Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[16] Hospital


Papa benar-benar ada di lobby. saat aku keluar lift, beliau masih berbincang ramah dengan koleganya. Aku enggak mendekat karena takut mengganggu waktu beliau nantinya. Duduk di salah satu kursi panjang yang memang dikhususkan untuk menunggu, memilih sejenak melihat sosial media yang isinya itu-itu saja. Sembari sesekali melirik Papa yang masih jua belum selesai bincang-bincangnya.

Ketika kurasa mereka sudah saling mengucapkan perpisahan, aku berjalan pelan mendekati Papa. Raut wajahnya seperti yang selalu kuingat; tegas, jarang tersenyum, rambutnya yang mulai memutih juga kerut di sekitar sudut matanya sudah terlihat, belum lagi tatapannya selalu tajam mengarah pada lawan bicaranya.

"Pa," sapaku pelan. Beliau menoleh dan segera merentangkan tangan. Tak peduli kalau di lobby ini banyak berseliweran orang lain, Papa tetap lah Papa.

"Putri kesayangan Papa," katanya.

"Tumbe. Ada meeting."

Papa mengangguk sembari merangkulku. "Anak Papa kenapa kurus banget, ya?"

"Aku bawa bekal, lho, sekarang." Kuberitau tas kecil bercorak biru garis-garis di mana di dalamnya terdapat kotak makan yang sudah kosong isinya.

"Bagus dong. Kita makan malam?"

Aku tersenyum kecil mengiakan. Begitu langkah kami tiba di lobby, SUV Papa sudah ada di sana. Pak Dana membukakan pintu untuk kami dan kudapati Bianca tengah berbincang seru di side belakang. Tertawa ketika melihatku memasuki mobil.

"Ini yang bos, Papa atau kalian, ya?" sindirku telak. Yang mana segera saja tawa mereka kembali memenuhi kabin mobil. Papa juga ikut terkekeh, mengusap rambutku pelan.

"Pak, ke Pacific Place," kata Papa. Aku tak peduli mau makan malam di mana. Hingga kami tiba di tempat tujuan, juga banyaknya obrolan ringan selama di perjalanan di mana aku sebagai penyimak saja. Kecuali kalau sudah dua kali ditanya mengenai hal yang sama barulah aku menjelaskan.

"Nak, weekend ke Bandung?"

Aku mengerjap pelan, garpu yang mana menusuk satu potongan kecil steak pesananku (kami makan di salah satu restoran steak langganān Papa. Berempat seperti kebiasaan kami dulu, saat butuh melepaskan penat yang dilarikan pada makanan. Walau makanan yang kami pesan pun tak banyak. Setelahnya kembal pada rutinitas dan kesibukan masing-masing.) tergatnung di udara. Menimbang sejenak sebelum akhirnya bicara. "Dhrea mau istirahat aja, Pa. Kaget juga tau-tau banyak kegiatan di divisi klaim."

Papa tampak kecewa tapi buru-buru disembunyikan lewat senyum serta tangannya yang mengusap bahuku. "Oke. Enggak apa. Papa sama Bianca saja kalau begitu."

Kulihat Bianca menghela napas pelan. "Kuajak Sasha juga Mas Reza kalau begitu. Weekend ini harusnya aku temani Sasha cooking class."

Ada rasa bersalah yang tiba-tiba hinggap apalagi melihat Bianca yang jadi tak bersemangat menyantap hidangannya itu. "Memang acara apa?"

"Itu, lho, Dhrea. Bos Papa mau bertemu kawan lama sekalian jenguk. Sakit katanya. Tapi lo tau dong kalau Bos Papa sudah keluar kota berarti bakalan ada proyek baru."

Papa hanya meringis menanggapi ucapan Bianca.

"Lanie ikut, deh, Bos Papa. Ngapain di rumah, ya?"

"Eh, lo mending urus undangan, deh. Gue sebal banget kalau malam-malam dichat cuma minta pertimbangan enggak penting perkara mau nikah. Semuanya bikin gue ribet!" kata Bianca tanpa jeda. Matanya mendelik tajam pada Lanie yang malah tertawa menanggapi ucapan Bianca barusan.

Dalam beberapa hal, Bianca ini memang selalu bisa diandalkan. Biarpun Lanie mampu mengimbangi gerakku dulu tapi untuk urusan yang lebih luas lagi, Bianca sangat layak mendapat pujian betapa teliti dan terarah cara kerjanya. Aku banyak belajar darinya.

"Terserah siapa saja boleh ikut. Acaranya santai, kok. Tapi Papa berharap Dhrea ikut."

Aku tersenyum saja. "Aku lihat di hari Jumat, ya, Pa. ada rencana akum au ke rumah sakit."

Baik Papa, Lanie, juga Bianca langsung sibuk memberondongku dengan banyak pertanyaan yang membuatku pening mendadak.

****

"Besok saya cuti."

Aku yang tengah meneliti berkas yang tadi Risa beri, mendongak sekilas. Pagi ini, kembali seperti biasanya. Makan seru semalam, berakhir dengan senyum dan perasaan riangku yang bertumpuk. Walau belum kuberi keputusan apa bisa ikut dengan Papa tapi setidaknya, semalam aku mulai kembali menikmati udara malam di luar.

Pria itu berdiri tak jauh dari tempatku duduk.

"Kalau butuh approval urgent, bicara ke Ara dulu. Biar dipelajari sebelum naik ke BoD. Saya rasa besok aman enggak banyak kendala. Klaim yang cukup butuh perhatian dua case ini saja, kan?"

"Iya, Pak."

Itu bukan suaraku melainkan Risa. Kulihat wajahnya tak lepas memandang sang bos. Aku kembali memperhatikan laporannya saja. Tadi pagi, kami sempat berdiskusi sekilas termasuk keinginanku bertemu dengan pihak tertanggung yang butuh perawatan intensif. Walau sudah ada perwakilan keluarga, tapi kamu butuh keterangan langsung dan tim analis klaim membuat janji temu langsung di rumah sakit.

Aku yang mengajukan diri untuk ikut serta guna mengetahui perkembangan keadaan korban juga. Agak miris memang, karena mereka seolah dipaksa untuk setuju dengan besaran klaim yang memang tertera di polis.

Sejauh ini, karena aku pun baru saja dilimpahkan berkas serta harus segera belajar dan menyesuaikan diri, aku tak banyak berkomentar. Hanya mengikuti arahannya saja sembari mulai menelaah apa yang sebaiknya kulakukan.

Ada kalanya, memang butuh pengajuan lebih terkait masalah klaim-klaim yang cukup menyita pekerjaan ini.

"Schedulle Ara besok ke rumah sakit. Tadi kami sudah diskusi dan saya perbolehkan karena untuk case ini disorot sekali oleh BoD. Kalau bisa segera selesai akhir bulan ini. Bisa, Ra?"

Aku mendongak kembali. "InsyaAllah."

Agak lama pria ini memandangku. Entah kenapa. Apa aku salah bicara? Lalu ia berdeham kecil., mengalihan tatapannya ke arah lain. Aku pribad justeru senang tak menjadi bahan yang memenuhi matanya.

"Itu saja dari saya. Semua report kalau bisa selesai di sore ini, ya. Saya tunggu."

"Baik, Pak." Hampir semuanya kompak bicara. Mungkin hanya aku yang membungkam suara. Tak butuh waktu lama pria itu bergerak menjauh. Kemudian posisi tadi digantikan oleh Risa yang menatapku dengan pandangan yang cukup aneh.

"Mbak mau apa ke rumah sakit?" tanyanya sembari menarik salah satu kursi agar duduk tepat di depanku. "Surat-suratnya sudah lengkap, kan?"

Aku tak tau apa dirinya takut kalau tiba-tiba aku mengatakan ada beberapa surat yang tak dilampirkan ketika membahas klaim penangannya sampai di titik mana bersama Rian, tapi yang jelas, tadi pagi beberapa surat yang kubutuhkan sudah ada di meja.

"Sudah, kok." AKu tersenyum kecil. "Tapi saat saya baca permohonan dari perwakilan keluarga, yang mana ternyata permohonan ini sampai ke manajemen agar dilakukan peninjauan kembali masalah besaran harga klaim. Kan, Risa tau kalau korbannya dirawat dan butuh biaya besar."

Gadis itu tak merespon apa-apa.

"Jadi aku berinisiatif untuk meminta dokumen lebih dan tim analis ikut untuk bagian verifikasi data lainnya, Sa."

Dia mengangguk pelan. "Kupikir hal-hal seperti itu enggak bisa dilakukan, Mbak."

"Saya pribadi belum pernah tau apa hal ini bisa dilakukan atau enggak. In case, pak Rian bilang, BoD minta beberapa surat pendukung. Hanya saja, kita tetap inform ke keluarga tertanggung ini sifatnya pengajuan. Belum tentu disetujui."

"berarti yang pakai pengacara gimana?"

"Senin datangnya, kan, pengacaranya? Bukan kah kamu beberapa kali handle klaim serupa?"

Risa mengatupkan bibir.

"Saya belum pernah soalnya. Hanya baca-baca jenis klaim sebelumnya dan saya pelajari. Makanya saya butuh data lebih. Semoga saja hari ini saya bisa dapat sedikit gambaran," kataku jujur.

Memang keadaan yang kujalani seperti itu.

"Nanti Risa bantu, Mbak," katanya yang mana tatapannya kali ini berbeda. Lebih ramah dan tak terkesan angkuh lagi. "Risa juga masih belajar."

"Sama-sama belajar kalau gitu, ya?"

"Eh, si Bos cuti ada apa?"

Baik kami—aku dan Risa—menoleh segera pada gadis yang tiba-tiba mendekat ke meja kami. Bibirnya sedikit mengerucut dan berdecak sebal.

"Jangan tanya gue dia mau ke mana. Gue enggak dikasih tau."

Dania juga Tsania tertawa. Awal kedatanganku, Tsania memang tak ada. Tengah cuti karena anaknya sakit. Baru hari ini aku mengenalnya.

"Yang ditanya itu, ada apa. Bukan tujuan dia cuti, Rin," kata Dania yang disambut gelak dari teman-temannya. Aku hanya menggeleng kecil melihat interaksi mereka. Kalau Erin bisa berada di sini, berarti kemungkinan besar Rian tak ada di ruangannya.

"Itu juga gue enggak tau. Hanya disuruh kasih pengajuan cutinya aja," kata Erin dengan wajah masih memendam kesal. Kurasa gadis ini benar-benar menyukai bosnya. Hal yang lumrah terjadi di kalangan kantor. Sekalinya patah hati, bisa mempengaruhi kinerja.

Tak sekali dua kali aku menyaksikan hal itu di kantor Papa dulu.

"Aku mutusin resign bukan untuk menjauh dari kamu, Dhrea," katanya. Bibirku mencebik sebal. Makan siang yang tersaji hanya kuaduk-aduk tanpa minat karena semua selera makan sudah menguap mendengar berita yang baru saja Bakta sampaikan.

"Biar kubuktikan kalau aku mampu dan bisa berdiri tegak di depan papa kamu."

Mendengar alasannya, senyumku mendadak terbit. Malu-malu menatapnya yang tak pernah mengalihkan matanya dariku ini.

"Ya sudah. Aku dukung kamu kalau begitu."

Senyum itu, masih terbayang jelas dalam benak. Bermain dan menari di sana, menimbulkan simponi tersendiri dalam buncah bahagia juga ketika ia benar-benar menunjukkan dirinya yang makin jaya. Membuat kagumku jatuh telak di bawah kakinya. Belum lagi Papa yang mulai memandangnya tak sebelah mata.

Tapi ...

Semuanya sirna.

"Mbak?"

Aku berjengit kaget apalagi saat jemari berpemulas warna nude milik Risa dekat sekali dengan wajah. Menjentik pelan membangunkanku dari lamun yang tercipta barusan.

"Mbak melamun?"

"Enggak," kataku cepat. Segera menyambar gelas berisi air minumku dan menenggak habis. Berkali-kali rasanya ingin mengusap dada juga merutuk, kenapa malah masih berpikir mengenai pria berengsek itu.

***

Aku mendengar saksama semua kisah yang secara garis besar aku baca dalam laporan yang Risa berikan padaku itu. Tapi cerita dari Bu Cindi, bibi dari korban kecelakaan beruntun di tol Cipali di mana korban adalah pemilik dari sedan yang kini kasus klaimnya tengah kutangani ini, cukup membuat bulu kudukku meremang.

Benar yang beliau katakan, diri sendiri sudah menjaga dan berhati-hati, orang lain belum tentu.

"Bisa diusahakan, kan, Mbak?" tanyanya penuh harap. "Kasihan Ridho."

Kuusap pelan punggung tangannya. "Kami usahakan yang terbaik. Ini bersifat pengajuan, ya, Bu. Pihak analis kami juga langsung terjun ke sini untuk memastikan ka—"

"Silakan aja, Mbak, ditinjau. Disurvei. Memang keadaan kami seperti ini. Siapa, sih, yang mau kecelakaan gini? Mana mobilnya masih angsuran, kan? Biarpun Ridho punya usaha tapi, kan, enggak untuk bayar mobil rusak gitu," katanya dengan nada suara yang mulai kembali ketus.

Kutanggapi dengan senyum, lagi-lagi, agar beliau setidaknya mau mendengarkan penegasan dariku ini.

"Saya usahakan yang terbaik untuk pengajuannya. Dibantu dengan doa juga, ya, Bu."

"Itu pasti, Mbak."

Tak ada lagi pembicaraan setelahnya. Mataku kadang menatap ruang di mana nama pemegang polis, Ridho Alamsyah terbaring dengan selang di kanan kirinya. Tabrakan yang ia alami cukup parah. Mobilnya ringsek. Tak butuh aku ke bengkel untuk benar-benar mengecek karena mekanik bengkel sudah memberi dokumentasi lengkap perkara sedan silvernya itu.

"Mbak Ara," panggil Olive, rekan analis yang tadi bersamaku. "Saya sudah. Mbak?"

"Sudah juga." Aku pun berdiri sembari mengucapkan salam perpisahan pada Bu Cindi ini. Semua dokumen yang aku butuhkan dan berharap tak ada yang kurang untuk kuserahkan pada BoD.

Instruksi Rian di sore kemarin, kalau dirinya sudah oke (dengan mengirimkan berkas melalui pesan Whatsapp dan beruntung atasanku langsung setuju) aku bisa segera memberikannya pada meja BoD. Agar segera diproses dalam bulan ini. Artinya masalah klaim berkurang dan tak butuh perhatian ekstra.

Hanya tinggal satu lagi yang sepertinya memang perlu penjelasan dan pengertian lebih. Mereka menggunakan jasa pengacara. Yang mana sebenarnya itu tak perlu mengingat semuanya sudah diatur dan perjanjian antara pemilik polis dengan leasing sangat jelas tertera.

Sesekali Olive mengajakku bicara. Gadis berpenampilan menarik ini ramah sekali. Hampir setiap kali berpapasan dengan orang lain, senyum di wajahnya selalu tampil. Selorohnya tadi, "Senyum itu ibadah, Mbak Ara."

"Mbak, aku mau ke toilet dulu sebentar. Mbak tunggu sini?" tanyanya. Kami tepat berada di simpang antara arah lobi juga ke lorong yang cukup panjang namun lebar dan beberapa pengunjung seperti kami mondar mandir.

"Silakan. Saya tunggu sini, ya?"

Dia mengangguk sementara aku memilih untuk duduk di salah satu kursi yang ada. Aroma obat juga antiseptic terhidu sempurna dan sedikit mengangguku. Rasanya aku seperti tengah berbaring di ranjang dengan infus terpasang di tangan.

"Mas, nanti kalau anak kita lahir aku enggak mau kalau ibu kamu tinggal di rumah."

Karena suara itu terdengar jelas, aku menoleh. Dan tak pernah kusangka, kalau pria yang menemani sang pemilik suara adalah orang yang sama.

Yang telah menghancurkan diriku hingga kepingannya sukar disatukan kembali dan menjadi utuh.

Antony Bakta Jaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro