Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[38] Kembali normal, hamdalah.


Sejak bos aneh bernama Rian Tanuwidjaya itu bilang mengenai hubungan kami ke muka umum, aku merasakan banyak perubahan. Terutama dari Rian. Bagiku itu tak masalah. Justeru aku seperti menemukan dunia baru. Maksudku, aku tak lagi merasa seperti orang yang dibuat tak nyaman.

Dia bersikap biasa saja walau aku tau, terkadang aku masih terintimidasi oleh tatapannya.

Juga ... melunaknya tatapan staff di divisiku terutama Risa juga Erin. Untuk Tea, ia tak banyak berubah. Pun Tsania. Aku merasa lega akhirnya. Bekerja dengan tenang dan tak merasa kalau Rian menjadi menyebalkan seperti yang sudah-sudah.

Menyelesaikan sisa pekerjaanku di sore hari pun tak jadi soal karena aku tau, Rian tak lagi menghadang dan memaksakan diri mengantarku. Kulihat kalender meja, sudah berlalu lima hari perubahan ini terjadi. Ah ... sungguh lega sekali rasanya.

"Mbak, kami duluan, ya," pamit Tsania. Disusul Tea juga Risa. Dania sudah lebih dulu karena buru-buru ada yang mesti ia kerjakan. Kulirik meja Erin pun sudah tak ada lagi penghuninya. Rian? Sudah mengucapkan pamit sejak dua puluh menit lalu.

Kupergunakan saat-saat membenahi tas untuk mengabarkan Bianca. Memastikan dirinya besok membantuku, walau rasanya tak perlu. Aku hanya butuh teman bicara.

"Iya, Bos Papa sudah bilang ke gue. And ... it's very-very nice move!"

Aku tertawa. Di sana, Bian setengah memekik dan bisa kubayangkan bagaimana ceria wajahnya itu.

"Gue sudah kasih tau Lanie dan lo tau hal gila apa yang mau dia lakukan?"

"Apa?" tanyaku namun di dalam hati sudah mulai memperhitungkan kemungkinan apa yang mau Lanie lakukan.

"Dia mau pulang dar acara honeymoon-nya itu. Gila, kan? Demi lo, Dhrea."

Aku tergelak. "Jangan, lah. Masih ada lo juga."

"Nah, itu lah. Bukannya senang-senang bikin anak malah mikirin lo."

Semua perlengkapan termasuk gadgetku sudah masuk ke dalam tas. Kupasang ear phone untuk mempermudah obrolan. "Gue serasa anak kecil aja."

Di sana aku bisa mendengar Bianca sedikit berdecak. "Kita semua khawatir sama lo, Dhrea."

"Yah, tapi sejauh ini gue sudah jauh lebih baik. Makasih sudah temani gue, ya."

"Gue enggak sabar belanja bareng sama lo lagi. Kata Mas Reza, gue sekarang hemat."

"Eh, sembarangan, ya, Mas Reza! Yang boros itu memang lo. Bukan gue."

Kami sama-sama tertawa. Beruntung sekali di koridor dekat lift tak ada staff lainnya. Setidaknya aku tak mengganggu orang lain.

"Besok pagi gue ke rumah lo bantu beberes."

"Papa bilang kita bukan siap-siap nantinya. Tapi malah ngegosip."

Kembali kami tertawa. Hingga saat aku menoleh karena merasa ada yang memperhatikan, kudapati Teddy tengah menatap ke arahku. "Ya sudah, besok gue tunggu di rumah. Gue jalan pulang dulu." Segera aku matikan sambungan telepon tadi.

"Pak," sapaku pelan sembari menunggu lift yang kurasa sebentar lagi terbuka. Benar saja, tak sampai satu menit, lift pun terbuka. Ada dua orang di dalamnya. Membuat lift tak terlalu penuh karyawan lain.

"Baru pulang, Ra?" tanyanya.

Hanya kujawab dengan anggukan pelan serta senyum kecil. Aku sempat memberi kabar pada Pak Anwar untuk menjemputku di lobby saja. Ketika lift berhenti tepat di lobby, aku melangkah keluar. "Mari, Pak."

"Eh? Lobby juga?" tanya Teddy yang membuatku sedikit menoleh. Kami melangkah hampir bersamaan, bergantian dengan dua orang tadi.

"Iya, Pak."

"Saya pengin ajak kamu sekadar minum kopi atau, yah ... teh di kafe Lilac tapi sepertinya mobil kamu sudah jemput, ya."

Aku mengikuti arah pandang Teddy di mana Hachie ternyata sudah berjejer rapi di dekat lobby. Untuk mobil jemputan hanya boleh terparkir paling lama lima menit menunggu, selebihnya harus parkir di basement.

"Iya. Mohon maaf untuk tawarannya," kataku dengan ringisan kecil. "Saya duluan, Pak."

"Kapan-kapan kalau saya ajak ngopi bareng? Keberatan?"

Sebelum langkahku benar-benar menjauh darinya, aku sedikit menoleh dan berpikir cepat. "Ehm ... saya lihat waktu saya dulu, ya, Pak." Kalau segera aku tolak, rasanya kurang etis. Semoga saja Teddy paham dan tidak memaksa macam Rian.

Astaga. Kenapa aku malah teringat Rian?

***

Aku dan Bianca benar-benar banyak bicara diselingi tawa. Entah kenapa, aku merasa jauh lebih ringan ketimbang sebelumnya. Mungkin saja, karena aku mulai menerima apa yang sudah ditakdirkan untukku.

"Gimana kerjaan?"

Dari sekian banyak obrolan seru mengenai kantor Papa, keseharianku, baru sekarang Bian menanyakan mengenai pekerjaan. "Yah ... not bad. Gue mulai suka aktifitas di sana. Bulan depan ke Jepang ada pelatihan. Tapi gue belum izin Papa."

"Pelatihan apa?"

Walau ada Sasha di antara kami, gadis itu sungguh hiburan tersendiri. Ada saja kelakuannya yang membuat kami tertawa diseling geram. Kalau Bianca bilang, "Anak dalam tumbuh kembang kayak gini kalau kita enggak sabar-sabar, bisa perang terus."

Aku pernah membayangkan betapa seru memiliki anak tapi semuanya hilang begitu saja. tak apa, Ndhrea. Tak apa. Aku sudah berjanji untuk membenahi hati juga diri. Jangan lagi menoleh ke belakang serta menambah deretan banyak penyesalan.

"Pelatihan klaim gitu lah gue baca modulnya. Gue dengar selintingan kabar, kalau mau melamar kerja di perusahaan asuransi lain, sertifikat pelatihan itu jadi pertimbangan khusus," terangku sembari memperhatikan Desi merapikan baju dari koper yang kubawa tadi.

"Memang rencananya lo mau lama kerja di sana?"

"Enggak juga. Ngabisin kontrak 6 bulan aja."

Bianca mengangguk. "Kadang Bos Papa bilang, kangen lo kembali bekerja."

Aku tertawa saja.

"Tapi lo begini saja kami sudah senang banget, lho."

"Bicaranya itu terus. Gue bosan," kelakarku yang segera saja ditanggapi cibiran dari Bianca.

"Oke. Kita beralih ke bos lo itu. Masih nyebelin enggak?"

"Kenapa arahnya ke Rian?"

"Oh ... namanya Rian. Oke-oke." Bianca mengerling jahil ke arahku. Aku memutar bola mata jengah dengan dengkusan sebal. Baru saja akan beranjak karena malas bicara dengan Rian sebagai topik utama, Bianca sudah mencegahku. "Kalau lo menghindar berarti lo ada apa-apa sama dia."

"Apaan, sih? Enggak lah!"

"Ya sudah kalau gitu. Lo duduk di sini dan cerita."

Bianca memang semenyebalkan itu kalau bertingkah. Membuatku tak berkutik dari banyak pertanyaan yang ia luncurkan itu. Yang mana akhirnya aku ceritakan bagaimana Rian dalam keseharianku bekerja.

Setelahnya ... Bianca tergelak. Sampai sudut matanya basah saking gelinya tertawa. Aku berdecak kesal jadinya. "Nyesal gue cerita ke lo."

"Eh, lo merasa enggak kalau Rian mungkin naksir sama lo?"

Berhubung aku menatapnya tanpa ekspresi, tawa yang tadi masih ada di bibir Bianca makin lama makin hilang. "Jadi ... lo tau, Dhrea?"

"Hati gue memang lagi mati rasa tapi peka gue untuk laki-laki masih hidup."

Lagi-lagi Bianca tertawa. "Astaga! Terus-terus?"

"Lo pikir gue tukang parkir?"

Sahabatku ini tak menggubris sama sekali. "Lo enggak ada perasaan apa-apa?"

"Mau punya perasaan macam apa? Naksir? Balas perhatian dia? Enggak lah. Ngapain? Nata diri aja gue baru sanggup segini."

Bianca mengangguk. "Lo benar. Itu memang harus jadi yang paling utama. Tapi jangan menampik juga kalau memang Rian mulai masuk ke hati lo."

Aku tersenyum saja. merapikan rambut ke selipan telinga. "Rambut gue kusam juga, ya."

"Memang selama ini lo mainan ke salon lagi?"

Entah kenapa ide ini muncul begitu saja. "Bawa Sasha. Kita ngemall?"

"WELCOME BACK, ANDHREA SALIM."

*****

Aku tak mau banyak yang diubah mengenai potongan rambut juga warnanya. Terakhir kali, burgundy indah serta rambut panjang lurus menghiasi rambutku. Kupangkas pendek untuk menghilangkan sisa-sia warna cantik itu serta melunturkan warnanya. Mungkin dengan rutin perawatan kembali, rambut indahku bisa kembali.

Kuminta pihak salon merapikan ujung rambut serta poniku. Juga perawatan lainnya. Setahun ini memang tak pernah aku menginjakkan tempat yang biasanya rutin kukunjungi. Sasha justeru kegirangan saat petugas salon mencuci rambutnya. Suaranya yang ceriwis itu memenuhi area salon yang tak terlalu banyak pengunjung.

Beberapa kali aku terlibat obrolan random dengan staff salon karena tempat ini memang langganānku melakukan perawatan tubuh. Menolak beberapa opsi tapi membuat janji di lain waktu karena aku tak ingin pulang terlalu larut. Aku janji dengan Sasha, akan bermain di TimeOne nantinya.

Bermain di sana dengan Sasha menghabiskan banyak waktu. Sungguh.

"Kita makan dulu, kan, Aunty? Kalau enggak makan, enggak ada tiket TimeOne," kata Bianca dengan nada sedikit mengancam. Keluar dari salon tadi, aku meminta Pak Anwar mengantarkan kami ke lobby Mall Pondok Indah.

"Ih, Mami enggak asik."

Aku tertawa dengan tingkah mereka berdua. Ibu dan anak ini sering sekali berdebat bahkan sering kali Reza mengeluh, kalau Bianca tak mau mengalah sedikit saja dengan Sasha. Padahal aku tau, betapa sayang Bianca dengan anaknya ini. Semua hal yang berhubungan dengan Sasha, pasti menjadi prioritas Bianca. Walau, yah ... harus dengan serentetan ucapannya yang mirip kereta.

"Kalau enggak makan lebih baik kita pulang."

"Ih, Mami enggak asik banget, Aunty." Kali ini aku merasa ada yang menggenggam tanganku erat. Sasha. "Aku kenyang. Tadi, kan, sudah makan. Iya, kan, Aunty."

Kulirik Bianca yang sudah berdecak kesal.

"Makan dulu. Aunty dan Mami lapar. Nanti kita pingsan, Sasha kuat angkat kami berdua."

"Ih!"

Genggaman tanganku dilepas begitu saja. Tangannya bersidekap, matanya menatapku tak suka tapi akhirnya menyerah. "Oke. Makan dulu. Sedikit aja."

Drama dengan anak-anak kalau Bianca boleh memberi istilah. Pilihan Sasha mutlak, makan ayam goreng tepung yang ia gemari. Kami mengalah. Beruntungnya tak ada drama lanjutan. Sasha makan dengan tenang bersama Mbak Ita, pengasuhnya yang selalu Bianca ajak serta. Bianca bukan tak ingin kerepotan diikuti anak. Pengasuhnya juga harus ikutan bermain bersama dan keluar jalan-jalan ketika ia mengajak anaknya keluar rumah.

Bahkan aku tau, sering kali Bianca membelanjakan banyak kebutuhan Mba Ita. Dan kulihat, sayang yang Mbak Ita miliki untuk Sasha pun tak main-main. Terasa sekali tulusnya.

"Ready to play, Sha?" tanyaku pelan ketika kami semua selesai makan. Gadis kecil itu duduk dengan tenang sembari menunggu kami semua menyelesaikan makan.

"I'm ready!!!"

Aku kembali tertawa. Kuikuti langkahnya yang penuh semangat menuju TimeOne yang berlawanan arah dengan restoran tempat kami makan ini. Sepanjang jalan ia terus saja mengoceh mau bermain ini dan itu.

Tiba di lokasi bermain, segera saja aku mengisi kartu untuk bermain Sasha. Membiarkan Mbak Ita membuntuti Sasha ke mana pun area yang ia inginkan itu. Aku memilih duduk di salah satu sudut. Mengamati. Sementara Bianca sibuk dengan ponselnya yang kurasa ada hubungannya dengan kantor.

Tak enaknya menjadi sekretaris kurasa seperti ini. Dia harus update mengenai beberapa urusan termasuk agenda di luar kantor yang mana menjadi krusial karena terkadang, kesepakatan bisnis terjadi di lapangan golf misalnya.

Hingga ...

"Ara?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro