Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[29] Yes, I'm Crazy


"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Mommy penasaran. Matanya menelisik dalam-dalam sementara gue buru-buru lenyapkan senyum yang sejak tadi ternyata masih nyangkut di bibir. Lagian kenapa juga gue masih pasang senyum menjijikkan sampai di depan apartement, sih?

Tapi mau gimana lagi? Perjalanan pulang tadi seru juga, bikin gue enggak tahan pengin senyum terus. Biarpun gue selalu dapat sikap antipati dari Harada, tapi semua pertanyaan gue dia jawab.

"Kamu enggak mau makan malam sama saya?"

Dia menoleh ke arah gue, biarpun gue fokus pada setir tapi lewat ekor mata ini gue tau, Harada menatap gue dengan cara yang paling sinis. Belum lagi dia berdecih enggak suka gitu. Gue masih abaikan. Gue menunggu saja apa jawabannya.

"Saya bukan gadis remaja yang senang diajak keluar oleh pria-pria populer di sekitarnya."

Bibir gue mendadak mengulum senyum. Pria populer katanya, berarti secara enggak langsung dia memuji gue dong?

"Apa tujuan Bapak?"

"Saya enggak pu—"

"Saya tanya sekali lagi, apa tujuan Bapak?" selanya cepat.

Lo pernah ada di situasi di mana hanya dengar suaranya saja, lo merasa lawan bicara lo ini punya intimidasi tersendiri? Seiring naiknya jabatan gue, gue tau kapan menggunakan kelihaian gue dalam menekan kata juga suara. Yang membuat staff-staff gue enggak bisa terlalu sembarangan ke gue. Gue orangnya santai, tapi kalau sudah dalam tahap serius, ya ... gue serius.

Di The Frizst, hanya beberapa yang gue temui memiliki aura intimidasi seperti ini. Biasanya sudah dalam level-level tertentu dan kali ini gue merasa, Harada punya potensi untuk menekan seseorang lewat caranya bicara. Mungkin kalau kami duduk berhadapan, gue bisa langsung menilai bagaimana raut wajahnya itu.

"Saya mau mendekati kamu. Jelas?"

Dia berdecak. Gue bisa dengar banget belum lagi yang tadinya ia menunggu gue menjawab dengan menoleh, kali ini dia buang muka. Tangannya dilipat di dada. Dari spion tengah, gue bisa melihatnya menggeram kesal. Wajah yang biasa datar itu memiliki ekspresi ternyata.

"Berhenti kalau begitu, Pak," katanya.

"Kenapa?" Gue enggak sampai menginjak rem gitu, kok. Biasa saja. Walau serius, pertanyaan yang gue ajukan tadi itu penuh taruhan. Bisa-bisanya bibir gue berucap seperti itu? Kenal dia belum lama, enggak tau pribadinya seperti apa, belum lagi kecurigaan gue tinggi banget sama dia, tapi ... hati gue enggak bisa dibohongi.

Ada beberapa malam gue cuma mikirin nama Harada. Terutama ... saat gue bersemuka di musholla kantor. Itu mengganggu banget dan bikin rasa penasaran gue tinggi banget. Semacam ada perang di kepala gue. Kubu kiri bilang, Harada simpanan. Kubu kanan bilang, Harada perempuan baik-baik. Dan itu terus saja menggerus akal sehat gue jadinya. Kalau gue telisik sampai detik ini, tingkah gue sumpah absurd banget. Hanya untuk mendapatkan perhatian Harada, gue sampai melunturkan semua antipati gue sama perempuan. Menurunkan ego gue untuk mau repot asal berhubungan dengan Harada.

"Saya enggak butuh memberi alasan ke Bapak. Yang pasti, apa yang Bapak lakukan itu sia-sia."

Gue sampai mengedip beberapa kali, lho, setelah dia bicara seperti itu. Gue lirik, dia enggak menoleh barang sedikit ke gue. Matanya lurus saja ke depan. Seolah apa yang baru gue katakan ini, enggak memiliki efek kejut apa-apa. Padahal gue yakin, sekelas Erin, atau perempuan yang pernah Nyokap sodorkan ke gue, kalau gue bicara seperti itu enggak pakai berpikir dua kali, mereka langsung berhambur ke pelukan gue.

Gue yakin itu.

Harada?

"Kenapa kamu anggap sia-sia?"

Dia diam. Gue yang enggak sabar sama kebungkamannya itu. "Kamu sudah punya pasangan?"

"Belum."

Astaga. Pengin banget gue dengar dia bicara itu panjang lebar, bukan mendapati jawabannya yang singkat-singkat terus begini. Biasanya juga perempuan itu cerewet. Ada memang yang enggak hobi bicara tapi paling enggak, enggak sesingkat ini.

"Kamu belum punya pasangan, begitu juga saya. Terus kenapa kamu menolak untuk saya dekati?"

Eh ... dia terkekeh tapi, ya Robbi salam. Itu bibir sinis banget menyungging senyum, belum lagi matanya yang tiba-tiba melirik ke arah gue.

"Kenapa harus saya?"

Tadinya gue mau banyak bersuara tapi semua yang mau gue utarakan, lenyap begitu saja. Apalagi Harada menambahkan kata-katanya.

"Lebih baik Bapak mendekati perempuan lain."

"Kamu merasa enggak pantas saya dekati?" Rasanya pengin banget gue tambahkan, "Dan lebih suka kalau didekati om-om? Begitu?" Tapi pertanyaan itu gue lipat rapi di benak. Nanti. Tunggu saatnya untuk gue bertanya hal ini.

"Kenapa saya harus merasa enggak pantas untuk Bapak dekati?"

Gue mengedikkan bahu. "Kalau begitu, enggak masalah berarti saya dekati? Pertanyaan kamu menjurus pada satu pernyataaan, kalau kamu enggak masalah saya dekati."

"Pertanyaan saya itu jelas, kenapa harus saya? Bukan pantas atau enggak pantas."

Saat gue beberapa kali makan malam dengan beberapa Barbie pilihan Nyokap atau sekadar menghabiskan waktu di kafe, jarang timbul perdebatan macam gue dan Harada gini. Kebanyakan dari mereka, seperti malu-malu atau terkesan membanggakan diri serta kegiatannya. Atau sebatas obrolan basa basi biasa, yang membuat gue sebenarnya jenuh dan memutuskan untuk menghindari pertemuan selanjutnya. Dan gue yang belum berminat ini, makin enggak berminat jadinya. Tapi kenapa dengan Harada beda?

"Karena saya maunya kamu."

Mungkin terdengar berlebihan, tapi gue nyari jawaban apa yang pas, di otak gue melintas begitu saja kata-kata barusan. Mau gue tarik juga percuma, kan? Harada sudah terlanjur mendengar. Juga ... sedikit terperangah gue rasa. Buktinya, ia menoleh dan memberi gue tatapan kebingungan.

Lucu banget.

"Saya enggak salah dengar, Pak?"

"Kamu enggak tuli, kan? Kalau enggak berarti kamu enggak salah dengar, Ra."

"It's imposible," sahutnya pelan.

"Kenapa enggak mungkin? Kamu meragukan saya?"

"Lho, jelas Pak. Saya enggak percaya dengan semua percakapan omong kosong ini."

Gue tertawa. Laju mobil gue sebentar lagi tiba di dekat area perumahannya. Harada sama sekali enggak mau gue ajak makan jadi lah mobil ini arah pulang ke rumahnya saja.

"Apa ... Bapak penasaran sama saya?"

Agak telak juga, sih, dia bicaranya tapi gue tutupi segera. Baru saja gue mau sanggah, dia sudah kembali bersuara.

"Setelah Bapak selesai dengan rasa penasarannya, seenaknya memainkan perasaan orang lain? Begitu?"

"Kok, saya mendengar sebuah tuduhan, ya?"

Dia berdecak. "Berhenti, Pak. Itu pilihan yang paling baik, Pak."

Mata gue menangkap pemandangan yang bikin hati gue agak ngilu juga. Ucapan Harada tadi, bisa gue tanggapi sebentar lagi. Ada yang lebih penting. Mobil segera gue tepikan biar enggak menghalangi jalan.

"Tunggu dulu, ya. Saya sebentar aja, kok," kata gue sembari perlahan membuka pintu. Jangan sampai ada yang tiba-tiba melaju dari sisi kanan mobil gue ini. Gue lirik, Harada tampak memberi tatapan tanya ke gue.

Seorang wanita tua mendorong gerobaknya pelan. Juga dua anak di dalamnya yang sepertinya kedinginan. Buru-buru gue berikan beberapa lembar yang ada di dompet. Enggak seberapa tapi paling enggak, bisa untuk mereka makan.

"Semoga bermanfaat, ya, Bu," kata gue sembari menepuk bahunya pelan. Lalu pamit. Biasanya, gue sempatkan diri untuk mengobrol sejenak tapi karena ada Harada di mobil, gue enggak mau bikin dia menunggu lama.

"Sorry, enggak nunggu lama, kan?" tanya gue sembari menutup pintu kemudi. Mengenakan seat belt kembali dan mulai menyalakan mesin. Menjalankan pelan laju mobil menuju rumah Harada. "Ini kamu serius enggak mau saya ajak makan malam?"

Gue enggak tau ada angin apa, atau memang keberuntungan tengah berpihak ke gue, Harada menyerah. Dia mengangguk pelan juga berkata, "Mau makan di mana memangnya?"

"Kalau sudah di daerah sini saya enggak tau, Ra. Kamu ada ide?"

"Sate?"

Gue sebenarnya mau makan apa saja enggak masalah, enggak rewel juga mengenai pilihan menu. "Boleh. Di mana arahnya?"

Harada menunjukan arahnya yang sedikit berlawanan dari arah rumahnya. Nadanya juga enggak lagi terlalu ketus juga tatapannya yang sinis itu menghilang. Sepertinya tepat kalau gue bicara melanjutkan apa yang tadi sempat terjeda.

"Saya tipe orang yang jujur dan apa adanya. Saya memang penasaran sama kamu tapi kalau kamu tuduhkan setelah penasaran saya hilang, saya permainkan hati seseorang begitu saja? Enggak. Tuduhan itu melukai saya sebenarnya."

Dia tertawa, renyah banget gitu. "Bukan apa, saya ini enggak perlu Bapak buat rasa penasaran. Nanti malah Bapak terjebak. Yang Bapak pikir saya memiliki sesuatu yang lebih, ternyata enggak. Sia-sia, kan, waktu Bapak?"

"Intinya boleh atau enggak saya mendekat?"

Tawa itu perlahan menghilang, digantikan dengan senyum kecil yang tipis banget itu. Mengusap ujung hidungnya pelan, lalu matanya kembali mengarah ke gue. "Enggak," katanya tegas.

Jawaban itu bikin gue terkekeh jadinya. Bukan merasa sakit hati atau apa, serius, enggak ada perasaan seperti itu sekarang. Yang ada malah, "Oke kalau enggak boleh mendekat."

Tepat banget mobil berhenti di tempat yang memang dia tunjukkan. Gue bisa jelas melihat wajahnya lega gitu. Mungkin karena ucapa gue tadi atau sudah sampai di lokasi kedai sate? Enggak tau, sih. Tapi sebelum benar-benar dirinya turun dari mobil, gue berkata. "Saya boleh kamu larang mendekat, tapi bersiap saja, siapa tau justeru kamu yang mendekat ke arah saya.

"Benar, kah?"

Gue enggak jawab. Memilih memilih turun dari mobil dan gue perhatikan dia juga melakukan hal yang sama.

"Karena mulai besok, saya enggak akan menginjak rem untuk memberi kamu perhatian, pengertian mungkin, atau ... kasih sayang?"

Bola matanya membulat sempurna, hampir penuh rasanya sama seperti besarnya kacamata burung hantunya itu.

"Sudah enggak perlu shock gitu. Santai saja. Ayo, kita makan dulu. Nanti kamu pingsan."

"Yan? Kamu aneh banget. Kenapa, sih?"

Obrolan tadi, ingatan gue tentang perjalanan pulang barusan bersama Harada, berganti dengan sosok Nyokap yang menatap gue dengan pandangan aneh.

"Kamu enggak lagi kesambet jurig apartement, kan?"

"Mommy enggak bisa enggak sembarangan, ya, kalau ngomong?" Gue sebenarnya agak kaget juga, sih. Karena ingatan tadi itu manis banget ternyata. Belum lagi saat kami makan bersama, di mana sebentar-sebentar Harada protes karena kata-kata gue itu. Di mana gue enggak peduli bentuk protesnya. Yang penting, hal itu lah yang akan gue lakukan.

Toh, dia mengakui sendiri kalau single, kan?

Pengin tau juga, apa pesona om-om nya itu kalah jauh sama gue atau enggak.

Di balik kaku serta datarnya ekspresi wajah Harada di kantor, malam ini gue beruntung banget bisa menyaksikan sendiri banyak ekspresi yang ia punya. Ah ... gue benar-benar gila kayaknya.

"Sudah lah, kamu masuk kamar sana. Ganti baju. Mandi. Biar setannya luntur dari kamu. Senyum-senyum gitu enggak jelas banget. Mending kalau senyum jatuh cinta, kalau senyum-senyum Cuma karena klaimnya beres mah percuma, Yan, Yan."

Nyokap dan ucapannya yang kadang seratus persen benar ini. Sebagai hadiah, gue kecup saja. Membuatnya memekik kaget dan menjewer telinga gue. Katanya gue ini kotor dari mana-mana sementara pipinya habis perawatan mahal di salon.

Astaga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro