Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[2] New Life


Sekali lagi, aku menatap cermin. Mataku memang fokus pada cermin tapi isi kepalaku, memutar hal lain. Di mana aku ... yang terlihat berbeda kini. Wajah yang biasa terpulas make up walau tipis tapi terlihat fresk look, kini tinggal kenangan.

Wajah itu kian tirus dimakan waktu. Belum lagi, rambutku yang seperti tak terawat. Kupangkas sebahu agar perawatannya lebih mudah kini. Pun warnanya tak lagi menyala. Pilihan hitam arang adalah yang paling baik menurutku ketimbang mempertahankan warna sebelumnya.

"Non."

Suara ketuk pintu kamar memecah lamanku. Menoleh sekilas dan berupaya menyembunyikan sedih yang kupunya. Seperti biasa. Berpura-pura baik-baik saja.

"Masuk, Bu."

Aku memanggilnya Ibu, sejak usiaku mengenal sepatah dua patah kata. Orang tuaku hanya tersisa Papa. Mama meninggal karena ... aku memejam sejenak, menarik napas pelan, lalu mencoba merapal mantera 'itu bukan salahmu, Dhrea. Bukan.'

Ibu adalah wanita paruh baya yang selalu setia menemaniku ke mana saja. Mengasuhku, menyayangiku seperti putri kandungnya, juga yang mendampingiku di satu tahun kelamku ini. Ia masuk lengkap dengan satu nampan yang kutau, sarapan kesukaanku. Pancake siram madu.

Sekali lagi, aku tersenyum. "Makasih."

"Ibu senang banget, Non mau kembali beraktifitas."

"Semuanya karena dukungan Ibu juga." Aku duduk di sampingnya yang mulai memotong pancake agar bisa kumakan.

Aku menyayangi Mommy, sayang sekali sampai rasanya duniaku runtuh begitu tau, Mommy telah tiada. Namun sayangku pun ada untuk wanita paruh baya ini. Yang tak pernah melunturkan senyum tulusnya untukku. Kentara sekali hingga masuk dalam relung hati ini, betapa ia bukan hanya menganggapku sebagai kewajibannya semata tapi memang setulus hati memperhatikanku.

"Ibu sudah buatkan bekal makan siang juga. Non makannya harus dijaga, ya."

Kembali, aku tersenyum. Mengangguk pelan sembari menikmati sajian yang sudah ia buat dengan susah payah untuk menyambut pagi yang mungkin ia rasa spesial. Berbeda denganku di mana aku memang harus mencambuk diri agar menyudahi masa mengurung diri.

"Iya, Bu. Makasih."

"Pokoknya Non semangat, ya. InsyaAllah pasti lolos interviewnya. Kan, Non biasa bantuin Papa. Pasti bisa."

"Doakan Dhrea ya, Bu." Aku salim. Beliau hampir saja menarik tangannya namun tak kubiarkan itu terjadi. Namanya Nina, sosok yang aku hormati dan sayangi setelah kedua orang tuaku.

Saat kami bersemuka, matanya berkaca-kaca membuatku kebingungan. "Ibu kenapa?"

Beliau hanya menjawab dengan gelengan. "Ibu senang banget Non mau keluar kamar. Mau tersenyum lagi akhir-akhir ini. Jangan bikin Ibu khawatir banget, ya, Non. Tetap seperti ini."

Bibirku mengurva penuh walau hati carut marut. "Iya, Bu. Makanya, Ibu doain ya aku diterima. Jadi aku punya kegiatan."

Bu Nina langsung mengangguk girang. Mengusap punggung tanganku sebagai bentuk dukungannya. Senyum itu minimal bisa menggantikan senyum Mama yang menghilang dari peredaran hidupku.

"Penampilan aku gimana?" Aku perlu memastikan hal itu. Telah lama kutinggalkan kegiatan bermain kuas serta aneka make up di wajah.

"Tetap tercantik."

Aku benar-benar tertawa sekarang. Menggeleng pelan karena mendengar hal terkonyol yang Ibu utarakan pagi ini.

"Sampai kapan pun, Andhrea Harada paling cantik di mata Ibu."

Iya, di mata Ibu. Tapi tak cukup cantik di matanya.

**

"Non, nanti dijemput jam berapa?"

Aku menoleh segera dan bertumbukan mata di spion tengah. Kegiatanku mengecek banyak pesan masuk dari Bianca serta Papa berhenti sejenak. Berpikir.

"Nanti aku telepon Pak Anwar aja."

"Siap, Non."

Sudah. Hanya itu. Tak ada lagi pembicaraan di antara kami. Aku memang belum ingin bertanya dan ditanya apa pun. Kubiarkan Anwar, pria paruh baya yang selalu setia mengurus Hachie, sedan lux dengan logo jaguar di depannya, menyetiriku kali ini.

Selebihnya, aku menghabiskan waktu menikmati perjalanan.

Setahun lalu, aku terbiasa sendiri. Bercumbu mesra dengan Hachie sebagai kakiku melangkah dari mall satu ke mall lainnya. Mengecek satu per satu kendala yang ada di sana. Rasanya jika hanya sebatas laporan tanpa pengecekan langsung itu terasa ada yang kurang.

Ketika dua minggu lalu, kusampaikan masa sedihku ingin kusudahi, yang paling heboh adalah Papa. Beliau sampai meninggalkan meetingnya karena kabar itu Bianca—sial memang sahabatku itu—beritahu sesaat sebelum meeting berjalan.

Bianca adalah asisten Papa sejak lulus kuliah dulu. Kinerjanya oke punya. Papa menyukai caranya bekerja dan juga, aku memiliki kawan yang selalu bersama sejak menginjak ranah perkuliahan dulu.

Hingga kini, Bianca awet sekali di sana. Mendampingi Papa biarpun terkadang kesal juga lantaran sikap Papa yang pada dasarnya memang menyebalkan. For your information, Bianca memiliki anak berusia dua tahun. Suaminya pernah menjadi klien Papa dulu.

Saat tau, ehm ... Papa lebih kacau ketimbang Om Lukman, ayah Bianca. Over posesif. Katanya," Bianca sudah seperti anakku, Lukman. Enggak bisa lah dia sembarangan di dekati. Dia sekretarisku memang, tapi itu di kantor. Di luar gedung kantor, dia seperti Andhrea. Anakku."

Om Lukman hanya tertawa menddengar ucapan Papa kala itu.

Dan di sini lah aku. Duduk disetiri dengan nyaman dengan mobil mengarah pada satu area gedung perkantoran di bilangan Senayan. Papa menginginkan aku kembali tapi hatiku terus mengingat, betapa banyak kenangan yang ada di sana. Yang belum mampu kusingkirkan hingga kini.

Padahal ... yang meninggalkan kenangan untukku saja, sudah tak jelas rimbanya. Mungkin sudah bahagia. Menyisakan aku yang malah mundur ratusan langkah karena perbuatannya.

Pikirku, jika aku kembali mengingat hal yang pernah terjadi dulu sama saja aku tak keluar dari keterpurukanku. Juga segala nasihat yang Bianca gelontorkan padaku, akan sia-sia. Tadinya Papa tak setuju dengn keputusanku tapi lagi-lagi karena Bianca—sepertinya akan bagus rasanya memberi tas Balencegia incarannya yang menjadi koleksiku padanya sebagai hadiah—Papa akhirnya menyetujui.

Aku kembali bekerja. Yang mana dipastikan kegiatannya akan berbeda dengan setahun lalu. Tak apa. Aku mungkin bisa belajar menyesuaikan diri. Sejak lulus kuliah, aku memang ditempatkan di samping Papa. Dan pekerjaan kali ini, kutanggalkan nama besarku.

Aku masih belum siap jikalau mendapat tatapan penuh tanya juga kasihan dari orang lain. Walau aku tak yakin mereka benar-benar tau siapa aku, tetap saja, berita satu tahun lalu menggemparkan jagad bisnis tanah air.

Sungguh, ingin kumelupakan sakit hati yang belum mau sirna ini. Bianca bilang, "Lo harus bertemu suasana baru. Dan gue setuju kalau lo dengan pekerjaan baru."

Ah, belum mulai benar-benar bekerja. Hari ini proses interview penentuan diterima atau tidaknya aku bekerja di salah satu perusahaan asuransi kendaraan yang cukup terkenal ini. The Frizt. Melamar sebagai supervisor bagian klaim yang ... aku belum tau seperti apa medannya.

Tapi lagi-lagi aku teringat perkataan Bianca, "Paling enggak jauh daru bertemu klien. Cek klaim. Something like that, lah. Lo pasti bisa, Dhrea." Rangkulannya padaku makin dipererat. "Lagian lo enggak bodoh, Dhrea. Malu sama ijazah kalau enggak bisa mengerjakan pekerjaan ini."

Aku menggeleng saja atas semua perkataan Bianca kala itu.

Begitu tiba di gedung tempat tujuanku, si resepsionis mempersilakanku untuk naik ke lantai tempat interview berlangsung. Cukup lama aku menunggu orang yang akan menginterviewku. Asistennya bilang, atasannya masih dalam perjalanan ke kantor.

Aku menuruti saja apa instruksinya. Seandainya tidak diterima, dua hari lagi aku masih ada sesi interview dengan perusahaan lain. Tanpa embel nama Papa tentu saja. Murni aku cari kesibukan sendiri.

Kulirik alexander christie di tangan kiriku, sudah hampir satu jam aku menunggu. Sang asisten memperkenalkan diri sebagai Erin, menyodorkan beberapa form agar aku isi. Aku hanya tersenyum menanggapi. Entah kenapa sepeninggalan Erin, au malah teringat Bianca.

Oh ... juga Lanie.

Lanie ini bisa dibilang asistenku di divisi marketing Salim Grup. Aku banyak mengandalkannya mengenai jadwal serta pekerjaanku yang lain. Yang tak bisa kuhandle lantaran lebih mengutamakan yang membutuhkan perhatian ekstra.

Kami bertiga bersahabat baik. Di mana dalam circle kantor Papa, kami dijuluki tiga dara. Walau pada kenyataannya, yang masih single itu aku. Bianca, atau aku sering menyapa akrab dirinya; Bian. Sudah memiliki anak dan suami masing-masing satu.

Lanie, sahabatku yang merupakan rekan duet Mama dalam hal shopping (saat Mama meninggal, Lanie sangat terpuruk. Sering menemaniku berbagi tangis karena memang sahabatku itu sangat akrab dengan Mama. Kadang aku berpikir, Lanie adalah anak Mama. Bukan aku). Saat ini, Lanie tengah mempersiapkan pesta pernikahannya.

Aku ... bukannya tak ingin repot atau tak ingin berbahagia atas kebahagiaan Lanie, hanya saja, mentalku belum siap. Beruntungnya, Lanie tak pernah memaksakan diri. Satu gaun ungu pastel sebagai salah satu bridemaids-nya sudah tergantung apik di lemari pakaianku. Acaranya dua bulan lagi.

Hatiku tengah memupuk keberanian menghadiri pesta pernikahan. Semoga saja, aku bisa meraihnya walau tak dalam keadaan serratus persen. Setidaknya, satu foto bersama Lanie juga Bianca aku dapatkan, aku bisa segera pulang.

Ah, aku jadi merindukan mereka. Mungkin selesai sesi interview ini aku mengunjungi mereka secara mendadak adalah ide yang bagus. Tanpa perlu adanya kabar biar mereka shock.

Hampir saja aku loncat dari duduk saat mendengar pintu terbuka. Seorang pria bersetelan resmi berjalan ke arahku. Ah, pasti dia bosnya. Siapa tadi? Ehm... Erin tadi menyebut satu nama. Aku agak lupa.

"Rian Tanuwidjaja."

Ah, iya. Itu namanya.

"Harada, Pak," kataku setelah sebelumnya membenahi letak kacamata bulatku agar tak terlalu merosot.

"Just ... Harada?"

Alisku berkerut. "Maksudnya?"

"Iya nama kamu hanya Harada?" Matanya tidak lagi menatapku.

Aku mengerjap pelan. Apa bagian bertanya nama termasuk sesi interview? Bukan kah dirinya membawa lamaran yang berisi identitasku?

"Iya, Pak. Hanya Harada."

Kulihat dia hanya mengangguk. "Hanya memastikan karena nama kamu unik. Panggilannya siapa?"

"Ara," kataku singkat. Bagiku, ketika seorang laki-laki mengalihkan tatapannya dari perempuan di depannya, dia jengah. Dia malas berinteraksi. Dia buru-buru. Pun dari nada suaranya. Dia enggan aku ada di sekitarnya.

Dan itu bagian terbaik atas semuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro