Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[8] Shopping Time

Tak salah aku memilih menuruti apa yang Bu Nina bilang; belanja sayur mayor. Aku hanya mengekori BU Nina saja. Kalau ditanya sebuah pilihan, aku cari yang aman. Yang bisa semua orang nikmati. Mengamati ketika Bu Nina terlalu serius menimbang apa harus menyetok ikan juga daging.

"Stok aja, Bu. Setiap hari aku bekal saja biar maag-nya enggak kumat," kataku sedikit menggamit lengan Bu Nina yang tampak terperanjat karena tadinya aku ada di konter buah. Yang tepat di belakangnya.

"Alhamdulillah. Ibu bakalan bikin masakan yang enak-enak untuk Non bawa."

Aku tersenyum saja. Binar dan raut bingung yang tadi sempat hadir, mulai hilang dari wajahnya. Biasanya aku memang jarang sekali membawa bekal tapi makan malam, aku selalu di rumah. Bersama Mama dan disiapkan oleh Bu Nina yang memang khusus memasak di rumah utamaku di Pondok Indah.

Bukan tak ingin tapi aku lebih sering makan siang bersama klien. Dan kurasa, pekerjaan kali ini tak menuntutku banyak keluar ruangan. Hanya sesekali info Rian saat itu, pun kalau kondisinya urgent.

Papa tak pernah melarangku untuk bekerja di sana. Beliau hanya berpesan, Salim Grup kehilangan manager marketing yang handal macam diriku. Kapan pun aku mau, kursi manager marketing bisa kududuki kembali. Namun aku masih belum menginginkannya. Entah kapan niat itu kembali ada karena kegiatan menjadi seorang manager marketing selalu mengingatkan pada sosok yang aku kini kubenci.

Dua trolley sudah penuh isinya, di mana Pak Anwar ikut membantu mendorong mengelilingi area super market ini.

"Ini sudah semua?" tanyaku memastikan.

"Sudah, Non. InsyaAllah enggak ada yang tertinggal."

Aku mengangguk saja. Kukeluarkan dompet dan mengambil satu kartu, menyerahkannya segera pada Bu Nina dengan pin yang aku yakin beliau sudah hapal di luar kepala. "Aku masih mau keliling, ya. Ibu dan Bapak bayar dulu aja."

"Beres, Non. Nanti Bapak jemput di lobby aja, ya?'

Kembali anggukan kuberi. Melenggang ringan karena urusan belanja ini cukup menguras waktu. Kalau tenaga, tak banyak yang kukeluarkan kecuali kaki yang cukup pegal karena menemani Bu Nina mengisi keranjang cuku membuat betis agak kaku. Pertanda sekali kalau aku ini jarang bergerak. Kegiatanku memang tak jauh dari kamar dan taman juga dapur saja. Kurasa, aku harus kembali membiasakan diri.

Beruntung di dalam area supermarket, ada area yang menyajikan camilan dan bisa digunakan untuk istirahat sejenak. Memesan sosis bakar juga kentang goreng yang mana sebenarnya aku tak terlalu lapar—hanya lelah di bagian kaki—sebagai peneman rehatku di sini. Suasana supermarket pun tak terlalu ramai. Mungkin karena ini bukan hari weekend dan tanggal pertengahan. Biasanya mall meningkat jumlah pengunjungnya di jam dan waktu-waktu tertentu.

Aku memelajari hal itu ketika sering ke area mall yang dikelola Salim Grup di daerah Karawaci.

"Aduh!"

Aku menoleh segera di mana kulihat seorang ibu paruh baya yang tampak kesakitan saat seseorang yang mendorong trolley menabraknya. Buru-buru aku bangkit dari duduk dan menghampirinya. Orang yang menabrak tadi pun melakukan hal yang sama juga berulang kali meminta maaf.

"Iya-iya, saya tau kamu enggak sengaja," ringisnya sedikit membungkuk.

"Kaki ibunya kena roda trolley kayaknya, Kak," kataku sembari membungkuk. "Iya, benar. Ibu duduk di sana dulu, ya." Aku memapahnya pelan untuk duduk di tempat tadi aku duduk. "Kak bisa minta tolong belikan obat? Atau plester?"

Ibu tadi langsung mencegah kepergian orang yang menabraknya. "Ibu bawa obat luka, kok."

"Maafin Riri, ya, Bu."

Si ibu tadi hanya tersenyum. "Sudah enggak apa-apa. Ibu bisa obati sendiri."

Aku hanya memperhatikan bagaimana dua orang tadi berinteraksi. Setidaknya luka ibu tadi enggak terlalu parah tapi kurasa cukup perih. Ada ringisan kecil lolos dari bibir wanita paruh baya yang tampak anggun mengenakan terusan batik lengan panjang itu.

"Ibu jadi ganggu kamu makan, ya, Nak?"

Aku menoleh. si penabrak tadi sudah taka da di dekatnya. Hal itu jelas membuatku celingukan. "Lho, Mbak yang tadi mana, Bu?"

Si ibu hanya tersenyum saja. "Kamu pasti melamun."

Ah, benar kah? Aku masih bisa mendengar ...

Benar. Aku kembali melamun. Garpu yang seharusnya kugunakan untuk memotong serta menyuap potongan sosis yang tersaji pun hanya menggantung di udara. Apa yang tengah kupikirkan sejak tadi, sih?

"Ibu sudah enggak apa-apa?"

"Sudah, Nak. Luka kecil. Ibu juga salah kenapa enggak pakai sepatu tertutup malah pakai sandal seperti ini," katanya dengan kekehan kecil. Sudah tak ada lagi raut wajah kesakitan yang tadi kutemui di wajahnya. "Kamu sendirian, Nak?"

"Ah, kebetulan iya."

"Ya sudah Ibu temani gimana? Kebetulan Ibu juga sendirian. Suntuk di apartement."

Aku meringis saja. Pun saat ibu ini memesan beberapa makanan sebagai peneman. Obrolan kami bisa dibilang cukup seru. Hingga ...

"Ya Allah, Andhrea Salim? Benar? Anak Rima dan Joe Salim?"

Mataku mengerjap beberapa kali. "Ibu ... kenal Mama dan Papa?"

"Ya Allah, Nak!"

Tau-tau aku dipeluknya. Diusap lembut rambutku yang pendek ini. Juga bahuku yang beberapa kali ia tepuk pelan. "Ini Tante Aning. Lupa, ya?"

Keningku masih berkerut ditambah mata ini yang belum mau melepas dari wajah yang bersemangat sekali mengamati wajahku ini. Kapan aku bertemu dengannya? Segera dan dalam kecepatan maksimum aku gali seluruh ingatanku mengenai wajah wanita paruh baya yang masih cantik ini. Tapi nihil. Tak ada yang bisa kuingat mengenai dirinya.

"Wajar kamu lupa. Saat itu kamu masih kecil, Nak."

Ingin rasanya bertanya sekecil apa diriku ini kala bertemu dengannya tapi tidak. Aku memilih tersenyum saja.

"Tante datang saat pemakaman Mama tapi enggak sempat bertemu kamu, Nak. Sabar, ya," katanya lagi ditambah usapan lembut di bahu lagi-lagi kuterima.

"Apa ... Tante bersahabat baik dengan Mama?"

Beliau mengangguk cepat. "Sayangnya Tante ini sibuk di Bandung, hanya sesekali ke Jakarta buat ngawasin anak. Maklum kalau enggak dijagain nanti macam-macam lagi."

Responku hanya mengangguk. Tindakan Tante Aning cukup masuk akal. Siapa tau anaknya tengah kuliah dan malah tak fokus dengan pendidikannya, kan?

"Duh ... kalau seperti ini, kok, ayu-nya beda banget, ya?"

Keningku berkerut juga agak risih ketika matanya memindaiku terlalu intens.

"Mirip sama Rima. Lebih menyukai penampilan sederhana yang malah membuatnya cantik banget."

Ah ... mendadak aku merindukan Mama. Apa yang Tante Aning bilang ini benar adanya. Mama jarang sekali ber-make up. Selalu dengan rias wajah natural yang malah membuatnya awet muda. Tak pernah marah, selalu memberiku masukan dengan kata-kata yang membuat hatiku tenteram. Sikapnya yang lembut entah dalam bertutur juga memperhatikan orang sekitarnya.

Mama pernah berkata, "Perlakukan seseorang dengan baik di mana pun kamu bertempat. Jangan angkuh. Langit tak pernah bersuara betapa ia memang diciptakan demikian tinggi, kan?"

Maka saat ia gunakan suara tingginya karena berita yang mengiringi kepulanganku, aku sungguh menyesal. Selalu meyakinkannya kalau pilihanku lah yang benar. Dan rasa penyesalan itu tinggi sekali hingga kini kurasakan. Tak pernah mau pergi menguasai hati ini.

Karena kala itu, satu-satunya suara yang kudengar sarat kecewa juga emosi di sana. Di mana Mama tak pernah memarahiku selama ini. Andai saja ... ya Allah, andai saja!

"Nangis aja, Nak. Tante juga rindu sahabat Tante itu," katanya dengan mata berkaca-kaca. Begitu Tante Aning memelukku, bodohnya ... tangisku kembali tercipta.

****

"Dhrea antar sama sini aja, Tante? Benar?" Aku benar-benar tak habis pikir, Tante Aning malah ingin main ke salah satu mall di bilangan Senayan. Hampir seharian aku menemaninya. Walau sebenarnya malu sekali harus menangis di dalam pelukannya.

Setidaknya, Tante Aning sedikit menghiburku dengan banyak cerita mengenai Mama dulu. Mereka berkawan kala SMA dulu. Saat kuliah, jurusannya berbeda dan saat itu Mama memilih kuliah di Jogjakarta sementara Tante Aning di Jakarta. Hingga keduanya bertemu lagi dua atau tiga tahun lalu di reuni SMA.

Ada beberapa foto yang ditunjukkan dari album lama yang dimiliki Tante Aning di ponselnya. Kurasa Tante Aning termasuk orang yang cukup heboh menanggapi mengenai kenangan. Kdang raut wajahnya sedih kadang lagi, tertawa riang menertawakan kekonyolan yang terjadi di masa lalu.

Di mana Mama kala itu masih mengenakan seragam SMA juga ada beberapa foto yang sama dengan koleksi album Mama di rumah. Aku tau. Aku sering diceritakan mengenai masa SMA-nya termasuk ...

"Ehm ... Mama selalu menyebut nama Tante itu bukan Tante Aning, tapi Ningsih. Orang yang sama, kah?" tanyaku sesaat setelah ia menunjukkan foto dirinya bersama Mama saling berangkulan. Aku tak pernah absen mendengarkan kisah mereka dulu.

Wanita paruh baya itu tergelak. Matanya sampai terpejam saking hebohnya. "Mama kamu benar-benar, ya. Sampai cerita ke anaknya saja nama Tante tetap saja Ningsih."

Saat sudah mereda derai tawanya, ia kembali berkata, "Itu benar. Nama Tante itu Aningsih Setyawati, Nak. Hanya Mama kamu yang panggil dengan sebutan Ningsih."

Entah kenapa, mendadak hatiku menghangat.

Tante Aning juga bilang, "Mama kamu termasuk orang yang enggak melupakan komunikasi sekecil apa pun, Dhrea. Terutama kabar Tante dan keluarga. Dan itu bagi Tante, sangat berharga."

Aku tersenyum bangga. "Makasih Tante sudah mau berbagi kisah mengenai Mama. Aku jadi punya sedikit kekuatan untuk menjenguk makam Mama." Satu tahun ini, aku selalu menolak ajakan Papa, Bian, juga Lanie tiap kali mereka berkunjung ke makam Mama.

Kugenggam sendirian rindu tak bertepi ini pada sosok wanita yang sangat kusayangi seumur hidupku. Sesalku terus membayangi dan kata andai saja, kalau saja, juga ... diberikannya aku kesempatan memperbaiki, mungkin aku tak sehancur ini.

"Besok gimana? Kebetulan Tante seminggu di Jakarta."

Aku mengerjap pelan. Menatapnya lekat juga perlahan senyumku cerah seketika. "Boleh. Dhrea jemput?"

"Iya. Nanti Tante kirim pesan alamat apartement-nya, ya."

Aku mengangguk segera. "Dhrea tunggu pesannya, ya, Tante."

"Iya, Sayang. Tante tau, berat jadi Andhrea tapi enggak baik juga sedihnya berlarut."

Kupilih untuk tak merespon apa-apa. Tante Aning tak tau penyebab kematian Mama kurasa. Andai saja tau, pasti tak segampang itu mengatakan ucapan tadi. Aku memilih mengulurkan tangan agar bisa bisa mengecup tangannya sebagaimana yang sering Mama ajarkan padaku sejak kecil. Dan kugunakan hingga kini. Mencium punggung tangan orang yang lebih tua sebagai penghormatan tersendiri terhadapnya.

"Nah, kalau senyum begitu tambah ayu-nya. Beda banget sama yang di foto."

Keningku berkerut. "Foto?"

"Ah, Tante sudah ditelepon. Ini ponselnya getar-getar terus. Tante masuk, ya. Kamu pulangnya hati-hati. Sampai bertemu besok."

Hingga sosok wanita paruh baya itu ditelan pintu otomatis mall, aku masih termangu. Memikirkan ucapannya barusa.

"Non, kita pulang?" tanya Bu Nina yang membuatku sedikit berjengit kaget.

"Iya, Bu. Kita pulang."

Besok ... akan kutanya maksud perkataannya itu apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro