkin enggak gue sambut, kan?

"Rian lagi makan sama teman-teman," Segera gue salim dan kecup pipinya. Enggak peduli kalau nantinya mereka menatap dan memberi penilaian terhadap gue, bagi gue, wanita yang ada di depan gue ini ... surga. "Sini, Rian kenalkan. Acara di luar kantor, kok."

Dan benar saja, begitu semuanya gue perkenalkan Nyokap juga meringis memperhatikan kelakukan Nyokap yang kadang bikin tiba-tiba heboh. Kayak sekarang aja.

"Hayo, di antara semua gadis-gadis cantik ini mana yang pacarnya Rian."

Jelas semuanya tergelak. Malu-malu pula menatap Nyokap. Astaga. Disangkanya nanti gue benar-benar punya pacar di antara mereka. Sebelum Nyokap makin jadi, lebih baik gue pulang saja. Tetapi ada sesuatu yang harus gue urus dulu.

"Rin, ikut saya sebentar. Mommy tunggu sini dulu, ya. Nanti pulang bareng sama Rian."

Nyokap cuma ngangguk aja dan sementara Erin langsung menghampiri gue. Mengurus pembayaran yang mana gunanya Erin untuk mengecek semua menu yang sudah keluar. Jangan sampai ada yang kurang atau lebih bayar. Setelah semuanya beres, gue balik lagi di mana Nyokap malah asyik bercengkerama dengan mereka semua.

Agak enggak tega juga tapi mau gimana? "Mom?" panggil gue.

"Oh, sudah pacarannya?"

Gue melongo, Teddy malah mengerling jahil ke gue, sementara di samping gue si Erin nunduk.

"Pacaran apa? Erin ini asisten Rian di kantor. Mana ada hal seperti itu?"

"Pak Rian ini pemalu, Bu, kalau masalah hati."

Sahabat baik memang mulutnya selalu minta dijejal sama makanan yang banyak, ya? Mana Teddy ini. Sial banget dia.

"Benar begitu, Ted?"

"Tanya sama yang bersangkutan aja, Bu. Si Erin."

Gue tepuk jidat.

"Sudah-sudah. Erin malu ini. Enggak lihat mukanya kayak kepiting rebus?"

"Makanya dipublikasikan dong. Mumpung ada Tante dan tadi Tante bilang kepusingan nyariin Rian jodoh? Itu ada si Erin. Erin pasti mau, Nte," sambar Teddy. Bikin gue mendelik tajam ke arahnya tapi malah enggak digubris!

Ya Allah. Kalau benar apa yang Teddy bilang barusan, habis lah muka gue. Tapi enggak mungkin kalau Teddy bicara seperti itu tanpa informasi apa-apa dari Nyokap. Rasanya gue pengin banget segera menghilang dari ini.

Habis lah wibawa gue karena Nyokap.

"Kalau sudah pacaran Tante enggak mau ngejodoh-jodohin Rian lagi. Ngapain coba? Benar Nak Erin punya hubungan dengan anak Tante?"

Erin ditanya begitu makin nunduk, lah. Haduh ... Nyokap luar biasa banget. Ngapain juga dia ada di sini, sih?

"Semuanya, kami pamit pulang duluan, ya." Enggak perlu menunggu apa-apa lagi, segera saja gue gamit lengan Nyokap dan sedikit menariknya untuk menjauh. Nyokap malah tertawa saja. Dan nambahin gue makin malu. Oh ... bukan malu, sih, lebih ke arah enggak enak hati nantinya dengan Erin. Nyokap bilang, "Sampai ketemu lagi calon mantu."

Bukan gue kege-eran, ya, bukan. Sumpah, bukan. Tapi gue tau gelagat gadis yang naksir sama gue. Memang, gue tau Erin ini baik dan kadang gue salah juga, sih. Niat gue tanggapi kebaikannya dengan sesekali belikan dia sesuatu sebagai tentengan dari luar kantor, tapi sepertinya ditangapi lain oleh Erin.

Mau gimana lagi? Bukan Erin aja, sih, yang sering gue perlakukan seperti itu. Risa, Dania, Tsania, Tea, semuanya sering gue bawakan sesuatu. Bokap bilang, "Karyawan akan loyal ke kita kalau kita memperlakukan mereka dengan baik."

Itu saja yang pengin gue lakukan. Bukan mengaitkan hal yang gue kerjakan dengan hati. Enggak sama sekali. Tapi kalau Erin ini memang berbeda. Gue bisa merasakannya tapi gue enggak ada niat untuk membalas. Sumpah.

Pacaran satu kantor itu enggak asyik. Profesionalitasnya nanti dipertanyakan. Enggak deh. Gue sudah pusing sama banyak MOU juga klaim, enggak mau ditambah perkara ribetnya pacar yang ngambek karena tiba-tiba gue enggak balas pesannya. Lagian gue enggak minat pacaran, mungkin kalau memang gue sudah niat berhubungan menggunakan hati, gue cari istri aja langsung.

Tapi bukan jalur perjodohan, ya. Gue tolak!

Gue bisa cari sendiri!

"Mommy bikin aku malu aja," keluhku begitu tiba di area parkir. Yang gue ajak bicara malah tertawa.

"Mereka semua juga tau kalau lagi bercanda, Rian. Kamu kaku banget macam kanebo kering, eh ... Papa. Iya. Kamu mirip Papa. Enggak asyik. Dasar anak Papa," sungutnya.

Gue diam saja.

"Tapi yang namanya Erin manis juga." Nyokap mengerling gue dengan jahilnya. Matanya jenaka banget melihat ke arah gue. "Pantas kamu enggak selera dengan Andhrea. Padahal kalau menurut Mommy, Andhrea juara banget manisnya."

"Manis dari mana, sih, Mom? Make up tebal banget gitu, kok, di foto."

"Oh, kamu perhatiin juga?"

Bicara sama Nyokap ini harus diperjelas, pemirsa. Kalau enggak, bakalan kena kick terus sampai tersudut dan menyerah. Tipe ibu-ibu pantang menyerah dan kalah pokoknya Nyokap itu. "Gimana Rian enggak lihat, fotonya segede layar masuk ke ponsel, kok."

"Cantik, kan?"

Gue enggak jawab. Memilih memusatkan pikiran pada jalanan yang menyapa gue dengan kepadatannya. Beruntung gue sudah kenyang jadi kalau pulang agak kemalaman sampai di apartement, enggak kelaparan banget. Tapi ...

"Mommy sudah makan?"

"Sudah dong. Tadi itu Mommy habis bertemu Tante Mala. Lupa enggak?"

Berhubung banyak banget teman Nyokap yang gue temui sepanjang dirinya menjajakan diri gue sebagai jomlo ngenes di peredaran sosialnya, gue lupa sama si Tante Mala ini.

"Ih, kebiasaan. Itu, lho, yang anaknya jadi pengacara kondang. Nuri."

"Oh." Padahal gue enggak ingat sama sekali. Siapa Nuri itu?

"Oh, lupa? Atau ... oh, inget?" desak Nyokap yang bikin gue nyengir.

"Lupa, Mom. Banyak banget perempuan yang kenalan sama aku. Masa aku harus hapalkan nama ibu berikut anak gadisnya. Kalah pegawai sensus."

Nyokap tertawa. Ah ... indah banget pokoknya kalau sedang berdua dengan Nyokap. Mungkin ada benarnya yang tadi Nyokap keluhkan kalau Bokap adalah orang yang kaku. Beliau biasanya bicara mengenai hal-hal yang serius. Macam politik, ekonomi, sosial budaya, juga ... peliharaan ekstrimnya itu.

"Yah, pokoknya Tante Mala dan Nuri tadi itu. Mommy bertemu mereka. Ngobrol-ngobrol santai, lah. Sekarang Nuri sudah punya tunangan malah. Kamu nolak mulu, sih."

Gue berdecak. "Jodohnya cepat, kan? Dan bukan Rian itu berarti."

"Balik lagi ke topik utama. Gimana Andhrea di foto?"

Sebenarnya gue malas membahas ini tapi kalau gue enggak bicara pasti ditodong terus sampai Fortuner gue masuk ke basement apartement. Jadi gue pilih cara paling aman, "Iya, Mom. Cantik." Beres, kan?

"Tapi cantikan enggak pakai make up. Polosan gitu."

Gue enggak percaya. Sepintas ingatan gue akan foto gadis yang tengah duduk santai di kedai kopi, rambut panjang agak kemerahan juga bola mata kelabu yang gue yakin itu soft lens, terlalu terbiasa dengan make up. Alisnya saja rapi banget hasil perawatan salon. Gue yakin banget itu.

Dan kalau dilepas semua hal yang menempel di wajahnya, gue rasa enggak secantik ketika dia bermake-up. Gue bukan tengah memvonis untuk perempuan yang enggak pandai ber-make up. Justeru gue suka dengan mereka yang berani tampil menonjolkan sisi indah yang dipunya.

Ada wajah yang biasa saja begitu menggunakan make up, jadi wow. Bikin mata gue cemerlang. Macam si Dania itu. Kalau ke kantor selalu datang lebih pagi. Gue pernah datang sebelum dia dan cukup kaget melihat dia tanpa make up. Beda banget.

Ada wajah yang dasarnya menarik tinggal poles makin menarik macam Erin.

Tapi kalau pujian Nyokap justeru terbalik, gue sangsi lah. Gue enggak bilang Dania jelek, ya. Enggak. Bisa gue bilang, gue puji kemampuannya mengubah penampilan dengan make up, kok. Jadi ... kalau yang menggunakan make up bisa mengubah penampilan jadi lebih indah dipandang mata, kenapa yang melunturkan make up justeru Nyokap bilang malah lebih cantik?

Aneh, kan?

"Tadi Mommy bertemu Dhrea. Kasihan gadis itu."

Kening gue berkerut.

"Ibunya meninggal setahun lalu. Ingat yang Mommy tiba-tiba ke Jakarta? Sahabat Mommy meninggal?"

Gue ingat hari di mana Nyokap tiba-tiba muncul di apartement gue. Matanya memerah kayak habis nangis. Dan mendadak gue ingat sesuatu. "Jangan bilang aku ini dijodohkan karena pesan terakhir dari sahabat Mommy itu?"

Mata Nyokap mengedip dua kali. Lalu ... mengangguk sempurna. Bikin jantung gue enggak waras lagi berdetaknya.

"Itu sama aja aku dijual, Mom!"

Dan yang gue dapat? Nyokap ngakak parah. Astaga!

****

"Sebenarnya tujuan Mommy ke Jakarta ini ngapain, sih?" tanya gue di pagi harinya. Sejak Nyokap menertawakan tuduhan yang katanya enggak masuk akal dan berujung masuk akal itu, gue enggak mau membahasnya lagi.

Milih segera masuk kamar dan enggak keluar. Ceritanya ngambek. Biar saja. Sama Nyokap sendiri ini. Tapi begitu Nyokap beberapa kali ketuk kamar gue jelang jam sepuluh malam, gue bukakan dan berujung obrolan yang cukup seru terutama mengenai Andhrea ini.

Gue enggak dijodohkan karena wasiat sebelum Tante Rima meninggal. Enggak. Ini memang Nyokap yang kurang kerjaan saja menyodorkan nama gue seperti biasanya ke bursa pada orang tua yang pengin segera memungut gue jadi menantunya. Sayangnya, gue jual mahal. Selalu menolak karena memang enggak mau.

Atas dasar enggak enak dan patuh sama Nyokap saja gue terima perkenalan di awal. Sisanya? Pada kabur karena gue terlalu cuek. Terserah lah. Berkas komplain buat gue lebih berharga ketimbang mengikuti apa kemauan mereka, kok.

"Refreshing aja, sih. Tapi berhubung kemarin ketemu Andhrea, Mommy jadi pengin ke makam Tante Rima. Sayangnya kamu enggak bisa ikut, ya?"

Seperti biasa. Mata Nyokap sengaja dibuat selugu mungkin menatap gue. Sarat permohonan, belum lagi penuh rayuan. Enggak. Enggak. Kalau weekend mungkin gue kalah tapi ini hari kerja. Gue menang di atas rata-rata.

"Ya sudah, deh. Mommy juga dijemput Andhrea nanti."

Ya Allah, luaskan sabar di hati gue ini ngadepin Nyokap. Aamiinn.

"Berarti ide jodoh-jodohin sama Andhrea itu akal-akalan Mommy aja, kan?" Gue harus memastikan hal ini karena enggak mau ada gangguan lagi setelahnya.

"Bukan akal-akalan juga. Siapa tau kalian cocok. Entah kenapa, Mommy pengin banget punya mantu macam Andhrea."

Gue berdecak sebal. "Memang Mommy kenal sama dia sudah lama? Baru kenal satu hari itu sudah yakin banget kalau dia baik."

"Feeling seorang ibu itu jarang meleset, Nak."

Nah, Nyokap gue dalam mode serius. Bikin gue menelan ludah pelan dan agak-agak waspada.

"Dia anak yang baik, Yan. Santun pula. Di antara banyaknya anak gadis teman Mommy, Mommy sreg banget sama dia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro