[7] The power of Mommy
Gue selalu senang kalau Nyokap berkunjung ke apartement gue. Makan gue terjamin biarpun gue harus menebalkan telinga karena Nyokap berisik banget perkara jodoh. Belum lagi selalu saja mengaitkannya dengan bisnis Bokap. Kenapa juga gue yang harus jadi tumbal? Eh ... maksud gue korban perjodohan.
Mendadak gue baru ingat kalau gue anak Nyokap satu-satunya. Fiuh!
Benar-benar tumbal untuk Nyokap gue obral ke grup sosialitanya. Yang mana, tiap kali kumpul gue jadi ajang tanya sana sini. Juga lempar-lemparan anak perempuannya siapa tau berjodoh sama gue. Aslinya, gue enggak masalah kalau disodori perempuan cantik. Hanya saja ... tujuannya menikah.
Gue ogah, lah!
Gue selektif mengenai istri. Wanita yang bakalan jadi pendamping hidup gue, melahirkan anak-anak gue, juga hidup bersama gue dan Nyokap. Bukan apa, gue dan Nyokap itu dekat banget. Jangan sampai kami jadi berjarak dan gue juga jadi lalai sama istri karena keinginan Nyokap itu kadang aneh banget.
"Kamu mau bawa bekal enggak?"
Kan ... Nyokap dan pertanyaannya yang bikin gue mencibir. "Enggak, Mom. Sarapan aja bekal makan siang aku keluar kantor."
Nyokap sekarang berdecak. "Kamu lupa kalau dulunya sering bawa bekal?"
Mana pernah gue lupa hal itu tapi untuk sekarang, serius deh. Gue butuh udara luar biar enggak sumpek banget kalau sudah berkutat dengan pekerjaan yang kadang bikin gue stress juga. Menjadi manager klaim itu enggak mudah tapi berhubung gue suka dan cinta, mau gimana pun jalannya pasti gue jalani. Dan lagi, gue punya tujuan dengan jabatan ini.
Enggak. Gue enggak mau macam-macam semisal korupsi. Aduh ... jauh-jauh deh. Sekali gue begitu bisa habis gue dipenggal sama Herry Tanuwidjaya. Bokap gue. Bisa langsung dikurung di rumah dan jagain aneka burung dan biawak peliharannya. Ogah. Gue membayangkannya saja enggak sanggup.
"Mommy sampai kapan di sini?" Gue kegirangan karena pagi ini Nyokap buat nasi goreng dengan dua telur mata sapi kesukaan gue. Buru-buru gue suap besar-besar karena memang enak banget buatan Nyokap.
"Kamu enggak suka kalau Mommy lama di sini?"
Gue enggak pernah bermaksud seperti itu tapi namanya juga Nyokap, selalu aja punya pikiran negative ke gue. "Mommy mau sebulan di sini juga Rian enggak masalah. Tapi masalahnya," Gue kunyah dulu suapan yang terlanjur masuk. Sudut mata gue melirik ke atah Nyokap yang masih masang muka judes. "Masalahnya Daddy bakalan teleponin aku terus bujukin Mommy suruh pulang. Kalian enggak lagi berantem, kan?"
Nyokap dan Bokap gue itu masih sering ribut karena masalah sepele. Misalnya Nyokap gue pengin ganti sofa dengan warna soft, padahal masih bagus sofanya. Busanya aja masih enak banget diduduki. Jarang banget diduduki pula. Dasarnya aja Nyokap yang bosenan. Nah Bokap kasih alasan ini dan itu, eh ... Nyokap ngambek.
Kaburnya ke apartement gue. Bokap nuduh gue sekomplotan sama Nyokap padahal enggak. Boro-boro berkomplot, pengin jadi aliansinya aja gue mikir ulang. Damainya? Mirip ABG lah. Dijemput sama Bokap, bawa buket bunga, mesra-mesra, dinner romantic, belum lagi pakai baju couple. Ampun deh orang tua gue.
Tapi gue sayang banget. Banget sayangnya.
"Sembarangan!"
Gue meringis lantaran sakit pas Nyokap pukul bahu gue.
"Mommy lagi enggak berantem sama Daddy. Kami pasangan yang rukun dan damai, kok."
"Yah, terserah Mommy aja lah mau gimana di sini."
"Kamu takut, ya, kalau Mommy kelamaan di sini? Kamu enggak bebas sama pacar-pacar kamu?"
Gue berdecak. Menenggak minum yang ada di dekat gue. Segera. Sampai gelas gue kosong. "Enggak ada tuduhan yang lebih enak, Mom?"
Nyokap yang cantik banget pakai dress batik lengan panjang itu cuma nyengir. "Mommy lupa, anak kesayangan Mommy ini jomlo. Cuma koleksi cewek-cewek cantik tapi enggak ada status."
Ampun, deh, bibir Nyokap.
"Dibukain gerbang perjodohan bukannya mau tapi nolak mulu. Kurang cantik memangnya yang Mommy sodorkan?"
"Bukan gitu, Mom," kata gue pelan. "Rian masih pengin berkarir. Mommy sudah tau alasan utama yang Rian punya, kan? Yang Mommy jodohkan itu bukan kriteria istri yang Rian pengin. Oke lah kalau jadi teman jalan tapi kalau istri?" Gue menggeleng.
"Sok banget banyak kriteria," cibir Mommy.
"Lho, pria juga bebas pilih, kan, Mom? Memangnya Mommy mau punya menantu yang biasa aja secara visual sudah gitu biasa juga perilakunya?"
"Kapan, sih, Mommy menilai seseorang secara visual? Sebenarnya yang Mommy tawarkan ke kamu itu cantik-cantik menurut Mommy. Baik juga perlakuannya ke orang tua. Kurang apa?"
Gue diam.
"Kamu yang banyakan milih."
"Karena Rian memang belum niat makanya milih-milih terus," terang gue beralasan. "Rian berangkat, ya. Mommy kalau mau keluar, kabarin Rian. Naiknya taksi online yang Rian tau nomornya. Awas aja keliaran tapi bikin Rian jantungan. Rian masih muda."
"Kebiasaan menghindar terus."
Geu cium pipinya saja lah biar diam. "Ini memang sudah waktunya Rian berangkat. Enggak baik kalau atasan datang terlambat sementara staffnya datang tepat waktu?"
"Iya-iya."
"Aku berangkat, ya." Gue ambil tangan Nyokap dan mencium punggung tangannya.
"Minggu depan jangan lupa, Yan."
Langkah gue memutar handle pintu terhenti. "Memang ada apa?"
"Dasar anak muda pikun. Minggu depan kamu berkenalan sama Andhrea."
Astagfirullah! Kapan Nyokap gue sadar?
****
Gue tiba di kantor tepat waktu. Jarang banget sepanjang gue bekerja di sini datangnya telat kecuali karena urusan kantor. Pun absen karena sakit. Gue bukan workaholic yang over banget hanya saja, butuh dedikasi tinggi untuk hal yang mau gue capai, kan? Setiap pekerja pasti pengin punya goal tersendiri dalam karirnya.
Begitu gue sampai ruangan, Erin lagi sarapan sembari menatap ponselnya. Saat mendengar langkah gue, dia segera letakkan ponsel itu dan nyengir. Ketauan banget kalau lagi fokus dengan akun gosip di gadgetnya itu.
"Gosip apa lagi sekarang?" tanya gue tanpa basa basi. Erin makin lebar nyengirnya.
"Enggak, Pak."
Gue enggak pernah mempermasalahkan staff gue mau gimana sama ponselnya. Terserah. Yang penting kerjaannya beres. Kecuali sampai ada yang terbengkalai, mungkin perlu ditinjau pemakaian ponselnya. Tapi sepanjang yang gue tau, di divisi ini enggak ada yang seperti itu, sih. Semuanya aman terkendali.
"Oiya, Pak, last minutes HRD info ke saya kalau Mbak Harada sudah confirm oke di hari Senin bekerja dan sudah lengkapi berkas di bagian HRD."
Gue mengangguk pelan sembari meletakkan tas di meja.
"Meja Mbak Shera juga sudah saya minta dibersihkan lagi sama Pak Iyat. Di sana, kan, meja Mbak Harada?"
Lagi-lagi gue mengangguk.
"Dan ini berkas yang Bapak perlukan untuk meeting nanti."
Gue biarkan Erin meletakkan laporan yang nantinya gue pelajari. "Nanti panggilkan Risa, ya. Sudah datang, kan?"
"Sudah, Pak. Lagi sarapan kayaknya."
"Sampai dia beres aja, Rin, panggilnya."
"Siap, Pak."
Sebelum Erin benar-benar meninggalkan ruangan gue, gue sempat bertanya yang bikin dia menatap gue dengan kebingungan. "Menurut kamu Harada gimana?"
Gue mengibas pelan. "Sudah. Sudah. Kamu kembali aja. Lupakan pertanyaan saya barusan."
Kenapa juga gue tanya hal itu ke Erin.
"Menurut saya Mbak Harada agak pemalu, ya, Pak. Nanti gimana kalau ngurus klaim yang Bapak tau sendiri banyak komplain sana sini."
Gue pikir dia enggak mau bicara tapi apa yang dia bilang, benar juga. Itu pun yang jadi pertimbangan gue saat kemarin menatap Harada. Tapi juga ... pendapat gue itu patah begitu saja begitu kami bicara. Diskusi beberapa case, cara dia sampaikan pandangannya, belum lagi gaya bicaranya itu.
Enggak main-main dan ... pintar. Hanya saja ... ah, gue jadi ingat ketemu dia di mall. Astaga. Enggak sangka juga kalau dia seperti itu? Kenapa juga pagi-pagi harus ingat Harada. Oh ... ini semua karena Erin! Kenapa pula dia angkat nama Erin di pagi hari ini, sih?
"Makasih, Rin, pendapatnya." Sudah lah, gue lebih baik fokus pada laporan yang tadi dia bawa. Toh si Erin sudah kembali ke mejanya masih dengan muka bingung.
Dan hari ini, berjalan normal apa adanya. Sibuk memang, banyak laporan dan banyak jug ague beri arahan ke staff lain biar tetap pada koridor yang seharusnya. Gue bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka dan kalau bisa, harus diminimalisir kesalahan yang bisa diperbuat.
Untuk hari ini karena agak sibuk, gue minta Erin pesankan makan.
Bahkan sampai sore pun napas gue untuk sekadar bicara agak santai itu enggak bisa. Banyak case yang ternyata minta perhatian lebih terutama kalau klaimnya berat. Enggak hanya butuh keputusan gue aja, dari BoD juga terutama kalau berkenaan dengan permintaan penggantian yang enggak sesuai dengan klausula polis yang ada.
Merenggangkan diri di last minute sebelum absen adalah hal yang menyenangkan. Gue juga sudah kirim pesan ke Teddy, secangkir kopi pelepas penat kayaknya ide yang oke dilakukan selepas pulang nanti. Beruntung dia setuju. Kalau enggak, gue menggenaskan sekali ke kafe aja sendirian.
Jomlo sejati sekali.
"Pak," panggil Risa. Gue baru banget mau keluar ruangan dan ternyata sudah ada dirinya juga Erin di sana.
"Ada apa?"
Baik Risa juga Erin malah saling pandang yang bikin gue bingung. "Ada apa?" ulang gue.
"Ehm ... ini, Pak. Mbak Risa pengin ajak makan di luar. Perayaan ulang tahun."
Gue mengerjap. "Serius?" Ah, gue ingat. Biasanya kalau ada staff gue yang ulang tahun, selalu Shera yang urus. Gue tinggal minta tolong Erin belikan kue sebagai hadiah untuk si yang berulang tahun. "Wah, maaf, ya. Saya enggak ngeh." Lalu gue mengulurkan tangan pada Risa yang segera saja disambut gadis cantik itu. "Happy birthday, Risa. Semoga berkah selalu dan segera bertemu jodoh."
Ada semburat merah di pipinya yang gue rasa dia touch make up-nya lagi. Enggak terlihat seperti seseorang yang baru pulang kerja soalnya. Fresh look aja dilihat.
"Makan di mana by the way? Saya ada janji sama Pak Teddy. Enggak apa, kan, kalau dia ikut?"
"Enggak, Pak. Malah mau bilang minta tolong ajak Pak Teddy sekalian," kata Risa kemudian. Ah, kebetulan.
"Oke."
Dan enggak lama semua staff gue sudah berkumpul. Siap berangkat. Sebelum benar-benar kami menuju tempat di mana berlokasi di FX Senayan, gue tahan Erin untuk jangan pergi dulu.
"Rin, nanti semua bill biar saya yang bayar. Bilang sama Risa, ya. Saya yang traktir saja."
Erin mengerjap pelan. Sebenarnya wajah asisten gue ini manis dan menarik. Apalagi kalau tampangnya lagi polos gini. Bulu matanya lentik gitu. Matanya juga terang dan binarnya hidup banget. Menandakan sebagai perempuan yang bersemangat menjalani hari-harinya ini.
"Oke nanti saya bilang sama Mbak Risa."
Seenggaknya, ada yang bisa gue lakukan untuk staff gue itu. Selain karena memang hari ini dia ulang tahun, juga untuk rewads semangat bekerjanya agar lebih terpacu lagi. enggak masalah buat gue toh sesekali gue lakukan hal ini.
Hingga kami tiba di restoran tujuan, memesan makan, juga ikut tersenyum karena Risa mendapatkan kejutan lain dari rekan-rekan kerjanya; kue ulang tahun juga confetti. Pun ikutan swafoto sana sini. Moment seperti ini bisa gue manfaatkan untuk sekadar bicara random pada semua bawahan gue.
Biarpun ada Teddy yang sesekali nimbrung, tapi keseruan itu enggak berkurang sedikit pun. Malah makin meriah sampai ...
"Lho, kamu di sini, Nak?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro