Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[39] Meet you, with ...


Gue enggak tau apa ini yang gue inginkan atau apa. Padahal gue sudah membulatkan tekad tapi tetap saja gue kalah. Ternyata benar, gue enggak bisa terlalu lama menampik kalau Harada ini sudah menarik gue untuk terus menatapnya. Biarpun keinginan gue untuk bertanya apa dia ini simpanan atau bukan itu besar juga. Gue takut ... dia tersinggung. Tapi sikapnya yang antipati sama gue, juga pembawaannya yang agak tertutup itu bikin pemikiran perempuan 'simpanan' ini agak rancu juga.

Padahal gue sudah dengan gamblang bilang, walau enggak sampai bilang, "Saya suka kamu." Tapi masa iya Harada enggak ngerti? Sudah bukan ABG lagi, kan? Harusnya dia paham dong kalau enggak main-main sama dia?

Tapi kenapa malah gue dibuat seperti ini?

Gue sudah coba, serius, gue coba banget memenuhi apa yang dia mau. Meluruskan ucapan Vio ke staff lain, sedikit menjaga jarak darinya, juga menahan diri untuk enggak terus menerus cari perhatiannya. Padahal gue selalu diberikan tatapan sinis tapi ... gue gila memang.

Lebih parahnya, gue tunggu Harada sampai benar-benar masuk ke mobilnya. Walau beberapa kali dijemput di lobby, tapi gue enggak kurang akal. Gue selalu tunggu mobil Jaguar-nya lewat arah yang selalu sama setiap harinya. Gue buntuti. Memastikan dirinya sampai di rumah barulah gue pulang.

Segila itu gue dibuat Harada.

Kenapa?

Gue enggak tau alasannya apa. Yang pasti dan sepertinya ini seratus persen tepat, gue suka dengan sosok sederhana itu. Enggak banyak tingkah, pintar, walau terkesan pendiam tapi gue tau dia memiliki kelas tersendiri, enggak gampang untuk didekati dan ... mungkin ini yang bikin dia menarik di mata gue.

Bagaimana penampilannya saat selesai sholat juga membaca Al-Quran. Masih terngiang terus sampai sekarang, sumpah.

Juga ... ucapannya yang terakhir itu bikin gue sebenarnya pengin nanya banyak. Tapi gimana? Dia makin jauh dari gue.

"Saya ini masih terluka. Jangan tambah luka saya ini dengan semua perlakuan kamu. Bisa, kan, berhenti?"

Apa ... dia tengah patah hati? Gue pikir-pikir, masuk akal juga sih kalau perempuan patah hati belum mau didekati sama pria lain. Bukannya berhenti gue malah makin penasaran jadinya.

Sudah gue pusing karena sikap Harada dan perasaan gue yang terombang ambing macam buih di lautan. Entah lah, gue makin dangdut banget bahasanya kalau dikait-kaitkan dengan Harada. ditambah Nyokap yang terus saja memprovokasi gue untuk bertemu dengan Andhrea.

Bukan salah gue dong kalau saat itu gagal? Yang sakit juga dia, kan? Kenapa jadi gue yang terus didesak coba? Apa perempuan itu enggak punya kandidat pria dewasa yang bisa dijadikan kenalan? Calon suami? Atau apa lah itu.

Mengingat foto pertama yang Nyokap beritahu, gue yakin banyak pria yang mau berkenalan dengannya. Kenapa harus gue yang Nyokap desak? Kalau saja Harada bisa gue dekati minimal komunikasi gue baik dengannya, gue pastinya Nyokap bungkam sudah gue bawa dia ke hadapannya.

"Mommy tau?" kata gue dengan nada lelah. Ini sudah ketiga kalinya, beliau bicara mengarah pada satu persetujuan di mana gue mau berkenalan dengan Andhrea Salim. "Mommy macam jual anak ke orang lain." Sebenarnya takut dosa juga gue, tapi mau gimana? Gue gemas juga lama-lama. Semoga aja Nyokap enggak terlalu tersinggung.

Beruntungnya enggak. Beliau malah tertawa. "Iya dong. Kamu tau enggak? Mommy dikasih harta warisan banyak banget dari Salim Grup."

Gue menggeleng saja. "Sudah ah. Terserah Mommy mau gimana. Rian enggak peduli." Ponsel yang ada di meja, gue sambar pelan. Sabtu ini sebenarnya gue pengin istirahat dan mulai menyusun mengenai agenda di Jepang nanti. Berhubung Erin enggak ikut, gue harus mandiri menyiapkan beberapa jadwal. Untuk hasil tes uji coba Tea dan Harada, baru senin nanti keluar. Tapi mereka sudah gue minta untuk prepare perjalanan ke Jepang selama tiga hari ini.

Apa moment ini gue manfaatkan untuk dekat dengan Harada, ya? Kayaknya bukan ide yang buruk, kan?

"Eh, mau ke mana kamu?"

"Ngopi."

"Dari pada kamu ngopi sendirian mending temani Daddy golf." Bokap gue keluar dari kamarnya sudah apik jail dengan kaus santai siap untuk main golf.

"Nah, itu lebih bagus." Ini suara Mommy yang segera saja menyeret saru tas besar berisi peralatan golf Bokap.

"Ayo. Jangan kelamaan mikir. Macam kamu lagi bicara tender besar aja."

Orang tua gue memang kadang menyebalkan luar biasa, ya? Untung sayang.

****

Sisa weeknd gue benar-benar sebagai supir, peneman ngobrol, dijual pula sama Bokap sendiri di depan seseorang yang cukup terkenal di kancah bisnis property Indonesia; Joe Salim. Katanya, "Nanti kalau Andhrea sudah siap berkenalan sama Rian, pasti akan jadi pertemuan yang seru."

Rasanya gue pengin banget berdecak kesal. Memang mereka berdua ini yang menyodorkan gue terus, kan? Mengesankan kalau gue ini ... astaga! Berharap banget bisa kenal dengan Andhrea? Padahal sama sekali enggak!

Sudah lah, gue luruskan saja. toh mereka sudah selesai main golfnya. Tengah bersantai di kafetaria yang menyajikan pemandangan yang sejuk sebenarnya. Tapi enggak bikin hati gue damai. Malah panas.

"Sejak awal sebenarnya Rian sering menolak, Om. Hanya saja, Mommy dan Daddy ini sepertinya pengin banget kami bertemu, ya."

Wajah Bokap yang tadinya ada senyumnya, mulai menghilang. Sementara pria paruh baya yang ada di depan gue ini malah tersenyum lebar.

"Sebenarnya ini prakarsa Om, Rian."

Kening gue berkerut.

"Dan bertemu kamu hari ini juga ide Om."

Gue sediki melirik pada Bokap yang terlihat meminta gue untuk menyimak apa yang mau diucapkan seorang Joe Salim.

"Tadinya Om pikir, bertemu dan mencari tau tentang kamu bisa sambil lalu. Tapi Om mulai memikirkan sejenak, pasti ada sesuatu yang istri saya inginkan di hari-hari sebelum akhirnya beliau tinggalkan kami."

Gue merasa, sorot mata tua itu sendu banget. Seolah tengah merindukan kekasih hatinya. Kalau bicara mengenai istri seorang Joe Salim, berarti sahabat Nyokap, kan? Yang meninggal setahun lalu? "Saya turut berduka cita, Om."

Bibir tua yang agak menghitam itu tersenyum kecil. "Terima kasih." Diangkatnya cangkir kopi miliknya. Memejam sejenak seperti tenga menikmati di antara embus angin yang menemani kami. Gue akhirnya pun melakukan hal yang sama, juga Bokap.

"Istri saya bilang, ingin menjodohkan putri semata wayang kami dengan putra sahabatnya. Yaitu kamu. Sudah lama pembicaraan itu saya simpan sampai entah kenapa, seminggu sebelum istri saya berpulang, dia kembali mengingat keinginannya itu."

Oke. Gue coba memahami.

"Apa ... putri Om tau?"

Beliau menggeleng. "Saya juga baru memberitahu keinginan ini belum lama. Dan yang paling bersemangat dengan hal ini ..."

"Mommy." Baik gue dan Bokap sama-sama menoleh, di mana setelahnya kami bertiga tertawa bersama.

"Kalian benar. Sehati sekali."

Gue menggeleng pelan karena ternyata sepemikiran dalam hal ini.

"Begitu lah adanya Aning, Joe."

"Tapi saya yakin, hidup kalian jadi seru, kan?"

Mereka berdua tertawa kembali. Sementara otak gue memikirkan sesuatu yang lain. Ternyata Nyokap sedikit mendesak mengenai perjodohan ini ada sebabnya.

"Kamu ... mau, kan, berkenalan dulu dengan Andhrea?"

****

Di meja gue sudah ada berkas untuk nama-nama karyawan seluruh The Frizst yang akan berangkat ke Jepang. Dari total 200 karyawan yang ada di kantor pusat, sebanyak 20 orang dikirim ke Jepang untuk pelatihan. Biasanya untuk manager pendamping pun bergantian mengawasi di mana tahun ini jatah gue. setelah tahun lalu Teddy yang pergi ke sana bersama Risa.

Padahal kesempatan itu terbuka luas, kan? Teddy saja yang enggak bisa memanfaatkan moment. Dan kali ini, gue enggak akan sia-siakan kesempatan yang ada.

Nama Tea dan Harada muncul di list dari departemen klaim. Tanpa sadar, sudut bibir gue tertarik penuh kemenangan. Tapi cepat gue hilangkan begitu pintu ruangan gue diketuk. Di mana Erin masuk dengan beberapa map.

Ia memberitahu beberapa hal mengenai apa yang dibawakannya untukku. Sesekali gue bertanya mengenai beberapa hal termasuk dokumen kelengkapan lain mengenai klaim yang sulit dimintai.

"Mbak Ara sudah saya info, Pak. Tapi sampai sekarang belum ada dokumennya," jelas Erin. Gue bisa dengar ada nada enggak suka di sana.

"Panggil Ara kalau begitu. Dokumen ini harus segera bisa bisa dibayarkan."

Dia mengangguk cepat dan gue bisa melihat jelas ada seringai tipis di bibirnya. Mata gue memilih fokus untuk membuka berkas lainnya. Dan enggak butuh waktu lama juga, Harada pun datang bersamaan dengan Erin.

"Duduk, Ra," perintah gue yang segera dijawab dengan anggukan pelan. "Untuk berkas yang ini, belum lengkap? Deadlinenya enggak bisa terlalu lama, lho." Gue sedikit mendorong berkas yang tadi Erin berikan agar mudah ditelisik oleh Harada.

Hari ini, gue merasa penampilannya sedikit berbeda. Apa, ya?

"Ini sudah saya email dari kamis lalu, Pak. Juga sudah saya cetak, kok, berkasnya untuk Salinan sementara sembari menunggu yang asli. Kemungkinan sampai hari ini."

"Enggak ada, Mbak Ara. Kalau ada pasti aku forward ke Bapak."

Gue bisa lihat, Ara menoleh pada Erin dengan pandangan enggak percaya. Lalu mengangguk pelan namun matanya kini tertuju ke arah gue. "Mungkin saya salah di sini enggak segera forward tapi justeru mencetaknya lebih dulu. Jadi enggak diterima Erin untuk dilaporkan dengan segera. tapi saya tau, kalau berkas itu sudah selesai pengurusannya. Tinggal tunggu aslinya saja."

"Kalau gitu ini bisa diajukan ke finance, ya? Kamu buatkan segera pengajuannya. Biar enggak terlalu lama."

"Lain kali, Mbak, kalau berkas seperti ini segera di-forward ke saya. Jadi kalau Bapak tanya, saya juga tau sampai di mana."

Gue enggak tau kenapa dengan Erin yang seperti menyudutkan Ara begini. "Sudah, enggak apa. Yang penting, berkasnya ada."

"Bukan gitu, Pak." Erin berdecak. "Yang sering kena komplain, kan, Risa. Dia sering mengeluh karena klaim yang ini lama pencairannya. Ternyata berkasnya ada yang ditahan sama Mbak Ara."

'Maaf, Erin. Bekerja di bawah divisi klaim memang pekerjaannya menerima klaim, kan?"

Erin menoleh ke arah Ara dengan tatapan enggak suka.

"Dan saya enggak berniat menahan dokumen sepenting ini."

"Tapi memang emailnya enggak aku terima, kok," sanggah Erin cepat. "Mbak pasti enggak segera email, kan?"

"Bagaimana kalau kita buktikan dengan melihat resent email saya? Kalau saya salah, saya minta maaf. Tapi sejak tadi, saya merasa disudutkan karena dokumen ini."

Ucapan itu dikeluarkan dengan nada demikian santai tapi gue tau, tatapan Ara pada Erin tak ada santainya sama sekali. Menengahi mereka, gue segera saja berkata, "Sudah. Yang jelas, segera buatkan saja dokumen pendukungnya."

"Saya permisi, Pak," pamit Harada cepat. Di tangannya, berkas yang tadi tengah gue periksa ia bawa serta. Sementara Erin meliriknya dengan sinis sekali.

"Kamu kenapa, Rin?" tanya gue akhirnya. Mungkin suara gue membuatnya terkejur karena ia sedikit gelagapan bertingkah.

"Enggak ada apa-apa, Pak. Mbak Ara yang agak teledor, kok, enggak mau akui salahnya."

"Saya justeru merasa kamu yang aneh di sini, Rin."

Keningnya berkerut. "Aneh?"

"Enggak biasanya kamu seperti ini di depan saya? Kamu kenapa?"

Karena Erin enggak juga menjawab pertanyaan gue ini, gue minta ia segera keluar tapi tindakannya pada Ara tadi bikin gue senewen jadinya. Mungkin di sini, Ara memang salah tapi bukan berarti seperti dijatuhkan di depan atasannya, kan? Gue mendapatkan kesan seperti itu atas sikap Erin barusan.

Gue enggak butuh penjilat di sekitar gue. Yang gue butuhkan itu tim yang solid. Enggak butuh waktu lama, Ara kembali duduk di kursinya. Kali ini, ia sodorkan berkas yang jauh lebih lengkap dari apa yang Erin bawa. Dia duduk dengan wajahnya yang datar, tanpa ekspresi, juga senyumnya yang sama sekali enggak mau hadir di bibir tipisnya itu.

"Kamu marah?" tanya gue pelan sembari mengecek satu per satu lembaran yang dia serahkan tadi.

"Saya? Marah? Kenapa harus marah?"

Gue mengedikkan bahu pelan, sesekali mata gue sedikit melirik ke arahnya. Tetap saja, minim sekali ekpresi yang ia tampilkan hingga gue selesai memeriksa laporannya. "Ini sudah oke. Bisa langsung beri ke bagian finance."

Dia mengangguk.

"Kamu dan Tea bersiap untuk ke Jepang, ya."

Lagi-lagi Harada ini hanya mengangguk. Bibirnya benar-benar enggak dipergunakan sebagaimana mestinya, ya?

"Kalau kamu merasa enggak nyaman dengan ucapan Erin barusan, next dokumen CC ke saya juga," kata gue mencoba mengambil atensinya dari fokus yang ia punya.

Matanya yang tengah mengecek bagian di mana gue bubuhkan tanda tangan tadi, diangkat. Menatap gue lekat-lekat. "Saya selalu CC Bapak juga termasuk email yang dimaksud."

"Kapan kamu kirim, Ra? Semingguan kemarin memang saya sibuk sekali. Hanya email-email tertentu yang segera saya kerjakan."

"Kamis sore, Pak."

Segera gue cek dan ... benar. Email itu pun gue terima di antara ratusan email lainnya. Kalau untuk email follow up memang jarang sekali gue buka karena gue hanya sebagai yang mengetahui saja.

"Oke. Nanti saya bicara dengan Erin."

"Enggak perlu, Pak. Yang terpenting, Bapak tau saya memang sudah kirimkan emailnya. Saya permisi."

Gue ... melongo saja sampai dia benar-benar hilang dari ruangan gue. Menyisakan aroma parfum lembut yang bikin gue makin berpikir, dia berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro