Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[34] Pesta Lanie


Hari ini selain menyenangkan, juga melelahkan. Pesta yang Lanie adakan selesai di jam Sembilan malam tapi tetap saja, aku bisa merebahkan diri di salah satu kamar hotel yang diperuntukkan tamu-tamu penting Lanie, di jam sepuluh malam lebih. Belum melepas kebaya dan melunturkan make up yang kukenakan. Ah ... rasanya aku ingin segera tidur saja.

Baru saja merebahkan diri, ponselku sudah kembali berdering. Segera kusambar karena memang terletak tak jauh dari posisiku ini. Nama Rian muncul di layar. Orang ini tak bisa kah mencerna sebuah bahasa?

Sejak aku dijadikan topik utama obrolan penuh nada sindir di toilet, aku semakin membatasi diri. Tatapan mereka yang ada di divisi klaim pun makin berubah seiring waktu berjalan. Aku tak masalah asal pekerjaan mereka benar dan tidak sampai membuatku harus terus menerus ke ruang Rian.

Juga benar-benar membatasi Rian yang seenaknya denganku. Tidak. Aku sungguh tak ingin menjadi masalah di sini. Enam bulan kontrakku harus lulus dengan baik bukan karena aku bisa mendapatkan pekerjaan lain dengan cepat. Kursiku di perusahaan Papa masih bisa kutempati kapan saja.

Akan tetapi, bukan itu tujuanku. Aku butuh penyegaran tapi kalau aku didesak untuk terseret arus di mana aku ini adalah sosok biasa yang terjebak antara cinta bos dan asistennya, aku tak mau. Enak saja. Itu urusan mereka. Urusanku dengan lembar-lembar laporan dan follow up klaim kendaraan.

Aku tak peduli berapa kali pria itu mengirimkan pesan, telepon, bahkan SMS terkecuali berkaitan dengan pekerjaan. Pun di kantor. Semua interaksi seminimal mungkin aku lakukan dengan Rian. Juga meminta khusus pada Pak Anwar untuk menjemputku di lobby saja. Atau kalau di basement, beliau menungguku persis di depan lift. Terserah orang lain mau bilang apa. Menghindari kegilaan Rian adalah keharusan tersendiri di dalam hatiku kini.

Sekali ia telepon, aku abaikan.

Dua kali telepon, masih juga kuabaikan.

Kupikir, ia menyerah tapi ternyata tidak. Penuh enggan aku mengangkatnya. Malah kalau ia bisa mendengar suaraku yang sudah sangat lelah dan butuhu tidur ini, akan lebih bagus. Bukan kah hari ini juga bertepatan dengan acara gathering? Kenapa juga ia meneleponku?

seperti biasa, seolah aku ini tengah berbuat salah padanya. Padahal kalau dirunut, Rian ini penyebab masalah untukku. Hingga ...

"Hati saya," katanya tanpa keraguan sama sekali. Ucapan Rian itu segera saja membuatku bangkit dari rebah, duduk di tengah ranjang besar, dan terperangah.

"Ya?"

"Sudah kamu tidur aja. Kamu mengeluh lelah, kan? Ya sudah, sana tidur. Besok saya mau bicara. Jelas, kan, dengar ucapan saya barusan?"

Lantas Rian menutup telepon itu seenaknya saja. Aku masih terheran-heran dengan apa yang baru saja terjadi. Ini ... Rian bicara melantur atau apa, sih? Hati siapa yang dia maksud? Miliknya? Kenapa memangnya?

Astagfirullah! Kantukku jadi hilang separuh. Semacam menimbulkan efek tersendiri untukku. Aku bukan sedang percaya diri apa yang Rian tujukan itu untukku. Tapi melihat dan merangkum semua gelagatnya, aku yakin, memang mengarah padaku. Belum habis segala tanya serta keheranan mala mini, ponselku kembali bordering.

Kali ini pesan masuk dari seseorang yang kembali kutemui di pesta tadi. Tante Aning.

Aning. S : Jangan diambil hati ucapan Tante tadi, ya. Tante masih enggak enak hati dengan Andhrea.

Membaca pesan itu membuat senyumku terbit sedikit. Segera kuketikkan balasan agar wanita paruh baya yang baik hati juga periang itu, tak sampai berlarut memikirkan ucapanku tadi saat makan bersama.

Harada. S : Enggak apa, Tante. Dhrea enggak memikirkan itu kok.

Kulirik angka di sudut layar ponsel, sudah menunjuk pukul sebelas malam. Pergi tidur adalah piliihan yang paling benar sekarang. Terserah lah dengan Rian. Biarpun kaget dan sedikit memengaruhiku juga tapi aku butuh istirahat.

Maka yang kulakukan adalah segera ke toilet. Berganti pakaian dengan yang lebih nyaman dan memastikan kalau make up-ku sudah benar-benar bersih dari wajah. Saat kembali menaiki ranjang, kulihat satu pesan dari sahabat mendiang Mama muncul di layar.

Aning. S : Secangkir teh besok sore? Temani Tante di FX Senayan?

Berpikir sejenak sebelum benar-benar membalas pesan beliau, sepertinya tak ada salahnya untuk menerima ajakannya, kan?

****

Untuk weekend yang seharusnya menyenangkan ini, aku terpaksa bangun pagi. Bukan perkara solat subuh tapi karena harus sarapan bersama kedua mempelai. Ya Allah. Aku heran, kenapa juga harus ada acara seperti ini?

Walau, yah ... kuakui memang seru. Kami sudah seperti keluarga besar di mana ada Lanie juga Bianca yang heboh membahas serta menyerempet mengenai malam pertama. Kadang aku bingung dengan mereka berdua. Seringnya bertengkar tapi tak lama akur kembali. padahal acara ini lanie yang punya, tapi Bianca adalah orang nomor satu yang paling sibuk.

Aku sebagai penikmat saja. Yang terpenting, semua acara yang Lanie adakan, aku ikut dan turut serta. Pernikahannya dengan Leo adalah impiannya. Semenjak Leo diperkenalkan pada kami berdua, aku yakin, kalau pria itu benar-benar serius dengan Lanie.

Berbeda dengan ... Bakta.

Ya Allah, kenapa juga harus mengingat sosok itu di sini? Tak ada gunanya sama sekali.

"Eh, Dhrea," panggil Bianca yang masih memotong kecil-kecil sayuran untuk Sasha. "Kemarin lo ngobrol seru sama siapa, sih?"

Alisku berkerut. "Yang mana?"

Bianca berdecak pelan ke arahku tapi masih sibuk dengan anaknya. Bisa jelas kudengar ia meminta Sasha untuk hati-hati memakan hidangannya. Setelah selesai memberi petuah, segera saja mata itu mengarah padaku. "Itu, lho, ibu-ibu pakai kebaya hijau. Lo kelihatannya akrab banget."

Ah ... aku ingat siapa sosoknya. Tante Aning. Bagaimana tiba-tiba ia menarikku pelan ke arah meja lainnya dan bicara banyak sekali. Juga tak pernah aku sangka, kalau pria paruh baya yang pernah kutemui di Bandung adalah suaminya.

Alhasil, kami bicara cukup seru—di mana aku lebih banyak mendengarkan dan memberi senyum kecil sebagai tanggapan.

"Ternyata Mommy sudah akrab dengan putrinya Joe Salim?"

Tante Aning terkekeh. "Iya, lho, Mommy sudah cerita, kan? Kalau yang ini Mommy cocok banget."

Mereka tertawa, aku tidak. Bingung maksud pembicaraan mereka ke arah mana. Hingga kemunculan Papa menjawab tanya yang ada di benakku ini. Mendengarkan mereka bicara ini dan itu disertai basa basi di awal dengan menanyakan kabar. Juga seperti biasa, mengarah pada masing-masing pencapaian dua orang pria paruh baya ini.

Sementara aku memilih menyimak.

"Jadi gimana, Joe?" tanya Om Herry dengan tatapan penuh minat. "Nyonya besar sudah setuju banget, lho, ini."

Papa tanggapi ucapan itu dengan tertawa. "Saya enggak bisa terlalu memaksa Andhrea sekarang."

Keningku berkerut. "Apa ada, ya, Pa?" tanyaku hati-hati. Bukannya Papa yang menjawab, justeru Tante Aning yang lebih dulu menyentuh punggung lenganku lembut. Membuat atensiku segera mengarah padanya.

"Tante berniat menjodohkan kamu dengan putra tunggal kami."

Senyumku lenyap. Mataku menatap mereka semua dengan pandangan ngeri terutama pada Papa.

"Maksudnya, kenalan. Iya, Andhrea. Kenalan dulu." Buru-buru Tante Aning seperti mengoreksi ucapannya. Wajahnya sedikit panik saat bersemuka denganku sementara saat aku melirik ke arah Papa, beliau terlihat menggeleng pelan. Seperti tengah memberi klaim kalau ucapan Tante Aning ini terlalu kelewat batas.

Kurasa, aku sedikit memahami situasi yang tengah kualami ini. "Aku enggak tau apa yang tengah kalian rancang mengenai bisnis tapi aku mohon, jangan libatkan kami, anak-anak kalian dalam bisnis."

"Enggak, Nak. Enggak seperti itu maksud Papa."

Aku menunggu beliau bicara dan memang aku butuh mengetahui, ada apa ini sebenarnya.

"Ini ... permintaan Mama sejak lama. Ingin sekali kamu kenal dengan putra Tante Aning dan Om Herry. Tapi kita semua tau kalau ...,"

Papa tak melanjutkan bicaranya yang mana aku tau arahnya ke mana. Mama memang tak pernah menyodorkan nama-nama pria untuk berkenalan denganku. Juga Papa di mana biasanya sering kali dibalut dengan bisnis. Semuanya berjalan biasa saja yang mana saat itu aku memang tengah berhubungan dengan Bakta.

"Om Herry paham situasi apa yang kamu alami, Dhrea. Om enggak memaksa perjodohan ini. Om menyukai pribadi kamu, apalagi istri Om ternyata sudah lebih dulu akrab dan terlihat cocok sekali. Tapi ... enggak ada salahnya untuk berkenalan, kan?"

Ucapan Om Herry diangguki dengan penuh antusias oleh Tante Aning. Kulihat Papa mengangguk pelan dan berkata, "Semua terserah Andhrea. Papa enggak memaksa. Kalau mau berkenalan, akan sangat baik. Kalau pun enggak, Papa, Om Herry, Tante Aning sama sekali enggak memiliki hak untuk memaksa kamu, Nak."

Aku ingin sekali protes tapi karena apa? Kalau yang dibawa adalah keinginan Mama sejak lama? Tapi kenapa baru sekarang aku diberitahu? Kenapa? Satu demi satu aku menatap mereka yang sepertinya menungguku bicara. Menghela napas pelan, penuh pertimbangan, dan kurasa ini yang bisa kuberikan sebagai jawaban.

"Kalau Andhrea sudah siap berkenalan dengan pria lain, mungkin ide berkenalan dengan putra Tante Aning enggak jadi soal. Karena aku rasa, baik Papa, Om Hery, juga Tante Aning tau apa yang masih aku rasakan."

"Dhrea? Lo bengong?"

Ucapan Bianca sontak saja membuat sendok yang tengah kupegang ini, terjatuh tepat di piring makanku. Menimbulkan bunyi yang segera saja mendapat perhatian dari semuanya termasuk Papa.

"Ada apa, Nak?"

Buru-buru aku menggeleng dan mencoba tersenyum. "Enggak, Pa."

"Kamu sedikit pucat, Dhrea. Kalau sakit, jangan terlalu memaksakan diri untuk kerja," peringat Papa kemudian. Nada suaranya kembali seperti seorang Joe Salim yang sebenarnya; tegas, dingin, kaku, dan tak mau ada bantahan.

"Iya, Pa."

Dari ekor mataku, aku tau kalau Bianca akan meminta penjelasan lebih dari lamunku tadi. Yang mana seharusnya aku ceritakan mengenai obrolan aneh tapi cukup seru kalau tak membawa acara perkenalan dengan putra Tante Aning itu. Aku tak berminat untuk mengikuti arahan mereka. Sama sekali.

Niatku, bertemu Tante Aning untuk menegaskan meniadakan niatan itu. Juga Papa.

Aku memang masih terluka, masih teringat rasa bersalahku pada Mama, dan belum siap untuk membuka diri. Rasanya ... mati rasa. Di mana bagiku sekarang, semua pria itu sama. Tak ada bedanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro