Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[19] Another Side


Entah gue harus bersyukur atau bagaimana tapi yang jelas, gue happy aja balik ke Jakarta. Seenggaknya waktu gue di Bandung benar-benar untuk keluarga. Juga Kodo. Astaga biawak itu bikin gue pengin sembelih aja. Gue lagi ngobrol asyik sama Bokap, dia berulah. Biasanya kata Bokap, dia itu anteng. Apalagi ada Kodi.

Mereka sepasang memang, entah Bokap bagaimana ceritanya bisa jadi kolektor biawak gini.

Kadang pengin banget gue celetukin hobi Bokap ini, "Kenapa enggak sekalian miara buaya putih?" Tapi nanti Bokap benar-benar ngebawa buaya ke rumah lagi. MasyaAllah. Gue belum siap kalau ditelepon setiap hari sama Nyokap buat ngebujukin Bokap melepas buayanya.

Bersenandung riang mengikuti irama beat yang ada di playlist audio mobil gue. Gue orangnya mengikuti zaman aja. Kalau lagi in lagu-lagu hits, gue follow. Tapi kesukaan gue tetap pada band tenar di Indonesia; Kerispatih. Buat gue, lagu-lagu mereka pas aja didengar apalagi kalau suntuk menyapa.

"Andhrea sakit, Nak. Jadi enggak bisa ketemu dulu," kata Nyokap tadi pagi. Gue mau senyum-senyum bahagia, rasanya dosa. Jadi gue mengangguk saja sebagai responnya. Nyokap wajahnya agak sendu gitu.

Lagian, ya, yang sakit kan anak orang kenapa juga beliau yang galau? Giliran gue sakit, nih, yang ada gue dimarahin perkara kerja terlalu keras dan enggak kenal waktu. Disayang-sayangnya kalau sudah teler banget. Mau marah, Nyokap sendiri. Enggak marah, jengkel sendiri.

"Nanti kalau sudah ada waktu lagi, kita ketemu, ya. Kamu kenalan gitu."

"Iya, Mom," jawab gue dengan diplomatis padahal hati berdoa agar niatan itu enggak pernah tercipta. Aamiin.

Apa sebaiknya gue cari pacar yang sungguhan, ya?

Maksud gue, mulai dekat lagi sama perempuan dan bawa ke Nyokap gitu. Tapi ... Nyokap kadang suka aneh juga, sih. Memperkenalkan seorang perempuan ke hadapan beliau, sudah ditodong kapan nikah, sudah punya rencana apa, juga pertanyaan-pertanyaan yang bikin jantung gue enggak keruan.

Enggak bisa sembarangan perempuan juga yang gue bawa ke hadapan Nyokap. Bagi gue, perkenalan itu ada maknanya. Di mana gue sudah mulai ke tahap yang lebih serius dibanding sekadar jadi teman lebih dekat dari sekadar teman. Ada hal yang gue bicarakan mengenai masa depan dengan perempuan itu.

Gue pernah membuat banyak rencana masa depan dan dalam bayang gue, itu indah. Bersama seseorang yang masih gue kenang sampai kini. Tenang. Gue hanya mengenangnya saja. Enggak ada perasaan cinta itu lagi. Sudah gue biarkan pergi dengan keinginannya yang mendadak itu tapi gue tau, gue enggak bisa menahannya untuk terus di sisi gue.

Mengalah adalah hal yang paling bisa gue lakukan atasnya. Enggak apa. Gue tau dia bahagia saja sudah lebih dari cukup.

Tapi kenapa juga Nyokap bilang gue playboy? Setiap perkenalan dengan perempuan yang disodori Nyokap, gue berusaha sekali baik-baik. Kalau memang ada janji temu di luar jam kantor, kalau gue bisa, gue turuti. Tapi tetap, gue membuat batas tinggi dengan akhirnya mengatakan, "Saya masih kejar karir, sih. Kamu sendiri?"

Dengan pertanyaan gue itu saja, mereka sudah pada mundur. Biarpun ... yah, masih suka mengirimkan gue pesan dan ajakan datting.

Tanpa gue sadari, mungkin karena hati gue yang happy, mobil gue sudah memasuki area parkir gedung apartement tempat gue tinggal. Melirik Apple Watch di lengan kiri, sudah hampir jam delapan malam. Ide untuk sekadar menikmati cangkir kopi di kafe seberang gue urungkan. Memilih tidur lebih awal adalah pilihan paling bagus, besok senin gue banyak kerjaan. Monday it's a crazy day.

Bersiul kecil, meneteng beberapa paper bag yang mana isinya camilan serta makan malam yang Nyokap siapkan, juga tas kerja gue. Sesekali gue sapa sekuriti juga staff yang bekerja di gedung apartement ini. Gue memang enggak terlalu akrab tapi wajah-wajah mereka familier sama gue. Sudah hampir empat tahun gue di sini.

Selain cukup dekat sama kantor gue di Senayan, gue merasa lingkungan di sini enak untuk ke mana-mana. Mall Gandaria dekat banget. Gue mau nongkrong di kafe, ada di tower sebelah. Buat gue yang simple dan enggak banyak keinginan seputar tempat tinggal, hunian di sini sudah memenuhi ekspektasi gue.

Begitu langkah gue sampai di dalam apartement, aroma pengharum ruangan yang sengaja gue pilih beraroma kopi, menyapa gue. Rileks sejenak, lalu mulai merapikan barang bawaan sebelum benar-benar memilih tidur. Rasa lapar mendadak hadir begitu gue buka kotak yang berisi sup jagung yang lezat ini. Juga dendeng balado yang sambalnya tumpah ruah begini.

Nyokap memang the best kalau perkara makanan. Oh, beliau enggak lupa mengupas kentang biar gue tinggal goreng aja untuk camilan. Banyak pula. Segera gue masukkan ke freezer sebagai stok.

Enggak butuh waktu lama buat gue memanasi semua makanan dan menyantapnya. Kenyang dan enak banget sumpah. Secangkir kopi gue buat setelahnya sebagai peneman menikmati malam ini. Sengaja gue duduk beralas karpet juga bantal sofa kecil di dekat pintu kaca yang mengarah ke balkon. Gue agak malas membuka area balkon.

Mengambil ponsel yang ternyata sudah ada beberapa pesan termasuk pesan Erin.

Erin : Cuma mau mengingatkan Bapak, jangan sampai lupa makan.

Gue terkekeh. Enggak sekali dua kali Erin memberi gue perhatian bahkan setelah gue blak-blakan bilang menolaknya? Gigih juga. Untuk pertama kalinya gue memutuskan membalas chat yang bersifat personal ini.

Rian. T : Sure. Saya harap kamu juga enggak lupa.

***

Seperti biasa, begitu gue mengarahkan mobil ke kantor, pikiran gue penuh dengan kegiatan apa yang harus gue capai semingguan ini. Tersisa satu dan gue rasa Harada bisa masuk perhitungan gue sebagai orang yang memang cakap menyelesaikan problem klaim.

Gue tiba di kantor hampir mendekati jam absen tapi beruntung gue diselamatkan di menit-menit terakhir. Ah, salah gue juga, sih. Enggak tau kenapa gue pengin banget minum kopi di kedai yang ada di lobby. Biasanya gue minta Erin yang buatkan atau pesankan di kafe langganān.

Begitu gue memperhatikan semua staff gue, Harada yang sudah duduk dengan notes dan alat tulisnya. Seperti tengah mencatat sesuatu.

"Morning semuanya," sapa gue. Yang mana segera gue letakkan beberapa cup kopi yang memang gue beli tadi di bawah. Gue terbiasa membelikan mereka semua kopi atau penganan kecil kalau gue lagi mampir.

"Morning, Pak," sahut mereka kompak. Sementaa SPV baru gue hanya menoleh dan mengangguk kecil. Ada sesuatu yang bikin mata gue enggak mau melepas pandangan darinya. Mukanya pucat.

Tapi berhubung dia melengos buru-buru, gue abaikan saja. Memilih mengedikkan bahu samar dan memfokuskan diri pada staff lainnya yang bergerak mendekat. Mereka paham ketika gue bawakan tentengan, segera dibagikan masing-masing seorang. Gue juga belikan roti sebagai peneman kopi.

"Wah, pagi-pagi dapat jatah kopi dari Pak Bos," pekik Tsania heboh. Anak itu memang hobi sekali heboh tapi gue enggak masalah. Justeru keberadaannya itu bikin seru divisi klaim. Enggak melulu diam saja dan seolah menerima semua limpahan ocehan dari customer perkara klaim kendaraan mereka.

"Makasih, Pak," kata mereka kompak. Gue nyengir saja.

"Yang coklat panas untuk Erin, ya." Itu benar. Asisten gue enggak bisa minum kopi padahal enak. Ya sudah. Gue ingat-ingat kalau belikan gadis itu minuman yang lainnya dan coklat hangat adalah pilihan yang tepat.

Dan kebetulan, gadis itu ternyata sudah ada di belakang gue.

"Cie ... Pak Bos perhatian banget sama Erin," celetuk Dania yang gue sambut dengan kekehan. Di mana Erin hanya menampilkan wajah sebal (entah sungguhan Erin ini sebal atau sebatas pura-pura, gue enggak paham.)

"Pak Bos memang baik ke semuanya, kok. Bukan gue aja," kilah Erin sembari mengambil cup miliknya. "Yang ini untuk Mbak Ara, kan? Kalian semua sudah?" katanya lagi. Gue masih memperhatikan semua staff gue. Anggap saja, sebelum mulai berperang mereka gue beri amunisi dulu.

"Mbak, ini kopi Mbak," kata Erin yang dari sudut mata gue ikut mengamati wajah Harada.

"Makasih, Rin," katanya pelan. "Dan makasih Pak Rian kopinya. Berkah selalu sudah traktir saya kopi."

Gue mengerjap pelan. Lamat gue perhatikan gadis berambut pendek ini. Setelah cup kopinya digeser dekat dengan gelas tinggi berisi air putih miliknya, ia tak segera meminumnya. Hanya dihirup aromanya sekilas, tersenyum tipis sekali, malah kalau gue melepas sedikit saja mata dari Harada ini, senyum itu enggak bisa gue nikmati.

Matanya memejam sebentar lalu cup itu digeser kembali. Dan ... dia sibuk lagi sama notesnya. Seolah keributan di sekitar dia ini enggak ada apa-apanya ketimbang notes yang tengah menguasai matanya itu.

Penampilannya masih sama seperti pertama kali gue bertemu. Bajunya sopan, wajahnya gue rasa cuma disentuh make up yang tipis banget, belum lagi gue agak terganggu dengan wajahnya yang lebih pucat dari biasanya. Juga kacamata besarnya itu. Bagus giginya enggak menggunakan kawat gigi. Kalau gunakan kawat gigi juga, astaga ya ampun, Harada adalah penghuni divisi klaim yang paling aneh penampilannya.

Serius, gue enggak bohong.

Tapi ... senyum tipis tadi sepertinya pernah gue temui. Di mana, ya?

"Pak, nanti agendanya meeting dengan BoD bahas masalah klaim Pak Ridho. Berkas sudah masuk ke sana kemarin. Kalau nanti oke, sepertinya bakalan ada memo khusus biar cepat sampai di rekening Pak Ridho," info Erin.

"Oke, makasih Rin." Sudah lah, pikiran gue tadi melantur banget. "Nanti Harada ikut saya meeting, ya. Saya butuh pendamping."

Gadis itu mendongak dan menatapku dengan kedipan pelan.

"Maksudnya biar kamu juga tau progressnya," kata gue buru-buru. Takutya dia salah persepsi, kan? Tapi kayaknya, sih, enggak.

Dia enggak merespon apa-apa kecuali mengangguk. Gue jadi penasaran, bibirnya ini memang irit kosakaa atau apa, sih? Saat interview dia memang lancar menjawab tapi memang enggak banyak yang ia bicarakan. Saat diskusi juga, setelah ia dapatkan jawaban, ia segera keluar ruangan. Enggak ada sela untuk basa basi sedikit. Efisien memang tapi kayaknya kaku banget.

Ck!

Harada aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro