Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[18] Sick

Bersemuka yang tak sampai sepuluh menit itu—itu pun Bakta tak menatapku. Sibuk dengan perempuan yang sama, yang pernah aku lihat dulu. Yang kutau, asisten di kantornya yang baru. Ya Allah, rapi sekali ia tutup perselingkuhannya. Dalihnya keluar dari kantor Papa untuk melebarkan sayap dan mendulang pengalaman, tapi yang kudapat?

Tamparan keras berupa pengkhianatan besar-besaran.

Tak menunggu Olive menyelesaikan urusannya, aku memilih pergi menjauh. Rasa sakit yang belum sembuh ini kembali melebar. Langkahku buru-buru hingga rasanya hampir menabrak beberapa orang yang ada di depanku. Beruntung aku tak sampai melakukan hal itu.

Berdiri setengah bersandar pada tepian mobil, berusaha agar tak luruh karena gemetar juga tiba-tiba keringat dingin mulai membasahi tubuh. Memejam sejenak sembari merapal banyak kata-kata positif agar aku tak jatuh di sini. Padahal di antara kami tadi, tak saling bicara pun saling menatap. Hanya aku yang melihatnya saja.

Tapi rasa mual, jengkel, marah, kesal, kecewa, juga sakit hati ini tiba-tiba bergemuruh di dada. Menekan kuat sekali sampai aku sesak.

"Mbak?"

Aku mengerjap pelan. Di depanku ada Olive yang menatapku dengan khawatir. Kurasa ia tengah melihat hantu karena matanya membulat sempurna di depanku ini.

"Mbak sakit? Pucat banget."

Aku menggeleng pelan. "Saya mabuk aroma rumah sakit," dustaku. Olive terkekeh sembari mengusap bahuku singkat.

"Ayo, pulang. Nanti Mbak keburu pingsan."

Sepanjang jalan ke kantor, aku tak banyak bicara. Bukan menikmati perjalanan yang mana tak terlalu macet ini tapi berusaha sekali untuk menyingkirkan sosok Bakta yang ternyata masih lekat sekali dalam ingatan.

Pria itu baik, perhatian serta pengertiannya mampu membuatku luluh. Sayangnya ... baik yang Bakta miliki malah menghancurkanku. Mengenangnya malah makin membuat tanganku terkepal kuat.

Tadinya perencanaanku akan pekerjaan sudah terbayang di benak jadi hancur karena pria berengsek tadi. Ya Allah, semoga saja begitu duduk di meja kerja nanti pikiran normalku kembali. Menyelesaikan apa yang tertunda dan segera memberi hasil kunjunganku pada Rian. Aku yakin, pria itu menunggu.

Dan benar saja begitu tiba di kantor, Erin segera menghampiriku.

"Mbak," katanya. Aku baru benar-benar menaruh bokòng juga tas. Tersenyum menanggapinya karena memang ia tak salah. "Laporannya ditunggu Bapak, ya, Mbak."

"Iya, Rin. Sebentar lagi saya kirim."

Gadis itu mengangguk pelan dan kembali ke mejanya. Sementara Risa juga Dania tadi menyapaku sekilas dan kembali tenggelam dalam laporan yang ada di depannya. Gegas aku menyusun laporan yang diminta beserta surat permohonan sebagai lampiran. Kembali mengecek detailnya setelah memastikan email itu sampai pada Rian di sana. Risiko menjadi bos, cuti pun tetap direcoki perkara pekerjaan. Aku mengalaminya.

Rasanya pun tak terlalu tenang kalau tak mengetahui kabar terkini dari pekerjaan yang kita tinggali ini.

Aku memang sengaja tak mengirimkannya melalui pesan Whatsapp. Tak ingin terjadi kesalahan dalam pengiriman dokumen dan bukti bahwa aku mengerjakan bagianku. Kuterapkan hal itu pada seluruh bawahan dan staff marketing di kantor Papa. Dokumentasi jadinya satu arah dan tidak berantakan. Meminimalisir kalau-kalau ada berkas yang tak bisa dibuka pada perangkat ponsel mereka.

Begitu aku dapati jawaban dari Rian, sekali lagi aku cek kelengkapan berkasnya. "Sa," panggilku pada Risa yang segera menghampiri.

"Ya, Mbak? Maaf, ya, tadi aku enggak tanya tentang Mbak di rumah sakit. Ada klaim lagi," keluhnya. "Aku baru dapat laporan lengkapnya kemungkinan sore karena berhubungan sama kepolisian."

"Nabrak?"

Gadis itu mengangguk. "Dan bikin celaka orang. Mana korbannya anak artis."

Kuhela napas pelan. Akan ada drama lanjutan sepertinya. "Kalau sekiranya agak riskan, kamu harus segera lapor ke saya, ya."

Dia mengangguk lagi.

"Dan ini tolong antar ke BoD. Berkasnya sudah oke semua, titipkan saja dengan sekretarisnya. Pak Rian berpesannya seperti itu. Saya mau solat dulu."

"Oke, Mbak."

Berkas itu pun berpindah tangan. Semua lembar yang akan kuberi, kububuhkan dengan paraf kecil berikut dengan numerik. Kebiasaanku yang tak bisa lepas begitu saja padahal sudah berlalu setahun tak memegang dan bercumbú dengan berkas.

Kutunaikan kewajibanku di salah satu ruang yang memang khusus disediakan The Frizst bagi karyawannya. Tak banyak yang berlalu lalang siang ini karena mungkin saja sudah mereka tunaikan kewajibannya atau malah sudah kembali sibuk berkutat dengan pekerjaan.

Getar pada ponselku di saku blazer cukup membuatku terganggu setelah selesai solat. Tengah bermunajat agar Allah senantiasa menjaga hatiku agar waras. Kulirik nama Bianca muncul di layar. Biasanya di jam seperti ini, Bian sibuk mengurus jadwal lanjutan Papa.

Ada apa, ya?

"Kenapa, Bi?"

"Gue ganggu lo enggak?" tanyanya dengan nada buru-buru. Membuat hatiku mendadak cukup khawatir.

"Enggak terlalu. Ada apa?"

"Gue kayaknya enggak bisa ikut ke Bandung, Dhrea. Sasha sakit. Gue lagi arah pulang karena demamnya makin tinggi."

"Ya Allah. Lo sama siapa, Bi?"

"Pakai taksi online ini. Gue disuruh pulang sama Bos Papa," katanya dengan suara agak panik.

"Oke-oke. Lo hati-hati, ya. Kabarin gue kalau sudah sampai di rumah. Atau sudah di rumah sakit si Sasha?"

"Masih di rumah, sih. Bibi enggak berani bawa ke mana-mana. Mas Reza juga sudah gue hubungi tapi masih rapat."

"Ya sudah enggak usah mikirin Papa. Lo pikirin Sasha dulu. Kabarin gue terus, ya. Semoga aja enggak ada apa-apa. Mungkin Sasha kecapekan saja."

"Mungkin. Dia memang lagi aktif banget dan banyak kegiatan."

"Coba dikurangi, Bi. Kasihan, kan?"

Aku bisa jelas mendengar kalau Bianca terisak pelan.

"Sudah-sudah jangan nangis. Tenang, ya."

Agak lama bagiku menemani Bianca yang masih terisak ini. Tak apa. Aku masih memiliki sedikit waktu sebelum benar-benar kembali ke meja kerjaku dan mulai mengecek laporan yang baru saja masuk dari Risa tadi.

"Kenapa, sih, lo selalu berhasil bikin gue tenang?" katanya kemudian. "Padahal gue yang dinilai paling tegar di antara kita bertiga."

Aku terkekeh. "Memang wanita tegar enggak boleh nangis? Apalagi berhubungan dengan anak, Bi. Sensitif banget hati. Iya, kan?"

"Thanks, Dhrea."

"Sama-sama," kataku sembari mulai melipat mukena. "Kabarin gue, ya, kalau sudah di rumah juga kondisi Sasha," ulangku. "Gue mau bicara sama Lanie dulu mengenai rencana ke Bandung. Hal urgent apa yang harus dikerjakan di sana."

"Urgent enggak urgent, sih, agenda Bos Papa."

"Maksudnya?" Mendadak aku sedikit kebingungan.

"Yah, bertemu kawan lama juga bahas sesuatu gitu. Mungkin kerja sama baru."

Bukan kah biasanya seperti itu?

"Lo tanya jelasnya sama Lanie aja, ya."

Mendadak perasaanku tak enak.

****

Aku tak terlalu memperhatikan bagian-bagian mana dari kawasan Bandung yang berubah. Yang kuingat dan kuperbandingkan sekarang adalah tingkat kepadatannya. Aku memang terlambat dua jam dari jam yang Papa sepakati karena mendadak, perutku sakit sekali.

Padahal semalam aku tak salah makan. Juga sarapan yang Bu Nina siapkan pun tak bermasalah bagi perutku. Aku sampai kembali rebah lantaran sakit yang menyerang cukup mengganggu. Ingin rasanya menolak mendampingi Papa tapi terkesan aku menghindari Papa. Lagi pula kalau aku bilang sejujurnya, bisa-bisa Papa tak jadi menemui kliennya.

Jadi lah aku di sini. Duduk sembari memegangi perut yang masih kurang nyaman. Berkali-kali juga pak Anwar bertanya bagaimana kondisiku. Kuyakinkan pria paruh baya itu untuk tak terlalu khawatir karena obat pereda nyeri ini sudah kuminum.

Mungkin karena perjalanan kurasa lama sekali, aku jatuh tertidur. Ketika Pak Anwar membangunkanku, kami sudah tiba di pelataran hotel tempat titik temu kami. Kurasa baik Papa dan Lanie sudah tiba terlebih dahulu. Banyak pesan dari Lanie yang mengabari serta cerewet sekali bertanya aku sudah sampai di mana.

"Mari, Non," sapa salah satu pegawai hotel. Di mana kesan tradisional khas Jawa Barat menyapaku demikian kental. Mataku berkeliling cepat, memindai sekitar, dan menghidu dalam-dalam udara segar yang menyapa penciumanku ini.

Hotelnya sedikit menjorok ke bawah yang mana disajikan pemandangan yang asri. Bisa kulihat dari lobby tempatku turun dari mobil tadi. Aula besar menyambutku segera dan interior yang ada di dalamnya terkesan futuristik sekali. Konsep yang digunakan hotel ini cukup memanjakan mata.

"Mau ke kamar dulu atau ke ruang makan? Pak Joe sudah menunggu."

Ah, benar. Papa dan Lanie sudah tiba. "Antar saya ke meja Papa saja," kataku singkat. Berupaya berjalan biasa saja padahal perut ini rasanya kembali berulah. Si pelayan berjalan di depanku beberapa langkah. Menyusuri koridor di sebelah kanan setelah melewati meja resepsionis, menuruni beberapa anak tangga, juga keluar dari aula lobby tadi dan berakhir di satu ruangan berlantai dua itu. Di mana kurasa, di sana lah restoran dari hotel ini.

"Silakan Nona," katanya kemudian di mana ruang makan yang cukup lega serta pemandangan perbukitan terlihat jelas sekali. Jendela besar yang ada di sana, mengelilingi ruang makan. Tak perlu dibuka di semua sisi karena angin yang berembus cukup kuat.

Kulihat Papa dan Lanie tengah berbincang seru. Tawa sahabatku itu sesekali memenuhi ruangan juga ada seorang pria paruh baya yang duduk di seberang Papa.

"Nah, Dhrea sudah tiba," kata Papa menyambutku. Aku tersenyum lebar, mengabaikan lilitan di perut yang makin jadi saja.

"Maaf, Dhrea datang terlambat," kataku penuh sopan. Menjaga wibawa Papa di depan orang yang kurasa sebagai kliennya ini perlu. Pria paruh baya itu menoleh ke arahku dan tertawa lebar.

"Wah ..., anakmu cantik sekali, Joe."

Papa hanya menanggapi dengan senyum kecil. "Ini Om Herry. Beliau pemilik hotel ini."

Aku mengerjap pelan. "Hotel yang indah dan artistik, Om," pujiku tulus. Menghampiri orang yang bernama Herry tadi, berhubung beliau kurasa sebaya dengan Papa, aku mengulurkan tangan. Mengecup punggung tangannya dengan takzim.

"Duh, Joe. Saya culik Dhrea gimana? Pasti istri saya senang sekali punya menantu macam ini. Santun. Cantik."

Papa hanya tertawa sementara aku menggeleng pelan. Mengambil duduk di sebelah Papa setelah mengecup singkat pipi beliau.

"Kalau Andhrea dibawa kamu, Her, anakku suruh berhadapan dulu denganku."

Mereka semua sepertinya sepakat untuk tertawa sementara aku tidak. Rasa-rasanya ... belitan serta remasan di perutku makin jadi. Mendadak aku limbung dan gelap menyapa tanpa permisi, menyisakan sayup-sayup suara Papa juga Lanie yang memanggil namaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro