Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 - Argumen Falila

"Kenapa tadi diam aja? Kamu bilang kamu juga keberatan dia mendekati Lila, kan?"

Jared meminta adik bungsunya menghadap ke ruang keluarga. Selepas kepulangan Haditya, mereka kembali berkumpul sebelum Jared dan keluarganya pergi.

Falila yang sudah tahu akan kembali dihakimi secara personal sudah menyiapkan diri. Namun, sepertinya Kabiru duluan yang harus menjadi sasaran Jared.

"Jangan-jangan kamu sudah tahu duluan, ya, dia mau ke sini lagi?" tuduh Jared. Dia menatap Kabiru dengan tatapan menyelidik.

"Enggak tahu dia bakal ke sini," jawab Kabiru, cuek. Mulutnya sibuk mengunyah kue kering nastar buatan Amelia, padahal baru saja menyantap makan siang. "Lagian, orang yang keganjenan duluan itu si Lila. Wajar aja si Hadit jadi belingsatan mau ke sini lagi."

"Jadi, kalau mau nyari sumber masalahnya, tuh, si ratu drama!" tunjuk Kabiru ke arah Falila menggunakan gerakan dagunya.

Falila mendelik. Baru saja dia merasa Kabiru keren karena mampu bersikap lebih dewasa selama kehadiran Haditya, tapi langsung luntur ketika mendapati bahwa adiknya itu ternyata tetap menyebalkan.

"Maksud kamu apa, Bi?" Rama langsung menaruh perhatian.

Princess-nya Papa yang duluan kecentilan mancing-mancing. Si Hadit yang lagi kena pelet, ya, pasti langsung gerak cepat nangkapnya. Makanya aku sempat bilang keberatan dia ngedekatin Lila karena khawatir ke dianya, bukan ke Lila.”

"Apaan, sih, lo!" sergah Falila. Ingin sekali dia menjejalkan kue nastar banyak-banyak ke mulut adiknya itu.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Jared, melirik Falila sebentar agar gadis itu diam dulu.

Kabiru mengangkat bahu, cuek. "Suka ngasih lope-lope dan sapa-sapaan di Instagram. Katanya nolak, tapi suka nyari perhatian orangnya. Malu-maluin, lo!" Dibanding menjawab Jared, dia lebih senang memojokkan Falila.

"Bocah banget, sih, kelakuan lo! Tukang...."

"Diam dulu, kamu!" potong Jared, menghentikan pekikan Falila yang ingin memulai perang dengan si bungsu.

Untung saja anak-anak Jared diamankan ke ruang bermain. Siapa pun di ruangan keluarga jadi leluasa mengeluarkan karakter asli mereka tanpa repot melalukan sensor.

Amelia yang biasanya paling cerewet memilih mengambil aksi diam kali ini. Dia lebih dulu ingin mendengar apa yang mau disampaikan Falila sampai berani bertindak di luar perizinan keluarga. Tentunya sesuatu yang menarik, jadi Amelia memilih pasif dulu.

Dia dan Naira malah asyik mengamati pajangan update-an terbaru dari salah satu merek tas langganan mereka di iPad milik menantunya itu.

"Maksud kamu apa, sih, La? Sekarang sudah nggak ada lagi orangnya. Jadi, jelaskan semuanya. Harus jujur. Nggak pakai drama dan berbelit-belit," titah Jared, mewakili keinginan Rama yang sedari tadi lebih banyak diam mengamati anak-anaknya.

"Lila!" tegur Jared lagi ketika mendapati sang adik masih diam dengan bibir cemberut manja.

"Ya, aku ternyata jadi tertarik sama dia. Udah, gitu aja," ucap Falila, menolak menatap Jared dan yang lainnya.

"Ngapain kamu tertarik sama dia?!"

"Emang nggak boleh?!" Falila menatap Jared dengan heran. Aneh sekali kakaknya ini.

“Kenapa harus dia?!” Jared terdengar semakin tidak terima.

"Mas, pertanyaan kamu itu aneh. Normal, kan, kalau Lila suka sama orang. Apalagi cowok." Naira yang gemas dengan suaminya, tidak tahan lagi terus diam.

Naira tahu bahwa bukan hanya Jared yang punya pikiran aneh seperti itu. Mertua laki-lakinya dan Kabiru juga. Hanya saja Kabiru tampaknya sudah menyerah merepotkan diri. Tidak mungkin Naira memojokkan dua pria tersebut. Jadi, hanya suaminya yang paling bisa diladeni.

"Ya, tetap aja. Ngapain dia suka sama tuh orang. Apa hebatnya dia sampai bisa menarik perhatian Lila?" Baru kali ini Jared terdengar bingung dengan argumennya sendiri. Membuat Naira spontan tertawa geli.

Amelia juga ikut tertawa. Apalagi ketika melihat Falila memijit kepalanya dengan gestur frustrasi.

"Ya, Tuhan! Begini banget, sih, punya cowok-cowok di rumah!" keluh Falila terang-terangan.

"Kenapa Mama ketawa?" Rama terusik mendapati sang istri ikut-ikutan seperti mengejek dirinya dan para anak lelakinya.

Amelia masih menyelesaikan tawanya sebelum bicara, "Soalnya Papa sama Red memang aneh. Biru juga," tambahnya.

"Pa, dengarin mama," pinta Amelia, tampak mulai serius turun tangan. "Lila sudah dewasa. Memang sudah saatnya dia mencari pasangan hidup. Nggak mungkin, kan, selamanya dia harus sendiri. Kalau yang datang orangnya baik, terus Lila juga suka, kenapa harus ditolak, sih?"

"Lila nggak akan pernah sendirian. Lagian, kata siapa anak itu baik?" bantah Rama, terdengar tidak suka mendengar perkataan istrinya.

Falila geleng-geleng kepala. Kali ini debat sudah berganti pasangan. Belum menjelaskan banyak, tapi dia sudah merasa lelah. Kabiru bahkan sudah berbaring di sofa dengan mulut masih asyik mengunyah camilan.

"Sendiri yang mama maksud bukan begitu. Suatu hari, Lila akan membutuhkan seorang pendamping. Bersuami. Berkeluarga. Usianya sudah cukup untuk itu," sahut Amelia, mulai gemas sekaligus kesal.

"Terus, memangnya Haditya itu nggak baik? Papa sendiri yang bilang kalau Pak Rasyid pasti bangga banget punya anak seperti dia. Secara nggak langsung, Papa juga merasa begitu, kan, terhadap Haditya?"

"Kapan papa ngomong begitu? Nggak ada," gumam Rama pelan, menolak mengingat celetukannya dulu.

"Oke. Kalau memang Haditya nggak baik untuk Lila. Sekarang mama tanya, kalian punya calon nggak buat Lila yang menurut kalian layak?" tantang Amelia, menatap satu per satu kepada para pria.

"Jangan bilang kalau kalian nggak mau Lila menikah seumur hidupnya. Aneh itu namanya!" sindir Amelia, sekaligus menegur pikiran aneh para lelaki itu.

"Kan, kita sayang sama Lila, Ma," celetuk Jared pelan, semakin bersikap bodoh.

Amelia merasa ingin menyerah saja. Dia mengikuti gerak Falila sebelumnya, memijit kepalanya yang mulai pusing.

Naira kembali tertawa geli. Sangat terhibur dengan keluarga ini, terutama suaminya sendiri.

"Jawab aja, deh, Mas, pertanyaan Mama tadi? Ada, nggak?" tantang Naira, semakin ingin membuat keki suaminya.

Kebungkaman para pria menjadi jawaban bagi semuanya.

"Kalau nggak ada. Kita coba pertimbangkan Haditya. Toh, Lila juga sudah tertarik, kan, sama dia. Kita semua tahu gimana Lila dan standarnya. Kalau dia sudah memilih Haditya, berarti memang orang itu sudah masuk kualifikasi dia, termasuk keluarga ini," terang Naira, mengambil alih untuk mencari solusi. "Lagian, ini tanpa paksaan. Lila yang mau sendiri."

"Kalau memang Haditya nggak layak, coba kasih tahu bagian mananya? Biar jelas dan kita bisa kasih pandangan ke Lila untuk dia berpikir lagi," lanjut Naira sambil memindah slide di layar iPad miliknya dengan gestur santai.

Para pria masih bungkam. Skakmat.

Jared menatap istrinya dengan gemas. Awas saja wanita itu nanti. Berani sekali membuatnya kalah berargumen.

Naira menyadari tatapan Jared. Dengan berani, dia malah menantang balik tatapan pria itu.

"Memangnya benar kamu mau sama dia?" tanya Rama tiba-tiba sambil menatap Falila. Suara pria itu terdengar kaku ketika menyuarakan pertanyaan tersebut.

Butuh waktu bagi Falila untuk menjawab. Namun, tetap harus diiyakan olehnya agar urusan cepat selesai. "Iya, Pa," tegasnya.

"Kamu tahu, kan, dia ke sini dengan tujuan apa? Dia pasti nggak akan mau menunda-nunda atau sekadar berpacaran dulu." Rama berusaha mengingatkan sekaligus sedikit menakut-nakuti agar Falila berubah pikiran.

"Iya, Pa. Lila tahu dan paham. Dia bilang malah nggak mau nunggu sampai dua bulan lebih. Mau cepat-cepat melamar ke sini," jawab Falila, tidak mau repot menutupi apa kehendak Haditya.

"Apa?! Berani banget dia mendesak begitu. Terus, kamu mau?!" Jared berseru kaget dan terdengar geram.

Falila mengangkat bahu ringan. "Belum aku iyain. Kan, nunggu respons kalian dulu."

"Kamu dan dia baru aja kenal. Belum pacaran juga, kan? Kenapa jadi tergesa-gesa begitu?" tuntut Jared, lagi-lagi menyuarakan isi hati Rama.

"Nggak tahu. Besok Mas langsung tanya ke dia, deh, kenapa jadi mau cepat-cepat," ujar Falila, mengambil jurus Kabiru. Cuek dan masa bodoh.

Jared berdecih. "Dia nggak akan bisa maksa kalau kamu nggak mau. Masih bisa ditunda dulu sampai kita semua siap dengan situasi ini."

Naira kembali tertawa geli. Benar-benar out of control sekali suaminya hari ini. Menggemaskan sekaligus menyebalkan. Untung saja dia tahan banting menghadapi keposesifan pria itu.

"Aku mau, kok."

Jared dan Rama yang tadinya merasa memiliki waktu untuk mencari pilihan lain selain apa yang dikehendaki Haditya, langsung termangu mendengar celetukan Falila barusan.

"Kamu apa, Sayang?" Rama ingin memastikan lagi.

"Memang belum aku iyain, tapi aku mau nikah sama Mas Haditya. Cepat-cepat juga nggak masalah," ulang Falila dalam redaksi yang lebih detail.

"Jadi, tinggal nunggu persetujuan formalitas aja dari Papa dan Mama. Kalau setuju, secepatnya Mas Haditya mau bawa orang tuanya ke sini."

Kemajuan yang sangat cepat dalam hal hubungan romansa dengan seseorang. Amelia sampai menaikkan alis dengan raut takjub bercampur senang. Tindakan Falila kali ini seakan menunjukkan kalau dia telah berani keluar dari masa traumanya. Bukan sesuatu yang negatif. Bukan hal buruk di mata Amelia.

"Serius, La?"

Kabiru yang tadi diam, akhirnya bersuara kembali. Dia mewakili apa yang sedang ingin disuarakan semua orang yang tampak masih kaget mendengar pengakuan Falila.

Falila mengangguk tegas. "Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tertarik sama seseorang. Aku juga yakin dan percaya sama dia. Kalau dia, ya, nggak usah ditanya lagi. Dia lebih dari itu ke aku. Aku pikir itu semua cukup untuk menjadi dasar kami menjalin hubungan serius bahkan pernikahan."

"Cukup gimana, maksud kamu? Pernikahan bukan hal main-main, Sayang." Rama terdengar lebih serius kali ini walau masih bersuara lembut kepada putri kesayangannya.

"Kamu pikir menikah cukup hanya dengan alasan tertarik dan percaya?" Kali ini Jared yang bersuara, tapi dengan nada tajam tanpa mau repot menahan diri.

Falila mengernyit, agak bingung. "Memangnya enggak cukup? Mas sama Mbak Naira juga awalnya nggak saling cinta, kan? Tapi tetap mau menikah muda. Papa dan Mama juga dijodohkan, terus menikah tanpa pacaran. Toh, akhirnya kalian bisa menjalani pernikahan dengan baik. Karena saling percaya dan yakin satu sama lain, kan?"

Selain Falila dan Kabiru, semua orang di ruangan tersebut langsung termangu mendengar argumen Falila. Jared yang tadinya ingin membuka mulut, langsung bungkam dan memalingkan pandangan secara spontan.

Falila dan Kabiru tidak tahu, para pasangan di ruangan tersebut menyimpan rahasia mereka sendiri-sendiri.

Rama memang tidak mencintai Amelia pada awal pernikahan mereka. Bahkan kehadiran Jared kecil kala itu tetap membuatnya mampu menyakiti Amelia dengan sangat dalam. Sampai akhirnya takdir membalik hatinya hingga menjadi tergila-gila pada istrinya sendiri.

Namun, hal itu memerlukan banyak waktu dan pengorbanan. Tidak semudah yang dipaparkan Falila barusan. Pernikahan tidak segampang itu.

Sedangkan Jared dan Naira, mereka memang memulai hubungan tanpa rasa cinta. Desakan perjodohan membuat keduanya terpaksa egois dengan menyakiti orang terdekat mereka hanya demi bisa bersama.

Berkebalikan dengan Rama, Jared dan Naira sudah benar-benar saling mencintai ketika akhirnya mereka memutuskan menikah. Itu pun tidak semudah perkiraan. Naik dan turun kondisi pernikahan pada usia muda sering kali membuat keduanya saling menyakiti tanpa sadar karena masih tingginya ego masing-masing.

Kalau saling cinta saja bisa banyak kendala, apalagi yang hanya bermodal saling percaya tanpa saling mengenal lama. Jared sulit menjabarkan apa yang harus dia pahamkan kepada adiknya itu.

Kehidupan pernikahan Jared bersama Naira mungkin masih bisa sedikit dipertimbangkan. Namun, kisah lama papa dan mamanya tidak dapat dia umbar. Hal itu adalah rahasia kelam Rama dan Amelia yang akan Jared simpan rapat-rapat dari adik-adiknya, seperti yang juga dilakukan orang tuanya.

Kabiru mengamati Falila dengan saksama. Sedikit kagum karena jarang sekali dia mendapati Falila berpikir sepraktis barusan. Biasanya si ratu drama itu suka berbelit-belit dalam membuat alasan.

Berdasarkan argumen Falila dan bukti nyata dari orang tua serta kakak sulungnya, maka terbentuklah pola pikir baru dalam kepala Kabiru.

Memutuskan menikahi seseorang tidak harus dengan alasan saling mencintai. Saling percaya dan yakin satu sama lain sudah lebih dari cukup. Tidak perlu merepotkan diri untuk lebih dulu jatuh cinta ataupun memperlama masa pengenalan. Hal-hal itu akan muncul naluriah selama prosesnya. Seperti yang dialami Jared dan papanya.

[18.04.2022]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro