[22] My Boss
Aku kembali menikmati laporan yang Risa beri. Juga adanya klaim baru yang segera saja menyita perhatian. Saat tengah sibuk mempelajari, Rian datang dengan cup kopinya. Hampir semua yang ada di dekatku menyapanya, terkecuali aku. Kulirik sekilas, ia hanya membalas sapaan tadi dengan senyum lebarnya. Tapi ketika melihat ke arahku yang hanya sepersekian detik itu, aku merasa, ia memberi pandangan yang tajam sekali.
Mengesankan aku ini tengah berbuat salah padanya.
Memang apa yang sudah kulakukan? Tidak ada. Semuanya berjalan normal, kan? Sudah lah, hal itu tak memengaruhiku juga. Hingga jelang waktu pulang kantor tiba, bosku itu tetap berada di ruangannya. Sementara kami beberapa kali berdiskusi terutama untuk klaim personal yang ternyata tak serumit dengan bussiness partner.
Satu per satu baik Risa, Dania, Tea, juga Tsania berpamitan pulang. Menyisakan aku yang memang memilih menunda jam pulang karena masih ada satu berkas lagi yang harus kukoreksi. Tak ada orang lain lagi di sini kurasa tapi tak masalah. Aku terbiasa pulang lebih dari jam kantor. Biasanya Bianca yang menemani sekalian menghabiskan gelas kopi yang kami pesan. Aku jadi merindukan saat-saat itu.
"Eh, masih ada orang. Saya pikir sudah pulang semua."
Segera saja aku menoleh ke arah sumber suara. Sosok pria agak gemuk tapi wajahnya ramah mendekat padaku. Ia berhenti dengan jarak yang cukup jauh. "Pak Teddy," sapaku. "Iya, Pak. Masih ada saya. Tanggung."
Dia tertawa.
Aku mengenalnya ketika memberikan berkas klaim Pak Ridho ke mejanya. Manager keuangan The Frizst.
"Oiya, klaim kamu sudah dibayarkan tadi pagi. Sudah diemail Rani, kan?"
Kujawab dengan anggukan. "Terima kasih, Pak."
"Rian ada enggak?"
Mataku mengerjap, sedikit bingung karena kupikir bosku itu sudah pulang. "Kurang tau, Pak. Saya enggak ke ruangannya."
Teddy kembali tertawa. "Biasanya staff dia selalu tau bosnya ke mana. Masa kamu enggak tau?"
Tak ingin pertanyaan itu aku jawab karena rasanya tak penting. Memangnya aku asisten Rian? Bukan. Bukan kewajibanku juga harus tau pergerakannya, kan?
"Saya ke ruang Rian dulu, ya, Ara."
Aku tersenyum saja. Kembali mataku berpusat pada laporan yang ada di tangan ini. Sedikit lagi selesai dan aku bisa segera pulang. Bahan untuk pekerjaan besok pun sudah aku persiapkan serta beberapa catatan kecil agar aku tak mudah lupa. Kalau sudah terbiasa melakukan aktifitas yang sama, pasti aku bisa mengingatnya.
"Kamu belum pulang?"
Gerakku memasukkan ponsel serta merapikan kotak makan yang sudah bersih terhenti. Suara itu kini familier di telingaku sekarang. Suara Rian. Kupikir dirinya sudah pulang sejak tadi, ternyata belum. Menoleh sembari tersenyum kecil adalah yang kulakukan setelahnya. "Baru mau pulang, Pak."
"Dijemput?"
Mataku mengerjap pelan. Aku baru ingat kalau Rian melihatku dijemput Pak Anwar. "Iya, Pak."
"Saya duluan," katanya yang kemudian diikuti Teddy. Aku tersenyum sembari mengangguk kecil menanggapi kepergian mereka. Hingga punggung dua orang tadi tak lagi kulihat, aku beranjak dari duduk dan mengabarkan kalau sudah bersiap turun ke basement. Aku masih belum mau dijemput di lobby.
Suasana kantor sudah sepi, pertanda hampir sebagian besar karyawan sudah bertarung dengan macetnya jalan Jakarta menuju rumah masing-masing. Hanya menyisakan office boy yang kulihat mengambil gelas-gelas kotor dari meja yang telah kosong penghuninya.
Kupikir Rian serta Teddy sudah menghilang dari depan lift, ternyata belum. Ragu aku melangkah tapi Teddy sudah keburu melihatku.
"Sudah selesai?" tanyanya yang kuyakin hanya basa basi.
"Baru saja."
Kulihat Rian sibuk dengan ponselnya, entah bicara dengan siapa.
"Kita mau ngopi dulu. Kamu mau ikut, Ra? "
Mataku mengerjap bingung. Ini ... Teddy menawarkan padaku?
"Dia enggak ngopi. Lo ajak juga pasti nolak."
Itu bukan kata-kataku, tapi Rian yang mana sudah mengantungi ponselnya. Matanya masih tajam mengarah padaku lalu menyeringai kecil.
"Pilihan enggak hanya kopi, kan, Yan?" Teddy berkata dengan kekehan. Menepuk pelan bahu Rian yang segera mendengkus karena sikapnya itu. "Gimana, Ra? Mau?"
Rian masih memasang wajah datar tapi aku tau, matanya melirikku berkali-kali. Ada apa sebenarnya, sih?
"Maaf, saya harus segera pulang."
"Sayang banget padahal saya mau traktir kamu, lho. Anggap saja perkenalan dengan staff baru yang Rian punya."
Aku hanya tersenyum kecil tak menanggapi apa-apa ucapannya. Hingga pintu lift terbuka, di mana Teddy mempersilakan aku untuk masuk terlebih dahulu, melewati Rian yang berdiri kaku menatap lurus ke depan.
Sialnya lift kosong, yang mana hanya terisi kami bertiga. Beberapa pertanyaan Teddy yang mengarah pada hal pribadi; tinggal di mana, betah atau tidak bekerja di sini, juga ... pasangan.
Agak sungkan aku menjawab semua pertanyaan Teddy dan lebih memilih melemparnya dengan senyum. Detik yang terlewati hingga lift kembali terbuka dan menampilkan area parkir yang cukup luas, membuatku lega. Sungguh. Rasanya seperti terbebas dari cekikan.
"Mari, Pak Rian, Pak Teddy. Saya duluan."
Hachie tak jauh terparkir di sudut yang bisa kuketahui sejak keluar lift. Pak Anwar sepertinya memang menungguku seharian di sini. Tadinya aku meminta beliau untuk meninggalkanku saja tapi ternyata Papa melarangnya. Pak Anwar harus benar-benar stand by ada di dekatku.
Membiarkan ucapan Teddy, "Hati-hati, Ra." Tak menoleh sama sekali karena Rian sendiri memang tak bicara apa-apa.
Menyamankan diri di kursi belakang, jalur exit parkir mengharuskan kami melewati mereka berdua yang masih berdiri di sana. Kaca mobilku gelap dari luar tapi dari dalam, semuanya terlihat jelas. Mata Rian tak putus memandang mobilku yang bergerak menjauh. Tajam sekali.
Ada apa?
****
"Enggak apa, Bu," kataku sekali lagi. "Dhrea enggak repot. Lagi pengin masak juga." Padahal ini hanya ayam tepung bumbu rica. Tak sulit dan rasanya juga tak sampai membuatku kelelahan tapi Bu Nina melarangku.
Katanya takut aku kembali pingsan. Berlebihan sekali.
Tiba di rumahku di bilangan Tanah Kusir, di mana beruntung sekali kami tak terlalu lama berjibaku dengan kemacetan. Mendadak aku ingin sekali bermain-main dengan dapur. Biasanya aku hanya merusuhi Mama jika tengah memasak makan malam. Masakan Mama selalu juara memanjakan lidahku dan Papa.
Weekend, baik Lanie juga Bianca pasti main ke rumah. Mencicipi aneka hidangan yang Mama buat sebagai camilan. Lalu ... siangnya kami ini dengan berkeliling mall. Mengingat hal itu, gerak mengiris paprika aku hentikan sejenak. Ada sesak yang tau-tau hadir akan kenangan manis itu.
Setelah makan malam, kurasa kembali menenangkan diri sebelum benar-benar terpejam dengan membaca sebaris dua baris Qalam Allah, bisa membuatku tenang. Menitipkan sekelumit rindu untuk Mama. Kulanjutkan mengiris semua bumbu tumis sembar mengingat-ingat Mama.
Dan mendadak juga ... bayang wajah Rian yang tengah memperhatikanku tadi siang terlintas jelas sekali. "Aduh!"
"Non!"
Ya Allah! Bisa-bisanya Andhrea!
Buru-buru aku menuju wastafel dan membasuh luka yang berdarah tadi. Perih sekali. Pisau yang tadi kugunakan bekas mengiris cabai dan aneka bawang, pastilah perih saat beradu dengan luka.
"Aduh, Non! Sudah, ya. Ibu aja yang masak. Ini yang Ibu takutkan. Bukannya mengiris bawang malah tangan," kata Bu Nina sedikit panik.
Aku tertawa kecil. "Bisa aja Ibu. Aku tadi enggak hati-hati. Mana ada keinginan mengiris tangan?"
Tubuhku ia geser sedikit, tak boleh lagi mendekati area dapur setelah memastikan kugunakan plester luka. Katanya aku menunggu saja hingga masakannya matang. Atas dasar hal ini, aku naik ke kamar saja. Membiarkan Bu Nina mengambil alih dapurnya lagi. aku meringis pelan saat melihat luka yang mengenai telunjuk kiriku. Entah lukanya tadi dalam atau tidak, tapi memang darahnya agak mengucur.
Apa aku tadi benar-benar mengiris tangan?
Di kamar, sudut yang paling aku suka adalah sofa single yang kusetel bisa setengah rebah. Ada selimut wol yang selalu terlipat rapi di sana. Ocean escape terhidu sempurna, membuatku sedikit rileks. Mengambil salah satu koleksi bacaanku di rak, aku memilih menunggu makan malam siap di sini saja.
Saat kulirik ponsel yang memang sengaja kuletakkan di nakas, ada satu pesan masuk. Nomor baru. Hal ini menggugahku untuk membuka segera pesan dari nomor asing tadi. Biasanya sering kuabaikan apalagi sudah malam begini. Bagiku itu menganggu.
(+62851******26)
Ini saya Rian. Maafkan kecerewetan Teddy tadi.
Aku mengerjap pelan, menatap ponsel lekat-lekat. Hingga suara ketuk di pintu kamar membuyarkan semua pemikiran aneh karena kiriman pesan ini. Yang tadinya aku lapar dan berharap begitu Bu Nina menyajikan makanan, selera makanku makin naik, semua itu amblas begitu saja.
"Jangan sampai dingin dimakannya, ya, Non," kata Bu Nina sebelum benar-benar keluar dari kamar. Aku mengangguk saja dan membiarkan wanita paruh baya itu menutup kembali pintu.
Mataku kembali tertuju pada ponsel yang masih menampilkan pesan dari Rian.
Lalu ...
Pesan baru muncul kembali.
(+62851******26)
Dibaca kan pesan saya?
****
"Sa, untuk pertanggungan pihak ketiga ini, kan, sepuluh juta. Tapi ada syarat dan kondisinya. Sudah kamu info, kan?" tanyaku sesaat setelah kubaca laporan terbaru mengenai masalah mobil yang menabrak anak artis ini. Beritanya langsung tersiar ke seluruh penjuru negeri. Agak mengerikan memang berita di tanah air ini.
Sungguh aku trauma sekali dengan wartawan juga kamera. Kalau saja Papa tak mengenal Om Wisnu, mungkin habis lah aku jadi bahan pergunjingan sejagad Indonesia. Sama halnya seperti kejadian ini. Pasalnya si anak sudah mendapat penanganan medis yang mumpuni hanya saja, mobilnya terkena kasus.
Asuransi terseret jadinya.
Aku hanya berharap jangan sampai ada pengacara dan wartawan lagi yang berkunjung. Karena pemilik mobil ternyata anak pejabat.
"Iya, Mbak. Lagi kita minta dokumennya ke leasing karena klaim langsung ke sana dulu. Mesin mobilnya ada error katanya. Yah ... kita mana tau ini permainan atau bagaimana," papar Risa. Aku mengangguk pelan. kembali menekuri laporan terakhir dan memberikannya kembali setelah memberi tanda tersendiri.
"Kamu laporkan terus kalau ada perkembangan terbaru termasuk bengkel, ya. Jangan sampai bengkelnya kelamaan periksa. Kondisinya urgent. Bilang aja begitu."
Risa sepertinya enggan mendengar kata-kataku terakhir karena menjawab dengan nada cukup ketus. "Ya kalau itu sudah urusan bengkel, kan, Mbak? Masa kita yang harus push? Mereka harusnya lebih tau, lah, mana yang penting mana yang enggak."
Aku hanya tersenyum menanggapi. "Saya minta nomot telepon bengkelnya. Kondisi mobil sudah di sana, kan? Authorized dealer bukan?"
Risa cemberut. Segera mengutak atik ponselnya dan memberiku deretan angka berisi nomor telepon beserta PIC terkait. Memberikannya padaku dengan setengah hati tapi aku bersabar saja.
Baru saja aku duduk dan mulai menarik pelan telepon yang ada di meja, suara Rian membuatku menoleh segera.
"Ra, ke ruang saya," katanya. Yang segera kembali menekuri ponsel yang tengah ia perhatikan dan berjalan cepat menuju ruangannya.
Kurungkan niat memencet beberapa angka yang sedang kutatapi tadi, mengikutinya dengan segera sembari bertanya-tanya ada apa.
"Ya, Pak?" tanyaku sesaat setelah menutup pintu ruangannya. Bosku itu sudah kembali duduk bersandar walau ponselnya masih menyita perhatiannya. Tak lama, mata itu segera saja memenuhi netraku. Sudut bibirnya tertarik sedikit. Mempersilakanku untuk duduk.
Dan ketika aku sudah duduk di mana kupikir akan membahas pekerjaan yang tengah melanda, keningku berkerut dalam karena pertanyaan yang ia suarakan jauh sekali dari apa yang ada di kepalaku.
"Semalam kenapa balas pesan saya singkat sekali. Saya ganggu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro