Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[26] Rian mau apa sih?


Aku menepuk pelan pipi, memastikan penampilanku siap untuk berangkat kerja. Hanya memulas bedak tipis juga perawatan wajah rutin saja yang tak terlalu menghabiskan banyak waktu. Yang paling penting, kerut-kerut di wajahku jangan dulu timbul. Kacamata bulat yang biasa kukenakan, sudah kubersihkan. Rambutku sudah rapi tersisir dan kulihat di cermin besar, kemejaku juga tak ada yang kusut.

Rapi dan sopan.

Sudah kulupakan kejadian semalam karena mungkin bosku itu tengah banyak pikiran. Mungkin. Tapi kalau aku mendesaknya atau meminta dirinya menjawab kenapa melakukan hal seperti semalam, itu artinya aku memilih mendekat padanya. Cara yang paling benar adalah menghindar.

Pulang on time seperti rekan lainnya adalah hal yang akan kulakukan mulai hari ini. Interaksi pun kubiarkan tertutup saja. Artinya aku tak mau dirinya banyak bertanya mengenai diriku seperti semalam.

"Non, sarapannya sudah siap," kata Bu Nina menyambutku ketika langkah ini tepat tiba di ruang makan. Tersenyum tulus pada wanita paruh baya ini, mengecup singkat pipinya yang membuat Bu Nina terlonjak kaget.

"Makasih, Bu," jawabku tulus. "Bekal aku sudah?"

"Sudah, Non." Dia segera menyiapkan sajiannya. "Duh, Non kalau seperti ini terus Bu Nina senang banget. Non Andhrea yang Bu Nina kenal kembali. Ya Allah, Ibu senang banget."

Mungkin bagiku itu berlebihan tapi kalau aku boleh menelisik ke beberapa bulan belakangan di mana sikapku jangan kan hangat, senyum pun tak ada, mungkin hal kecil seperti ini membuatnya terharu. Pun aku. Aku sendiri entah kenapa melakukannya. Sebagian dari diriku bilang, "Sudah saatnya aku keluar dari cangkang yang menjemukan ini."

Walau tak bisa menyeluruh karena sungguh, melihat hal-hal serta segala sesuatu yang berkaitan dengan Bakta sangat menyakitkan. Sudah aku buang semuanya. Pakaian, hadiah, sepatu, make up, tas, bahkan ... apa pun yang berkaitan dengan pria berengsek itu. Semuanya aku tumpahkan di tempat sampah.

Kalau dengan membuang barang tersebut bisa mengembalikan aku yang dulu, kenapa aku mesti ragu melakukannya? Dengan aku melakukannya pun Mama tak kembali. Itu penyesalanku yang paling besar.

"Yang penting Ibu dukung aku terus. Maaf kalau Dhrea masih sering ngerepotin Ibu."

Beliau menggeleng tegas. "Non enggak pernah merepotkan Ibu. Sama sekali. Non sudah seperti anak Ibu. Ibu sedih banget kalau Non sedih. Jauh lebih sedih apalagi lihat Non terpuruk. Ibu enggak tega. Kalau bisa bagi sedihnya sama Ibu, Non."

Aku memilih menyurukkan diri pada peluknya yang hangat. Walau tak sehangat pelukan Mama, tapi karena wanita paruh baya jua ini lah aku bisa pelan-pelan kembali.

"Non, mobilnya sudah siap," kata Pak Anwar memecah kegiatan kami. Aku segera mengurai peluk dan tersenyum riang.

"Sarapan dulu, Pak. Bu Nina buatkan sarapan."

Pak Anwar tak pernah menolak ajakanku juga Bu Nina. Bersama dalam satu meja makan di mana terkadang ada saja hal kami bicarakan. Penuh tawa dan sedikit banyak mempengaruhi mood-ku yang semalam kacau.

Tak apa, aku anggap menyesuaikan diri kembali dengan perilaku pria macam Rian yang harus kuhindari.

Akan tetapi, kegembiraanku terhenti begitu Pak Anwar membuka gerbang. Rian ada di sana. Berdiri dengan seringai pongahnya seperti biasa. Mengenakan kemeja cream dengan celana kain hitam ditambah kacamata hitam yang sebenarnya menambah penampilan bosku makin oke, tapi bagiku ia penganggu.

"Pagi, Ra," sapanya sembari melepaskan kacamatanya.

Aku mendengkus kesal, memutar bola mata jengah dan bersiap menaiki mobilku yang sudah sejak tadi mesinnya menyala.

"Kebetulan mobil saya menghalangi mobil kamu. Kamu bisa berangkat kalau saya menyingkir, kan?"

Tanganku terkepal kuat.

"Akan lebih baik kalau kamu naik mobil saya. Kita enggak bakalan telat, kan?"

"Apa mau Bapak?" geramku dengan nada penuh emosi. Sungguh, pengendalian emosiku kalau dihadapkan dengan bosku yang ternyata menyebalkan tingkahnya ini selalu ada di titik minus.

"Wah, kamu bisa marah juga ternyata. Saya pikit cuma bisanya bilang enggak atau iya aja," kekehnya. "Ayo, jangan buang-buang waktu. Nanti kita terlambat."

"Saya diantar supir."

"Sesekali supir kamu disuruh libur. Ya, kan, Pak?"

Pak Anwar yang masih berdiri di depan kap mobil depan, hanya tersenyum kecil dan menatap kami dengan pandangan bingung.

"Ayo, Ra. Sekalian saya mau bicara."

****

"Pak, lain kali kalau mau ada meeting bahannya disiapkan dulu." Aku tak tau harus berkata apa dengan Rian. Bosku itu ... astaga. Sangat amat menguji sabar yang kupunya. Ternyata ia ada di depan rumahku bukan tanpa sebab. Tepat jam 9 nanti Rian ada meeting dengan A Finance di mana lokasinya di bilangan Tanah Abang.

Ia tak sempat kalau harus ke kantor terlebih dahulu di mana A Finance ini yang kuingat, adalah klien di mana berkas-berkasnya membuatku kebingungan kemarin sore.

"Saya selalu punya bahan meetingnya, Ra. Jadi orang klaim macam saya ini harus fleksibel."

Aku berdecak pelan. Kubuka email yang terhubung dengan email kantor di mana beberapa berkas yang berkaitan dengan pekerjaan, aku mendapat akses dari Erin.

"Sorry, meetingnya mendadak dan semalam rasanya enggak sopan kalau saya kirimkan pesan."

Aku hanya melirik sekilas dan menghela napas pelan. "Oke. Enggak masalah. Saya lagi pelajari kembali kasusnya."

Dia malah terkekeh. Kulihat, Rian malah seperti menikmati sekali perjalanan yang sebenarnya macet ini. Lagu Here's Your Perfect sebagai latar kami di dalam mobilnya. Terkadang kudengar Rian bernyanyi tanpa tau malu.

Sepertinya aku butuh konsentrasi lebih untuk memahami apa-apa saja yang baru saja Erin kirim. Asisten Rian patut kuacungi jempol. Selalu bisa mengimbangi Rian yang terkadang seenaknya seperti ini. Aku jadi teringat Papa di mana Bianca sering bilang, "Untung gue tau bahasa terselubung Papa Bos. Coba kalau enggak?"

"Eh, kenapa kamu senyum-senyum itu? Terpana dengan suara saya, ya?"

Allahuakbar!

"Enggak. Kenapa saya harus terpana dengan suara Bapak?"

Dia kembali menggeleng dan belum mau menyudahi kegiatannya itu. "Enggak perlu kamu baca lagi, Ra. Saya sudah paham. Kamu nanti tinggal catat dan siapkan apa yang mereka mau."

"Maksudnya?"

Mata kami saling bersemuka beberapa saat. "Nanti kamu tau arah klaim yang mereka mau."

"Bapak enggak ada niat menceritakan dengan detail? Saya kepusingan kemarin dan buntu."

Tawanya berderai. Jemarinya mengetuk pelan mengikuti irama dan matanya kembali fokus pada jalan raya. Seolah pertanyaan serta keluhanku tadi hanya angin lalu. Tak ada yang bisa kulakukan selain menikmati perjalanan ke A Finance dengan diam. Juga ... suaranya yang sesekali mengikuti lagu yang terputar otomatis itu.

"Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum kita sarapan dekat kantor A Finance. Ada bubur ayam khas Cirebon gitu dan enak."

"Maaf, Pak. Terima kasih."

"Ah, temani saya kalau begitu. Saya belum sarapan. Meeting kali ini butuh energi lebih."

Ya Allah, luaskan sabarku untuk menghadapi Rian.

****

Apa yang Rian bilang ternyata benar. Alot sekali meeting kali ini dan berhubung aku baru pertama kali meeting di luar seperti ini bersama Rian, aku menyimak tapi rasanya gemas juga. Ingin menjeda tapi aku tau dan sadar diri, aku hanyalah SPV di mana posisinya di bawah mereka yang para petinggi.

Mobil klaim memang ada di bengkel tapi mobil ini sudah entah kepemilikan yang keberapa. Sementara tunggakan belum terbayar sampai menimbulkan denda yang cukup membuatku tercengang. Kuhitung sudah bisa mendapatkan dua motor yang Pak Anwar gunakan untuk keseharian di rumah.

Pihak leasing ingin penggantian total alias dibuatkan klaim TLO sementara kerusakan belum mencapai 75%. Klaim dikategorikan Total Loss Only ada beberapa kriteria. Hilang total di mana memang sudah tak bisa lagi dilacak dan adanya tim investigasi bukan hanya sekadar surat laporan kehilangan. Pihak asuransi meminta jarak untuk tim bekerja sebelum benar-benar memastikan kalau unit yang dipertanggungkan memang hilang.

Yang kedua, disebabkan oleh kecelakaan di mana kerusakan yang dialami melebihi batas perbaikan. Banyak kategori kerusakan untuk bisa dinyatakan TLO dalam dunia perasuransian kendaraan bermobil. Tak bisa sembarangan.

Untuk unit ini, masih bisa diperbaiki tapi kami butuh syarat-syarat tertentu dari leasing namun mereka tak mau memberi. Negosiasi sudah dilakukan sejak enam bulan lalu tapi sama sekali tak menemui titik terang.

"Jadi ... hanya itu yang bisa kami putuskan, Pak, Bu," kata Rian dengan senyum seperti biasanya. Tapi aku tau, senyum itu bukan untuk memberi semacam persuasi betapa dirinya memang sanggup menangani. Jenis senyum Rian bisa kuanggap, ia tengah memberi penilaian tersendiri mengenai semua lawan bicaranya.

"Tapi itu enggak menyelesaikan masalah, Pak Rian," kata Irma. Aku tadi sempat berkenalan dengannya. Ini kah yang Risa bilang kalau ada salah satu staff klaim di leasing agak menyebalkan? "Pak Donni meminta penggantiannya TLO baru kami siapkan berkas-berkas pendukungnya."

Rian menggosok kedua tangannyan pelan. Dagunya kemudian ia topang. Matanya lantas menatap Irma penuh lekat membuat wanita itu agak terkesiap. Aku bisa melihat gugup melandanya kini. Siapa pun yang Rian perlakukan seperti itu juga pasti gugup. Mungkin termasuk aku.

Mungkin.

"Kalau kami deal, kapan suratnya beres?" tanya Rian kemudian. Lalu matanya kembali ia arahkan pada Donni selaku Branch Manager yang terlihat kaku sekali selama meeting ini berlangsung. "Saya bisa dapat kepastian, Pak?"

"Seminggu, Pak Rian." Donni akhirnya bersuara setelah cukup lama berpikir. Padahal kalau kutelisik, berkas yang kami perlukan tak banyak dan cukup simple, hanya saja ...

"Dipastikan seminggu, ya, Pak?" tanya Rian sekali lagi tapi kali ini nada bicaranya menekan. Tak lagi santai juga bisa jelas kudengar keseriusan di dalamnya.

"Iya, Pak Rian. Nanti Irma bantu untuk berkasnya seminggu siap dan diantar ke kantor Bapak."

Rian mengangguk. "Karena saya selalu mendapat laporan untuk berkas klaim dari A Finance ini paling lama tapi minta pencairan paling cepat. Harusnya kan, balance ya, Pa?" tanya pria itu diiring kekehan tapi jelas sekali memberi kesan meremehkan. "Dan saya mau menegaskan sekali lagi mengenai klaim Mobilio ini. Harga yang kami sepakati adalah harga pasar di mana harga yang berlaku adalah minggu ini. Karena klaim berjalan dan lanjut di hari ini. Bulan apa sekarang, Ra?"

Aku mengerjap. Tak menyangka kalau Rian mengarahkan dirinya padaku. "September, Pak."

"Nah, September. Mohon dicatat semuanya, ya, Pak."

Donni yang duduk di seberang kami mengangguk saja. "Yang penting beres saja, Pak. Sudah terlalu lama."

"Kami enggak ingin menunda, Pak. Yang menunda dari pihak Bapak sepertinya," kekehnya pelan. "Saya segera info ke BoD hasil meeting kali ini. Dan mulai prepare untuk proses klaimnya."

Setelahnya, kami berbincang mengenai progress penjualan mobil, pengiriman order polis baru, juga kendala-kendala yang lain. Yang mana kurasa itu bagian dari tim marketing tapi tetap Rian bisa meng-handle-nya dengan baik.

Jika dalam mode serius diseling dengan candaannya, sebenarnya ada kagum yang kupunya untuknya. Semua bisa ia rangkul bersamaan dan pemecah suasana tegang juga bisa mengambil keputusan yang paling bijak di antara perselisihan yang tak bisa diselesaikan.

"Akhirnya," katanya sembari menutup pintu mobil. "Lega saya." Mesin mobil ia nyalakan di mana aku sudah mengenakan seat belt. "Coba dari enam bulan lalu mau dengarkan penjelasan saya dulu. Nolak terus, sih."

Aku bingung harus menanggapi apa.

"Sudah mau makan siang. Kita makan dulu, ya. Lapar saya. Bicara mulu mirip beo."

Mau tak mau aku mengulum senyum.

"Nah, kalau senyum gitu ternyata manis juga, ya. Sayangnya diam terus."

Aku mengerjap heboh dan ketika menoleh, aku hanya bisa melihat wajahnya dari samping. Di mana ia sudah—atau pura-pura fokus pada jalanan, aku tak tau.

Pantas Erin tak sanggup memalingkan wajah dari bosnya. Mulutnya manis sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro