Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[31] Gue enggak bisa menahan ini

Dipikirnya gue enggak bisa nahan dia untuk berjalan di sampingnya? Salah banget kalau dia berpikiran seperti itu. Buktinya, sekarang gue tengah mendorong trolley berisi bahan-bahan untuk membuat kue. Enggak peduli siapa yang membuatnya yang jelas, Harada bawa camilan itu dari rumahnya.

Dia sendiri yang bilang, kalau ibunya yang buat. Gue jadi ketagihan. Nanti kalau Nyokap ada di Jakarta lagi, gue minta beliau membuatkan untuk gue. Dua malam lalu, beliau pulang. Dijemput dengan gaya sok romantic dari Bokap, as usuall. Kadang gue heran sama mereka berdua, atau memang seperti itu kah cara menjaga cinta yang sudah lama hadir agar terus menerus menyala?

Entah lah. Tapi gue senang aja melihat mereka berdua jarang banget bertengkar, sekalinya bertengkar ya itu tadi. perkara peliharaan aneh Bokap, sikap Bokap yang tiba-tiba cuek biasanya itu karena tengah sibuk dengan pekerjaannya. Atau tiba-tiba Nyokap yang memang berlaku aneh. Itu saja.

Sejauh yang gue tau, enggak ada orang ketiga dalam pernikahan mereka. Gue juga berdoa semoga enggak ada. Oh, jangan sampai! Pernikahan itu sakral. Ketika lo memutuskan untuk menikahi seorang anak perempuan dari keluarga yang sudah lo ketahui sebelumnya, lo benar-benar memasang paku besar bernama setia pada pondasi rumah tangga kalian.

Itu prinsip gue.

Jadi ... sebelum gue memutuskan untuk menikah, gue perlu tahap seleksi, kan?

"Ra, ini yakin tepungnya cuma segini?" Buru-buru gue singkirkan pemikiran mengenai pernikahan begitu gadis yang tadinya di samping gue ini, bergerak menjauh. Jangan tanya wajahnya. Asem banget. Macam buah manga yang untuk rujak itu. Bikin ngilu gigi tapi gue suka banget dengan ekspresinya ini.

Enak dijahili. Serius. Duh, kepala gue memang terbentur sesuatu sepertinya. Enggak biasanya gue terlalu konyol di depan perempuan. Berbeda dengan Harada sekarang. Pokoknya gue selalu berusaha memancing perhatiannya. Terserah nantinya gue diketusi, disinisi, atau malah wajahnya kaku dan datar gitu. Ditambah enggak mau menjawab kecuali jawabannya singkat banget gitu.

"Ra?"

Dia menoleh sebentar, lalu jalan lagi. Matanya sesekali melirik ke arah rak yang ada di depannya. Untung gue sering nemenin Nyokap belanja kalau ada di Jakarta tapi saat weekend aja. Kalau hari biasa, gue enggak mau. Gue kerja.

"Iya. Cukup segitu," katanya. Gue berdiri di sampingnya yang tengah memilih selai entah untuk apa. Gue penasaran tapi sejak tadi, banyak pertanyaan gue yang dia abaikan. Jadi gue nikmati saja lah wajahnya dia dari samping.

Herannya, ia enggak terpengaruh sama sekali. Cuek aja gitu. Astaga! Padahal kalau gue lagi jalan entah sama siapa saja yang pernah dikenali Nyokap (walau cuma sekali, sih, tapi gue bisa tau kalau gadis itu tengah salah tingkah gue memberi tatapan lekat-lekat gitu). Sementara Harada? Enggak sama sekali.

Dia taruh dua toples selai di trolley, menyeret ujungnya pelan untuk bergeser dari posisinya tadi. Berhenti di aneka bahan pembuat kue lainnya. Gue tau dari Nyokap tapi enggak hapal nama-namanya. Pokoknya sering dimasukkan Nyokap dalam trolley belanjanya.

"Haduh, namanya apa tadi, ya?" gumamnya pelan. Gue masih bisa dengar karena sengaja gue berdiri di dekatnya.

"Apa yang kamu cari, sih?"

"Bapak enggak akan tau," katanya ketus. Gue sambut kata-kata itu dengan kekehan yang mana segera saja itu mata yang dilapisi kacamata burung hantunya, melirik sinis. Belum lagi bibirnya yang sudah enggak berpemulas lipstick lagi mencebik. Lucu banget. Mirip bebek.

Gue lihat dia keluarkan ponsel entah menghubungi siapa. Obrolannya gue simak baik-baik dan ternyata bicara dengan ibunya. bertanya beberapa bahan yang ia lupa juga sesekali menyindir gue.

"Memang merepotkan banget, Bu. Rasanya enggak mau minta Ibu buatkan tapi gimana? Aku ditongkrongin gini. Macam tahanan aja."

Jelas lah gue ngakak. Benar-benar Harada ini di luar ekspektasi gue sebagai perempuan yang penampilannya jauh dari kata oke. Maksud gue gini, jangan sela atau judge gue dulu. Tunggu penjelasan gue.

Biasanya gue melihat tingkat kepercayaan diri perempuan itu, secara visual lewat penampilannya. Semakin dia berani tampil, bukan seksi, ya. Tapi menampilkan kelebihannya, dia punya rasa percaya diri yang tinggi. Itu terbukti, kan? Gue enggak perlu ambil contoh artis, di kantor atau di divisi gue aja, lah. Macam Erin, Risa, juga Dania yang selalu on point berpenampilan, tingkat percaya diri mereka tinggi. Biarpun terkadang, mereka enggak seberani Harada mematahkan beberapa asumsi klien yang ditemuinya.

Tapi Harada?

Apa ... gue perlu berpikir ulang mengenai pola pikir gue terhadap penampilan seorang wanita?

"Di dapur yang kurang apa aja, Bu? Aku belanja."

Ucapannya terdengar biasa saja, enggak ada yang spesial tapi malah bikin gue ingat saat dia ngaji. Astagfirullah. Gue memang sudah gila sepertinya.

"Yakin? Ya sudah kalau mau belanja besok. Pak Anwar abis antar aku ke kantor, langsung temani Ibu ke super market, ya."

Wah ... kesempatan, kan? Gue jemput saja dia besok sekalian antar. Aktifitas yang bikin gue ketagihan rupanya.

"Berarti bahannya cukup ini saja?"

Gue lihat sembari bicara di telepon, ia menyebutkan satu per satu bahan yang diperlukan. Setelah semuanya beres, ia segera mematikan sambungan teleponnya itu. Memasukkan ponselnya k etas, dan ... menatap gue tajam sekali.

Salah apa gue?

"Hanya sekali ini saja saya mau direpotkan. Selebihnya jangan harap, Pak."

MasyaAllah. Perut gue mendadak sakit karena terlalu banyak tertawa. Mengikuti langkahnya yang sudah lebih dulu berbalik arah. Sama sekali tak ada yang ia beli sebagai tambahan belanja padahal sudah berkali-kali juga gue tawarkan untuk menaruh apa pun yang ia mau.

"Lho, Rian?"

Gerak gue mendorong trolley sedikit terhenti. Mata guer tertumbuk pada sosok perempuan mengenakan dress cream dengan rambut yang tergerai bergelombang. Seperti Erin. "Oh, Vio. Lo ... belanja?"

Dia tersenyum kecil, bergerak pelan mendekat ke arah gue. Sementara di depan gue, Harada hanya melirik sekilas dan kembali berjalan ke arah kasir.

"Iya. Mau stok bahan makanan di apartement."

Gadis itu menginap di apartement gue cuma semalam. Anggap saja jamuan khusus karena sudah lama dirinya enggak bertemu Nyokap. Vio dan Nyokap dulunya akrab tapi anehnya, Nyokap enggak pernah mendesak gue untuk terus menerus bersama Vio. Biasa saja. Beliau tau kami enggak lagi bersama, ya sudah ... enggak banyak bertanya.

Aneh, kan?

"Oh. Gue duluan, ya." Segera gue susul Harada yang ternyata berdiri enggak jauh dari tiang besar yang ada di dekat kasir. Matanya sedikit menunduk memperhatikan ponsel.

"Tunggu, Yan."

Ada apalagi, ya?

"Oh, kamu sama ... siapa ini?"

Posisi gue memang sudah dekat dengan Harada yang kini mendongak menatap kami. Dia tersenyum kecil, memasukkan ponselnya, lalu sebelum dia bicara gue sudah lebih dulu bersuara.

"Perkenalkan dia ..."

"Saya Ara, Mbak. Bawahan Pak Rian. Silakan jika masih mau bicara, saya menunggu di luar saja. Permisi."

Gue melongo, bolak balik menatap Vio yang memberi tatapan heran ke gue sementara Harada sudah memberi punggungnya. Berjalan santai sekali. Seolah apa yang baru saja ia lihat, enggak menganggu. Bertanya saja enggak. Astaga!

"Vio, sorry. Gue enggak bisa lama-lama."

"Yan, dia siapa?"

Langkah gue terhenti, menoleh sekilas sekadar untuk memastikan kalau apa yang baru saja gue dengar ini benar-benar dari Vio. "Seandainya yang dia bilang itu benar atau dia lagi berbohong, enggak ada urusannya sama lo, kan?"

***

"Kamu diam saja?" tanya gue memecah hening di antara kami ini. Enggak sampai sepuluuh menit, laju mobil gue bakalan sampai di depan gerbang rumah Harada. Tapi sepanjang pulang ini, dia sama sekali enggak bersuara. Bahkan saat gue menghampirinya, dia malah tanya, apa gue sudah selesai bicara dengan Vio.

"Lelah juga belanja pulang kerja," katanya pelan. Ya Allah, gue sampai lupa kalau ternyata gue sudah berlaku sangat egois ke Harada.

"Maaf, ya." Gue benar-benar menyesal tapi gimana lagi? Camilan itu enak dan rasanya gue masih pengin lama-lama berada di dekat gadis ini.

"Terlambat juga buat minta maaf."

"Sejak tadi saya dengarkan, saya ini seperti tengah menghadapi pacar yang lagi marah, ya?"

Dia menoleh ke arah gue. "Saya enggak salah dengar, kan, Pak?" Suaranya itu dipenuhi sekali dengan nada sinis dan ketus.

"Enggak. Kenapa mesti salah dengar?"

Yang Harada lakukan justeru kembali bersikap antipati. Tangannya bersidekap di dada, matanya belum mau turun kadar tajamnya. "Pacar Bapak itu rasa-rasanya tipe wanita tadi. Bukan saya."

"Ehm ... saya koreksi boleh?"

Dia buang muka tapi gue enggak peduli. Bibir gue sudah enggak tahan sebenarnya pengin tertawa. "Dia mantan pacar saya."

"Nah!"

"Nah?"

"Iya. Selera Bapak seharusnya yang seperti itu. Bukan saya."

"Makanya saya koreksi." Pengin banget gue benarkan asumsinya itu tapi semua perempuan yang pernah gue temui hingga saat ini, hanya memuaskan dahaga penglihatan gue saja. Enggak ada yang terlalu spesial kecuali beberapa dari mereka, memiliki pekerjaan yang mumpuni. Tipe-tipe wanita karir gitu lah. Dan gue enggak memandang sebelah mata mengenai mereka. Enggak sama sekali.

Hanya saja, memang hati gue belum klik.

Dibanding Harada?

Gue enggak tau kenapa, dia seperti magnet di hidup gue sekarang. Gila aja, gue dibuat seperti ini sama sosoknya yang biasa-biasa saja tapi ternyata ... memiliki banyak hal yang membuat gue merasa ... she is a special one.

"Sudah lah. Apa yang Bapak lakukan itu sia-sia," katanya dengan nada yang terdengar putus asa. Gue jadi geram sendiri. Apa karena dirinya memang simpanan itu? Astaga! Gue lebih bisa menawarkan masa depan ketimbang orang yang pernah gue temui menjemput Harada itu, kok!

"Beri saya satu alasan logis. Agar saya bisa berpikir, apa sebaiknya benar saya ini mundur atau justeru semakin menekan gas?" Sudut mata gue meliriknya sekilas. Harada enggak bergerak dari posisinya. Agak lama juga gue tunggu sampai mobil gue ini berhenti. "Ra?" Gue enggak sabar jadinya menungg apa yang mau dia ucapkan.

"Saya ini masih terluka. Jangan tambah luka saya ini dengan semua perlakuan kamu. Bisa, kan, berhenti?"

Sumpah, Harada kalau di luar kantor memang memandang gue dengan cara yang berbeda. Sinis juga enggak menunjukkan keraguan sama sekali. Tapi kali ini, bola matanya berkaca-kaca. Walau di balik kacamata anehnya itu, gue masih bisa melihatnya jelas banget. Belum lagi, sinar yang ada di dalamnya itu gue bisa merasakan banyak sekali rasa sedih, luka, kecewa, juga marah.

Tapi kenapa?

"Saya enggak paham maksud kamu, Ra. Bisa jelaskan?"

Jangankan kembali bicara, dirinya menoleh ke arah gue saja enggak mau. Buru-buru dia membuka pintu dan membantingnya cukup keras. Gue enggak peduli kalau nantinya pintu mobil gue rusak, yang gue pedulikan hanya Harada. Cepat gue susul langkahnya tapi terlambat. Dia sudah benar-benar masuk ke dalam rumahnya.

Gue hanya disambut dengan kernyitan bingung dari supir yang biasa mengantarnya itu. Belum juga melangkah makin dekat, gue sudah ditahan olehnya.

"Maaf, Nona kami enggak mau diganggu kalau sudah seperti itu."

Ck! Sial!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro