13 - Pikiran Drama Falila
Harusnya Falila mengikuti instingnya saja, sebelum akhirnya terjebak dalam rencana Nenek Winda. Dia memang sempat merasa kurang nyaman ketika Nenek Winda mengundang untuk makan siang di hari Minggu. Tapi Falila mencoba abai akibat senang ketika sang nenek berkata sudah bisa ikut memasak di dapur. Wanita itu mengatakan sengaja memasak makanan kesukaan Falila.
Kebetulan pula Amelia sudah ada agenda makan siang bersama Rama di luar rumah, hingga Falila harus datang sendirian. Jadilah sekarang dia terdiam kaku ketika harus duduk berhadapan dengan Ervin di meja makan milik keluarga Nenek Winda.
Hanya ada Tante Sinta dan Nenek Winda yang menemani mereka makan, para pria sedang pergi memancing untuk seharian. Kelihatan jelas sekali kalau makan siang tersebut dirancang untuk mempertemukan Falila dan Ervin.
Ketika Falila mengikuti Tante Sinta untuk membantu mengambil tambahan lauk dan sayur di dapur, wanita itu tersenyum dengan sedikit meringis. "Tante udah ingatkan Nenek, tapi kamu tahu sendiri kan gimana Nenek. Meski udah dilarang mama kamu, tapi tetap pengin banget mempertemukan kamu dan Dokter Julian secara khusus. Sekali ini aja, katanya. Kalau memang kali ini nggak ada yang bisa dilanjutkan, Nenek nggak akan macam-macam lagi."
Falila tersenyum kecut saat mendengar penjelasan Tante Sinta. "Aku pastikan nggak berlanjut, Tan. Jadi nanti Tante siap-siap aja dengerin Nenek ngedumel selama beberapa waktu ke depan."
Tante Sinta tertawa pelan sambil menyodorkan mangkuk berisi sayur tumis kacang panjang hijau sederhana kesukaan Nenek Winda. "Kenapa jadi nggak bisa berlanjut, sih? Penasaran deh, kenapa sampai mama kamu juga nolak cowok sekeren Dokter Julian buat jadi calon menantunya."
"Bukan selera aja," jawab Falila, terdengar tidak tertarik. "Aku udah keren, Tante. Nggak perlu dapat yang keren juga," tambahnya dengan nada canda yang kembali membuat Tante Sinta terkekeh mendengarnya.
Gestur santai Falila ketika tadi bersama Tante Sinta di dapur, berubah kembali menjadi kaku saat makan siang dimulai. Dia sengaja lebih banyak diam agar Nenek Winda menyadari bagaimana sikap yang dia ambil atas pertemuan tersebut.
Ervin yang sepertinya paham terkait keengganan Falila untuk berdekatan dengannya, tidak mempermasalahkan sikap dingin wanita itu. Dengan sikap sopan dan hangat, Ervin terus meladeni Nenek Winda dan Tante Sinta berbicara.
Nenek Winda yang tetap menginginkan seorang Dokter Julian dapat dekat dengan Falila, kukuh meminta keduanya berbicara berdua di teras samping pasca makan siang berakhir.
Tersedia beberapa macam makanan penutup dan minuman dingin di meja kecil yang memisahkan Falila dan Ervin. Keduanya belum menyentuh sajian-sajian tersebut karena terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Adik kamu yang cowok, apa kabar?"
Pertanyaan Ervin memaksa Falila yang tadi sibuk memainkan ponsel menjadi mendongak untuk menatap penuh tanya kepada pria itu. Kenapa tiba-tiba menanyakan Kabiru padahal tidak saling kenal?
Ervin tampak tersenyum kecil, mengerti tatapan heran Falila. Dia menyentuh ujung bibirnya seakan ingin meraba sesuatu di sana. "Sulit buat lupa sama dia. Anaknya kuat banget, sampai bikin bibirku robek dalam sekali pukul."
Butuh waktu bagi Falila untuk memahami, hingga akhirnya dia tersenyum tipis saat bisa membayangkan sebrutal apa Kabiru ketika menuntut balas kepada Ervin atas kekacauan yang dibuat kakak perempuannya sendiri.
"Dia baik. Makin kuat," jawab Falila singkat. Sekian waktu, akhirnya dia mau berbicara secara langsung dengan Ervin. Bukan apa-apa sih, tadi dia hanya malas saja menunjukkan harapan di depan Nenek Winda. Sekarang pun dia merasa hanya perlu seadanya saja meladeni Ervin, sampai waktu pertemuan mereka berakhir.
"Entah apa yang bakal dia lakukan kalau sekarang lihat aku duduk di depan kamu," ujar Ervin, sedikit tersenyum geli. Ancaman seorang anak remaja bertahun-tahun lalu yang memintanya untuk tidak lagi muncul di depan Falila, tentu saja bukan sebuah candaan. Ervin cukup bisa membayangkan akan semengerikan apa anak lelaki itu kalau Ervin sampai melanggar ancamannya.
Falila kembali tersenyum tipis. Dia juga memutuskan untuk terus bersikap formal, agar dapat memberi batasan yang jelas di antara mereka. "Dia masih belum apa-apa dibanding kakak sulung saya. Waktu itu kakak saya lagi pergi kuliah, jadi ketinggalan banyak hal."
Bukannya kaget atau waswas, Ervin malah tampak masih tersenyum dan mengangguk-angguk seakan mengerti. "Sekuat apa pun mereka, akan tetap bisa dihadapi kalau kamunya bersedia diperjuangkan."
"Maaf?" Falila mengernyit, seakan tidak mendengar apa yang diucapkan Ervin barusan.
Senyum tenang Ervin mengusik Falila. Pria itu memang memiliki definisi tampan dan menawan yang sesungguhnya dari seorang pria. Haditya yang pernah dibicarakan Amelia, masih perlu melakukan banyak permak kalau ingin menyaingi seorang Ervin secara visual.
Ervin menikmati raut penuh tanya Falila. Dia melebarkan sedikit senyumnya karena merasa begitu terpesona dengan kecantikan Falila yang telah melebihi masa remaja mereka. "Aku nggak masalah harus menghadapi mereka, kalau kamu bersedia untuk aku perjuangkan. Memulai lagi semuanya dari awal. Sama aku, La."
Falila masih mengernyit, tapi kali ini diiringi dengan punggung yang sudah bersandar di sandaran kursi dengan tangan bersedekap. Cukup lama dia membalas tatapan Ervin secara terang-terangan, menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras atas ucapan pria itu.
"Sehebat atau semenarik apa pun sesuatu itu, tapi kalau pernah membuat tidak nyaman, maka saya nggak akan pernah lagi menggunakannya," ujar Falila, menginfokan gaya hidupnya terkait sesuatu.
"Iya, aku tahu. Itu kamu banget dari dulu," sahut Ervin tersenyum sendu. "Tapi aku bukan sesuatu yang mengindikasikan sebuah barang. Aku manusia biasa yang juga punya perasaan dan keterbatasan. Lebih sering khilaf dan keliru dalam bertindak. Tapi manusia tolol ini," tekan Ervin, merujuk kepada dirinya. "Juga sudah berusaha keras untuk memperbaiki apa yang telah dia kacaukan, terutama di masa lalu."
"Kekacauan di masa lalu itu tentunya tidak termasuk saya, kan." Falila tidak merasa tersentuh dengan pengakuan Ervin. Toh kenyataannya memang pria itu dulunya ikut mengacau, meski tidak satu tim dengannya. "Karena kalau memang iya, maka harusnya kita sudah duduk seperti ini sejak bertahun-tahun lalu. Tapi kenyataannya, Dokter baik-baik saja dan bisa mengatasi semuanya tanpa perlu melibatkan saya selama prosesnya."
"Karena saat itu Raisa jauh lebih...."
"Jauh lebih membutuhkan Dokter dibanding saya yang kata orang-orang sudah sakit mental," potong Falila dengan nada tenang, membuat Ervin tersentak kaget lalu membuang napas lelah. Pria itu tampak mulai kembali teringat banyak hal tidak menyenangkan di antara mereka saat itu.
"Setelah semua kegilaan yang saya lakukan, juga keputusan Dokter yang memilih Raisa, kenapa sekarang saya malah melihat semua itu nggak ada artinya?" tanya Falila, mengernyit seakan dia baru menyadari sebuah hal penting yang harusnya menjadi ujung dari semua kekacauan masa remaja mereka.
Karakter Ervin yang tenang, selalu tidak pernah terusik meski kesenduan menghiasi raut wajahnya. "Karena karma nggak pernah salah sasaran."
"Tuhan nggak pernah menciptakan karma untuk umat-Nya," tegas Falila, menyuarakan pemahamannya saat ini, pasca berhasil memperbaiki diri selama beberapa tahun belakangan.
Ervin tersenyum miris, mengangkat ringan bahunya. "Benar nggaknya sebuah karma itu ada, yang jelas aku mungkin sudah merasakannya. Menghancurkan kamu. Menyakiti Raisa. Merusak perasaanku sendiri dengan keserakahan. Hasilnya adalah aku yang harus tertinggal sendirian tanpa sempat meminta maaf selama bertahun-tahun. Nggak pernah bisa lagi memulai dengan siapa pun."
"Dan sekarang Dokter mau memulai lagi sama saya? Maksudnya gimana?" tanya Falila, tidak bisa menahan pikiran penuh dramanya. "Saya mau dijadikan percobaan setelah gagal bertahun-tahun, begitu?"
"Tolong jangan salah paham, La. Selama bertahun-tahun, aku memang terus berharap bisa ketemu kamu lagi. Apa yang dulu pernah aku mulai dengan buruk, ingin aku perbaiki dengan cara yang benar," ungkap Ervin, terdengar memohon sambil menatap lurus ke mata Falila.
Falila menggeleng pelan, antara merasa lucu dan tidak percaya dengan apa yang Ervin ucapkan. Kalau memang dia telah berhasil belajar banyak hal selama proses perbaikan diri dalam perantauan ataupun selama di bawah pengawasan Amelia, maka Falila pasti tahu apa yang harus dia lakukan pasca mendengarkan pengakuan sekaligus permintaan Ervin barusan.
[19.09.2020]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro