[5] Routine Activities
Enggak. Apa yang gue lihat tadi di Senayan enggak bikin konsentrasi gue terganggu, kok. Gue sudah sering dengar, kalau beberapa perempuan mencukupi hidupnya dengan cara seperti itu. Hanya saja gue agak kaget aja. Biasanya penampilan perempuan yang jadi simpanan pria-pria tua haus belaian manja selalu on point. Memanjakan mata yang memandang juga pintar dalam hal fashion.
Ara?
Jauh banget.
Gue menggeleng pelan. Kembali membaca laporan yang baru Erin beri sepuluh menit lalu. Di mana salah satu pihak leasing mengirimkan surat untuk memperhitungkan kembali besarnya nilai ganti rugi karena mobil yang menjadi asset mereka, hangus terbakar. Kejadiannya sudah cukup lama di daerah Jakarta Utara. Laporan dari bengkel rekanan kami, ada konslet listrik yang membuat percikan api lalu ... duar! Meledak deh.
Bagus enggak ada korban jiwa saat kejadian itu.
Mereka minta agak nilai penggantian sesuai dengan klaim yang ada; TLO dan tidak mengikuti harga pasar. Sementara basic MOU yang ada, kami membayarkan klaim TLO dengan maksimal pertanggungan harga pasaran mobil yang berlaku saat periode klaim.
Gue hela napa pelan. cek sekali lagi mengenai leasing yang tengah gue tangani ini. "Kayaknya memang mereka banyakan request, deh. Setiap kali klaim, selalu saja banding." Tapi gue butuh data lebih. Memencet nomor extention meja Risa.
"Sa, ke ruang saya." Gue segera tutup setelah mendapat jawaban dari staff gue itu. Sekali lagi memfokuskan diri pada permintaan mereka. Mengambil satu lampiran pada polis yang disemat Erin di laporan barusan.
"Pak." Suara Risa diiring dengan ketukan di pintu ruang gue. Yang mana segera gue persilakan dirinya untuk masuk. Seketika pengharum ruang kerja gue berubah menjadi wangi parfum Risa yang gue kenali; Channel no 5.
"Duduk, Sa."
Gadis cantik berambut bergelombang itu duduk. Mengenakan rok sepan sebatas lutut dan membalut tubuhnya yang cukup oke dengan kemeja yang menurut gue agak ketat tapi jatuhnya bagus di body milik Risa ini. Kadang gue berpikir, apa enggak sesak napas kalau kemejanya saja seperti terlalu ketat gitu?
"Kamu lagi tangani klaim yang mana?" tanya gue memastikan pekerjaan yang tengah dia kerjakan dulu sebelum gue diskusi masalah laporan yang ada di tangan gue ini.
"Klaim sedan yang nabrak di Tol Cipali, Pak," katanya.
Gue mengangguk. Gue tau case itu. Kalau enggak salah, tinggal menunggu surat-surat dari customer yang menyatakan persetujuan dengan nilai penggantian yang telah disepakati bersama.
"Tapi sudah kamu follow up terus?"
Risa mengangguk yakin. "Berhubung si tertanggung di rumah sakit, jadi kendalanya itu saja, sih, Pak."
"Enggak ada niat untuk ke sana? Sekadar mengucapkan bela sungkawa? Perwakilan dari bagian klaim?"
"Gimana, Pak?"
Ini yang menjadi pertimbangan gue enggak angkat Risa jadi seorang supervisor klaim untuk membantu jalannya divisi klaim di The Frizst. Shera selalu melakukan langkah yang menurut gue di luar kebiasaan tapi imbasnya oke banget. Termasuk kunjungannya yang mendadak ke pihak korban alias pemilik mobil terutama kalau tengah menjalani perawatan di rumah sakit.
Shera bilang, "Saya juga ajak tim marketing, Pak. Bukan tanpa sebab, kita bisa promosi terselubung berbekal simpatik."
Inisiatif yang tinggi, kan?
Awalnya gue yang memprakarsai. Dan ternyata, Shera mengamati dan meniru dengan baik pun hasilnya bikin gue tersenyum bangga.
"Oh, oke kalau kamu enggak paham." Gue lebih baik sodorkan laporan yang gue dapat dari Erin tadi. "Kamu pelajari dulu nanti follow up ke leasing-nya. Kami enggak terima bandingnya. Memang kesepakatan awal dengan harga pasar. Kamu cek aja berkas-berkas sebelumnya."
Risa menatap sekilas laporan yang tadi gue beri, lalu mengangguk pelan. "Kalau leasingnya ini, sih, memang agak nyebelin."
"Sudah pernah kunjungan ke sana?"
Lagi-lagi Risa mengangguk. "Sebulan sebelum Kak Shera resign, kami ke sana. Bertemu dengan PIC-nya dan, yah ... begitu lah."
Gue nyengir. "Pokoknya lakukan yang terbaik dan tetap jalin komunikasi yang baik. Biar bagaimana pun kita butuh leasing untuk orderan masuk."
"Baik, Pak."
Baru saja gue mulai mengambil laporan lainnya yang paling utama, sih, berkas untuk BoD, Risa kembali bersuara. Membuat gue menatapnya bingung.
"Pak, hire SPV dari luar memangnya enggak ada yang kompeten di sini?"
****
Pertanyaan Risa terngiang juga sampai gue masuk ke dalam apartement. Juga wajahnya yang seperti menahan kecewa gitu. Bukan enggak mau mengambil dirinya jadi SPV pengganti tapi serius, gue butuh orang luar yang lebn kompeten lagi. Gue juga sudah ebri kesempatan buat Risa, kok.
Enggak mungkin gue sejahat itu sama staff sendiri. Mereka sudah memberikan loyalitasnya buat divisi klaim terutama. Masa enggak gue hargai sama sekali, sih?
Tapi untuk urusan orang yang benar-benar ada di bawah gue ini enggak bisa sembarangan. Gue percaya Shera beres kerjanya. Selalu tau apa yang gue butuhkan dan selalu update untuk informasinya. Gue enggak pernah sampai kelabakan karena satu dua hal perkara klaim sama dia. Sementara Risa?
Gue enggak tau apa karena dirinya sudah merasa bekerja lama (FYI, dia kerja sudah hampir lima tahun. Senior banget, kan? Shera jadi SPV itu sudah hampir delapan tahun. Kalau ada promosi jabatan selevel asisten manager, gue mau, kok, beri referensi untuk Shera. Sayangnya sudah keburu resign dan ikut suaminya.) di The Frizst yang bikin Risa ini terkadang lalai sama kewajibannya.
Enggak fatal memang, tapi kalau ditelisik justeru bikin gue mengurangi beberapa point penilaian untuknya. Menurut gue dia terlalu sering menggampangkan masalah follow up. Dan gue enggak bisa toleransi akan hal itu. Gue butuh data akurat.
Jangan aja giliran kunjungan gue yang sudah teratur itu, tau-tau ada info yang gue enggak tau di mana Risa enggak mengerjakan bagiannya. Enggak sekali dua kali dia seperti itu. Teguran pun sudah gue beri tapi lagi-lagi dia seperti itu.
Bukan salah gue dong kalau gue hire orang luar? Dan semoga saja Ara memenuhi ekspektasi gue akan job desk yang dia kerjakan nantinya.
Yang gue enggak sangka, begitu pintu apartement terdorong dengan lancarnya yang mana bikin kening gue berkerut, ada Mommy di sana. Duduk bersila kaki di salah satu kursi yang tepat berada di dekat meja dapur. Menikmati cangkir tehnya gue rasa.
"Mommy?"
"Kalau masuk rumah itu biasakan ucap salam, Yan."
Gue meringis. Mata gue harus memastikan dengan pasti lah di depan gue ini benar-benar Nyokap atau jelmaannya. Etapi ... itu ngawur. "Assalamu'alaikum, Mommy Rian yang paling cantik sedunia."
Mommy mencibir. Mengulurkan tangannya untuk gue cium. Penuh sayang gue kecup punggung tangannya. Juga gue terima usapan di bahu darinya. "Gitu dong. Udah siap banget berumah tangga."
Ck! Nyokap dan ucapannya yang sembrono itu kadang bikin gue merinding mendadak. "Enggak ada hubungannya, Mom," kata gue yang mana segera meraih kursi lain dan duduk di sampingnya. "Mommy ada apa tumben mampir ke sini enggak ngabarin Rian juga. Kan, bisa Rian jemput."
"Alah! Macem kamu jemput Mommy. Hujan deras sepanjang Bandung Jakarta mungkin."
Gue ngakak. Nyokap bisa jokes juga ternyata. Begitu tangan gue pengin nyomot kentang goreng yang gue tau banget, ini buatan Mommy. I mean, Mommy itu enggak mau goreng kentang yang asal beli dalam keadaan beku. Beliau lebih suka kupas langsung, rendam entah dengan bumbu apa tapi jadinya enak banget. Dan itu ... my favorite one.
"Mom!" Gue memekin kesakitan. sentilan Nyokap enggak pernah enggak menimbulkan nyeri di punggung tangan gue.
"Cuci tangan! Kebiasaan!"
Gue nyengir. "Lapar, ih! Pelit banget!"
"Cuci tangan, Rian!"
Gue ngalah. Mommy kalau sudah mendelik gitu, matanya yang teduh berubah sinis dalam level dewa. Gue enggak berani bantah. Biar bagaimanapun gue enggak pernah berani mengabaikan apa yang beliau suruh. "Oke-oke."
Gegas gue beranjak dengan tas kerja yang enggak boleh diletakkan sembarangan. Isinya berharga buat gue. Berkas-berkas kantor yang kadang gue pelajari di sela gue menikmati gedung-gedung tetangga. Siapa tau ada perempuan cantik yang bisa gue perhatikan dari jauh. Yang mana sama-sama tengah menikmati malam berangin?
Siapa yang tau, kan?
Soalnya gue pernah memergoki pasangan sinting lagi making love di balkon. Malam pula. Pas gue suntuk. Anjir lah! Berasa banget gue enggak punya pasangan tapi malah dapat live show gitu. Parahnya, enggak berhenti begitu mereka tau ad ague yang enggak sengaja melihat ini. Malah makin jadi.
Subhanallah.
Gue aja lah yang ngalah. Ketimbang nanti ada yang bangun minta tanggung jawab tapi enggak nemu sarang yang tepat, kan? Sudah capek jug ague mau ke club. Lagian cewek di club belum tentu bersih. Udah lah, gue buang jauh pemikiran kotor itu. Memilih tidur segera adalah pilihan yang paling benar.
"Mommy belum jawab pertanyaan Rian tadi."
Kali ini, Nyokap gue enggak bakal ngusir gue menjauh. Gue sudah manid. Berganti pakaian yang lebih santai dan fresh. Wangi sabun dan sampo pula. Tambah cakep yang jelas, sih. Gue yakin banget.
"Kamu tanya apa memangnya?"
Eh?
Gue belum bertanya ada kunjungan apa, ya? "Mommy ke sini ada apa?" Lebih baik gue ulani saja pertanyaan gue yang rasanya sudah gue lontarkan tadi.
"Memang enggak boleh berkunjung ke apartement anak?"
Salah lagi aja.
"Atau kamu takut segera dinikahkan kalau ketauan menyembunyikan perempuan di sini?"
MasyaAllah. "Mom, kalau nuduh pakai bismillah bisa, kan?"
Wanita paruh baya yang paling cantik di dunia gue hanya berdecak malas. "Mommy serius. Tapi berharap juga, sih, pas kunjungan Mommy ke sini ada perempuan yang bukakan pintu untuk Mommy. Mungkin ... pakai kemeja kamu."
Gue mengusap wajah dengan frustasinya. "Ya enggak gitu juga, lah!"
"Doa orang tua itu mustajab, lho."
"Mana ada kalau doanya buruk gitu?"
Masih juga Nyokap gue berdecak gitu. Enggak terima dengan sanggahan gue ini.
"Katanya playboy ganteng tapi jomlo gini. Rian, Rian. Enggak keren amat playboy-nya."
Sudah lah. Bicara sama Nyokap apalagi menyinggung mengenai predikat jomlo yang masih gue sandang ini, enggak ada habisnya.
"Makanya cari pacar gitu. Biar enggak diteror terus sama Mommy buat nikah. Atau dijodoh-jodohin."
"Sudah dilakukan sama Mommy, kan? Ngejodoh-jodohin Rian terus?"
Nyokap? Ngakak.
"Ngebantuin kamu aja, sih, biar enggak jomlo banget."
Kali in biarkan gue mencibir Nyokap sembari nyomot kentang yang memang disiapkan untuk gue ini. "Sebenarnya enggak butuh bantuan juga, sih." Gue cocol satu potong besar ke saus yang tersedia. Mengunyahnya cepa. Enak banget. Pas lapar, pas ada yang dikunyah. "Dari pada Mommy capek-capek tapi Rian enggak cocok, mending juga Rian cari sendiri."
Satu tepukan di bahu gue terima dari Mommy. Enggak keras memang tapi cukup bikin gue terganggu makan kentangnya. Gue mau mendelik marah takut kualat sama ibu kandung sendiri.
"Yang tadi pagi Mommy kirim gimana? Enggak menarik juga?"
Ah ... gue malah lupa tapi enggak mungkin gue suarakan kepikunan gue ini, kan? Gue mengangguk saja sebagai cara paling aman yang bisa gue lakukan. Lalu kembali menikmati kentang tadi.
"Kalau gitu kamu setuju dong minggu depan ketemu? Ketemu aja, kok, enggak lama."
Gue tersedak. Nyokap kalau ngegas enggak lihat tepat, ya?!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro