[37] I can't handle this
YA AMPUNNN PADAHAL BAB 37 INI BENAR-BENAR SERU LHO YAAA
BISA-BISANYA AKU KELEWATAAN. HAHAHHHA
TAPI OKE LAH YA, KALIAN BACA ULANG AJA DULU DARI BAB 35 - 39 SEKALIAN TUNGGU JAM 3 SORE UNTUK UPDATE.
AKU MULAI UPDATE DI KARYA KARSA KEMUNGKINAN SENIN, BERTAHAP LHO YAAA. SIAPKAN KOINNYA YAAA.
***
Gue benar-benar berpikir jadinya. Sampai bangun di Senin pagi saja agak terlambat. Bagus ada Nyokap yang bangunin, coba kalau enggak? Gue fix bolos perkara bangun kesiangan. Enggak keren banget, kan?
Agak buru-buru gue menghabiskan sarapan buatan beliau, menyapa sekilas Bokap yang sudah rapi dengan setelannya. Beliau bilang ada rapat di kantor pusat. Nanti malam saja lah gue bercengkerama dengan mereka. Kalau gue makin memperlama diri, pasti kedatangan gue di kantor terlambat.
Jakarta dan Senin itu kolaborasi paling maut untuk membuat celaka para karyawan yang bangun agak kesiangan macam gue ini.
Gue sudah membulatkan tekad, untuk enggak menggejar Harada lagi. Gue berasumsi kalau memang rasa penasaran gue terlampau besar pada gadis biasa itu. Enggak ada yang salah, kan, dengan seseorang yang memang enggak mau 'melihat' lo? Kenapa gue seperti orang kesetanan?
Juga bukan berarti gue mau menerima perasaan Erin. Enggak. Di mata gue, Erin ini memang cocok untuk menjadi asisten di kantor. Bukan untuk gadis yang bisa gue perkenalkan ke Nyokap.
Mengenai tekad gue itu juga lah, gue lunturkan keinginan telepon Harada membahas hal yang seenaknya gue ucapkan di malam minggu kemarin. Dangdut banget gue bilangnya, ya? Hati gue? Astaga! Andai bisa gue tarik ucapan itu, pasti sudah gue lakukan. Dan hari ini pun, gue akan berlaku seperti seharusnya.
Iya, benar. gue Cuma penasaran. Gue enggak mau tanggung akibatnya semisal nantinya Harada melihat ke arah gue. Seperti Erin. Aduh ... jangan sampai. Semoga saja kejadian di Bali, hanya di Bali saja dipikirkan. Pekerjaan enggak sampai membuat Erin terganggu.
Maka atas pemikiran gue ini, gue hanya bersapa biasa ketika tiba di ruangan. Enggak lagi menghampiri meja Harada sekadar untuk basa basi pada staff lain padahal gue tengah merusuhinya. Karena seringnya gue rusuhi perkara sarapan, akhirnya ada satu kotak khusus yang ia siapkan untuk gue.
Katanya saat itu, "Bapak kelaparan. Anggap saja saya tengah berbaik hari memberi sarapan untuk Bos."
Anehnya, gue enggak sakit hati. Kotak itu selalu gue bawa masuk ke dalam ruangan dan menikmatinya sendirian sembari mulai mempersiapkan diri dengan banyak laporan.
Pagi ini, hal itu enggak lagi gue lakukan. Memilih meminta Erin siapkan secangkir kopi juga roti manis yang ada di kedai bawah. Senyum gadis itu enggak tau kenapa, makin lebar. Berhubung kepala gue penuh dengan hal lainnya, gue enggak terlalu memperhatikan Erin. Begitu disajikan, mendadak gue kangen kotak biru dari Harada.
Enggak. Enggak. Gue enggak boleh lemah sama tekad gue yang mengatakan, kalau gue sebatas penasaran. Enggak peduli kalau Erin menatap gue dengan kebingungan saat melahap roti manis tadi. Yang paling penting, kotak makan biru punya Harada cepat menyingkir dari hati gue. Bisa saja karena perut gue setengah terisi jadinya bikin gue enggak fokus, kan?
Bagusnya sikap Erin pun kembali seperti biasanya. Bekerja dengan batas profesionalnya juga memberi gue banyak pekerjaan. Gue sampai berucap alhamdulillah beberapa kali karena sibuk di Senin kali ini. Juga enggak sebentar-sebentar memiliki keinginan untuk memanggil Harada ke ruangan ini. Alasan gue jelas, ngajak dia diskusi padahal pengin lihat dia bicara.
Chessy banget, ya, gue?
Tapi itu minggu lalu, minggu ini hal-hal seperti itu enggak gue lakukan lagi. Tekad gue seperti itu.
Ponsel gue berdering pelan tanda ada satu pesan masuk. Gue pikir dari Bokap karena biasanya kalau beliau ada di Jakarta, pasti ngajak gue makan bareng sekalian mengenalkan gue sama rekan bisnisnya yang lain. Gue, sih, enggak masalah. Toh berkenalan dengan banyak relasi untungnya besar buat eksistensi gue.
Ternyata bukan. Dari Vio.
Violet : Makan siang? Paper Lunch PS?
Segera gue balas dengan penuh tanya. Kalau sebatas membicarakan hati, gue malas. Ngapain? Bukan kegeeran, ya. Engak butuh waktu lama juga bagi gue terima balasan dari Vio.
Violet : Kenalan sama pacar aku lah.
Senyum gue terkembang lebar. Gini dong.
Rian. T : Beres. Traktir ya?
****
Rasanya gue pengin banget ganti muka! Sumpah! Walau di samping gue ini, Harada biasa saja seolah semua yang sejak tadi menghampiri kami ini enggak berefek apa-apa buat dia! Di awal memang dia agak terkejut, tapi begitu lengannya Vio gamit seolah sudah akrab, gue enggak bisa berbuat apa-apa.
Juga wajah-wajah kaget staff lainnya yang memang enggak menyangka banget akan terjadi seperti ini. Di mana Vio sembarangan banget bicara kalau Harada ini pacar gue. Ya Robbi Salam! Gue takut, makin jadi lah tatapan enggak suka juga asumsi yang Erin punya itu. Lalu ... bom! Tersebar ke semua penjuru The Frizst.
Gue biasa jadi pusat perhatian, kalau Harada? Gue enggak tau.
"Kamu kenapa, sih, Yan? Muka tegang banget gitu?" tanya Vio santai banget. Ya ampun, perempuan ini. Kalau saja enggak ada pacarnya, yang tadi memberi gue tatapan penilaian gitu. Mengesankan kalau gue bisa merebut Vio kembali.
Enggak minat, Bung.
Mendapatkan Vio itu perkara mudah, tapi kalau perempuan yang digandeng Vio ini yang susah. Lho? Kenapa gue malah berpikiran seperti ini, sih?
"Bukan tegang. Kamu itu kebangetan, Vio."
Gue tau, bukan hanya Vio yang terperangah tapi juga pacarnya. Siapa, ya, namanya? Richard? Ricky? Lupa.
"Aku kenapa?"
"Aku dan Harada ini enggak ada hubungan apa-apa. Ucapan kamu tadi bikin suasana enggak nyaman jadinya," keluh gue akhirnya. Yang segera saja disambut gelak tawa darinya. Deretan giginya yang putih, belum lagi tiba-tiba Vio yang sedikit bersandar pada bahu pacarnya itu. Gue enggak iri, kok. Malah senang kalau Vio kembali ke sini dan memiliki pasangan.
Mungkin ini tujuannya pulang. Gue enggak banyak bertanya dan gue rasa enggak penting juga. Itu sudah menjadi urusannya Vio.
"Masa, sih?" tanya Vio dengan nada meledek. "Enggak mungkin kalau enggak punya hubungan tapi sampai belanja berdua gitu. Kamu anti, lho, Yan."
Gue berdecak dan ingin menimpali tapi keburu Harada yang bersuara.
"Apa yang Pak Rian bilang itu benar, Bu Vio. Saya staff beliau, kok."
"Tapi, kok, aku enggak percaya, ya, Ra?"
Dari sudut mata ini bisa gue perhatikan perempuan di samping gue ini, tersenyum tipis banget.
"Itu sudah menjadi urusan Ibu kalau enggak percaya dengan saya. Bisa kita makan siang sekarang? Maaf terkesan enggak sopan tapi saya punya batas waktu makan siang di luar."
Vio menatap gue dengan mata yang melotot sempurna, lalu gadis itu melirik ke arah pacarnya, dan ... tertawa lagi. Kali ini gelaknya cukup membuat gue enggak sangka, kalau Vio bisa kelepasan seperti itu. Seolah apa yang baru saja terjadi sangat menggelikan buatnya. Sementara gue? Enggak bisa bicara apa-apa lagi selain mengikuti Harada yang mulai menikmati pesanannya.
Sampai makan siang kali ini selesai walau enggak menyinggung mengenai hubungan kami lagi, tapi tetap saja gue butuh bicara dengan Harada. Vio dan pacarnya pamit tapi dengan paksaan kalau pesta pertunangannya nanti, gue harus datang dengan Harada. Acara itu diselenggarakan dua minggu lagi.
Gue enggak tanggapi sama sekali rayuan Vio hingga Ricky, nama pacar alias calon tunangan Vio itu ternyata Ricky bilang, "Sudah, jangan dipaksa. Kita tunggu saja siapa gandengan Pak Rian di acara kita nanti."
Sialan!
"Maafkan Vio, Ra," kata gue kemudian. Kami berjalan menyusuri koridor lain untuk kembali ke kantor. Anggap aja kesempatan untuk bicara dan meluruskan apa yang tadi membuat kami canggung. Atau ... hanya gue? Karena Harada sepertinya enggak terganggu sama sekali.
"Enggak apa, Pak. Hanya saja, saya minta tolong. Jangan sampai staff lain berpikiran kalau kita memang memiliki hubungan."
Gue memperlambat langkah, membiarkan Harada mendahului gue, sedikit banyak gue bisa melihat bahunya yang kurus dibalut dengan kemeja longgar berwarna biru pupus. Padanan celana kain biasa juga sepatu berhak rendah selalu menjadi andalannya.
Ucapannya kenapa bikin hati gue ngilu, ya?
Ia menoleh karena mungkin menyadari kalau gue enggak lagi di sampingnya. Dan sumpah demi Tuhan, ya Allah, dia tersenyum manis banget. Sembari merapikan rambutnya yang mengganggu ke selipan telinga. Wajahnya enggak ada yang berubah dari yang sering gue lihat dalam keseharian di kantor.
Masih dengan kacamata burung hantunya itu. Bikin langkah gue tanpa sadar mendekat. Kalau begini caranya, tekad gue kayaknya bakalan kalah. Belum lagi ucapan Violet saat enggak ada Harada tadi. Dia izin ke toilet sesaat setelah makan siangnya selesai.
"Dia beda, Yan. Aku yakin, bukan dia yang jungkir balik karena pesona kamu. Tapi kamu."
"Sok tau kamu, Yang," sela Ricky kemudian.
"Ih, aku serius, lho. Perempuan macam Harada walau secara look biasa aja, tapi dia punya inner beauty tersendiri. Aku bisa merasakannya, lho."
Gue terkekeh sembari menggeleng atas asumsi Vio tadi.
Tapi ...
"Banyak yang patah hati kalau Bapak benar-benar memiliki hubungan dengan saya yang biasa ini. Saya harap, Bapak nanti jelaskan dengan gam—"
"Kalau saya maunya kamu, gimana?" Buru-buru gue sela ucapannya. Matanya enggak putus menatap gue, sedikit mendongak. Enggak peduli kalau di sekitar kami ini banyak orang berlalu lalang, buat gue, seolah waktu diberhentikan pada detik ini.
Detik di mana tekad gue runtuh hanya karena ditatap seperti ini olehnya. Juga ... senyum tipisnya kembali ia hadirkan di bibirnya yang agak-agak merah gitu. Dia enggak pernah pakai lipstisk seberani perempuan di kantor gue, kok. Gue rasa karena makan siang tadi.
"Itu maunya Bapak, kan? Bukan mau saya. Tolong berhenti, Pak. Jangan buat suasana enggak nyaman jadinya."
"I can't hold this," erang gue setengah putus asa. "Sudah saya coba, Ra. Tapi enggak bisa. Dan saya enggak tau kenapa."
*****
Dasar Rian bego!!! Begonya sudah bukan level dunia lagi, tapi akhirat!!! Ya Tuhan! Kenapa gue berkata macam tengah mengutarakan perasaan ke Harada? Wajar kalau setelah dia mendengar ucapan gue, yang ia lakukan adalah bergerak cepat. Menjauhi gue!
Gila!!!
Semua kegilaan ini sampai bikin gue membuntuti Harada. Parkir agak jauh dari gerbang rumahnya. Memperhatikan lekat-lekat kalau gadis itu keluar sedannya, masuk ke dalam, dan ... sudah. Itu saja.
Setelah makan siang tadi, gue pengin hampiri tapi niat itu gue urungkan segera. Gue enggak mau suasana tambah panas dan bisa mengganggu Harada juga. Mungkin benar adanya kalau gue harusnya konfirmasi ucapan Vio tapi gimana?
Sebagian hati gue bilang, biarkan saja gosip murahan itu. Sudah biasa bagi gue dijadikan bahan obrolan sebagian besar karyawan di sini. Yang pasti, gue tau banget topik yang akan diangkat.
Selera gue turun jauh.
Enggak masalah di gue tapi ... Harada? Gue takut, dirinya terkena imbas berlebih. Gue hela napas panjang sebelum akhirnya membulatkan niat, untuk meluruskan masalah ini. Gue jelaskan kalau Vio hanya berseloroh dan jangan menganggap serius ucapannya. Terutama pada bagian, "Dan saya memang enggak ada hubungan apa-apa dengan Harada. Oh, ada. Harada supervisor saya."
"Terima kasih, Pak, sudah meluruskan. Seenggaknya, saya kembali nyaman bekerja. Enggak ada lagi yang menatap saya dengan kecurigaan berlebih."
Ucapan Harada bikin gue akhirnya menyadari, kalau dia terganggu. Tapi efeknya, bikin gue setengah gila gini. Apa sudah penuh, ya, kadar gilanya?
Hampir dua puluh menit gue enggak lepas-lepas mengamati gerbang hitam yang kini tertutup sempurna itu. Sekali lagi, gue menghela napas panjang. Menyalakan mesin mobil dan putar arah. Pulang.
Gue lupa kalau ada Nyokap dan Bokap di apartement. Nyokap agak bawel karena kepulangan gue yang terlambat ini. "Meeting, Mom," jawab gue asal.
Pergi mandi dan tidur cepat adalah pilhan yang bagus gue rasa tapi Nyokap sudah memperingati kalau harus makan dulu. Gue enggak boleh egois. Masalah pribai begini jangan sampai Nyokap tau. Yang ada bisa makin runyam dan gue didesak dengan hal-hal yang enggak masuk akal nantinya.
Obrolan Bokap seputar kantornya bikin gue teralih. Kami jadi banyak diskusi mengenai kemajuan perusahaan Bokap yang berujung, "Kapan kamu mau gantikan Daddy, Yan?"
Gue tanggapi dengan kekehan saja.
"Yan, kemarin Mommy bertemu Andhrea."
Ya Allah, enggak ada bahasan lain, ya? Padahal gue sama Bokap lagi seru banget, lho. Paling enggak, ini bikin suasana hati gue lebih baik ketimbang tadi.
"Lihat, deh." Nyokap menyodorkan ponselnya. "Sayang aja enggak bisa foto selfie. Dia kayaknya kecapean gitu."
Gue enggak pengin melirik tapi ponsel itu terus saja Nyokap sodorkan yang bikin gue akhirnya menyerah. Melihat sebentas saja biar beliau senang juga dapat pahala. Di layar, foto perempuan agak kurus berambut pendek dibalut kebaya pink lembut, memegang salah satu sikunya, sedikit memiringkan wajahnya yang agak menunduk seperti tengah memperhatikan sesuatu.
Gue lihat, arah matanya tertuju pada sepatunya.
Postur tubuhnya bikin gue teringat seseorang ... siapa, ya?
Harada.
Gue menggeleng buru-buru. Enggak mungkin gadis ini Harada.
"Jangan dipandangi terlalu lama. Nanti kamu naksir," kata Nyokap yang segera saja merebut ponselnya dari tangan gue. Hal ini jelas bikin gue berdecak.
"Enggak usah seperti itu, Yan. Kalau bertemu aslinya Mommy yakin kamu bakalan naksir."
"Mommy ini macam cenayang."
Eh ... gantian Nyokap berdecak kesal ke gue. "Kamu pikir Mommy kamu ini dukun?" Juga satu jeweran kecil di telinga sebagai hadiah darinya.
"Enggak ada pembicaraan lain selain Andhrea-Andhrea-Andhrea lagi? Rian dengarnya pusing, Mom," keluh gue sembari mengusap telinga bekas jewerannya tadi. "Perempuan itu bikin pusing."
Termasuk Harada!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro