Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 - Mengharapkan Falila

Haditya memang mengakui kalau sedang mengharapkan Falila, tapi tidak ingin terlalu membicarakan secara rinci di depan teman-temannya. Dia senang ketika mendapati Kabiru juga sepemikiran dengannya. Topik terkait Falila terhenti sampai di mana fakta kalau Haditya ditolak oleh wanita itu.

Haditya juga tetap menolak diajak berkenalan dengan teman istri Wira. Dia memang tidak dalam kondisi terdesak untuk mencari pasangan, jadi tidak terlalu ambil pusing kalaupun tetap harus sendiri. Apalagi dia belum jenuh menyebut nama Falila dalam list doanya kepada Tuhan.

Pertemuan mereka cukup lama hingga lewat tengah malam. Rafael yang pulang lebih dulu digantikan Alex dan Nando yang merupakan teman-teman Kabiru. Haditya dan Kabiru menjadi yang terakhir meninggalkan kafe milik Alex. Keduanya berjalan santai menuju parkiran sambil berbincang ringan.

"Jangan diladenin, ya."

"Apa?" tanya Haditya, tidak mengerti dengan larangan Kabiru. Dia ikut berhenti di dekat mobil pria itu. Kabiru tampak membuang napas kasar, lalu tersenyum kecut kepadanya.

"Si Lila," ujar Kabiru, memperjelas apa maksudnya. "Kalau dia mancing-mancing, jangan diladenin. Takutnya dia iseng aja."

Haditya sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya tertawa ringan. "Dicemberutin dia aja, gue suka. Apalagi diisengin." Dia semakin tertawa ketika melihat raut jijik Kabiru ketika mendengar sahutannya tadi.

"Sumpah, lo jadi aneh sejak kenalan sama Lila," gumam Kabiru, menatap Haditya dengan tatapan heran dan tidak menyangka atas perkataan cheesy pria itu yang sungguh langka terdengar dari mulutnya.

"Mungkin karena gue jatuh cinta beneran," ujar Haditya dengan nada ringan yang terdengar tidak serius, meski sebenarnya itu adalah kejujuran yang sedang dia rasakan.

"Jangan deh, Mas," keluh Kabiru, tampak mulai frustrasi. "Lupain aja Lila. Cari yang lebih cocok sama lo."

"Loh, emang gue sama dia nggak cocok?" tanya Haditya, pura-pura merasa tersinggung meski tersenyum geli. "Gue nggak bisa lanjut maju cuma karena terhalang penolakan dia. Sisanya nggak ada masalah, kan? Gue yakin udah memenuhi level yang dia dan orang tua lo mau."

Haditya semakin merasa lucu melihat Kabiru berdecak kesal seperti sedang pusing sendiri. "Lo juga nggak gitu-gitu amat nolak keberadaan gue sebagai pelamar mbak lo," singgung Haditya, mengingatkan Kabiru yang terlihat bersikap lebih lunak padanya dibandingkan kepada para pria lain yang mendekati Falila.

"Sejujurnya, gue lebih mikirin nasib lo, Mas. Lo mungkin akan mikir-mikir lagi kalau tahu gimana aslinya mbak gue," ucap Kabiru, terdengar enggan mengatakannya tapi tetap harus disampaikan.

"Masalah dia hampir bunuh orang?"

Raut kaget Kabiru tidak membuat Haditya terganggu. Dia tersenyum tenang dengan kedua tangan berada di dalam saku celana jeans-nya. Lampu halaman kafe masih terang benderang karena Alex dan pegawainya masih berada di kafe, hingga memudahkan Haditya saling berhadapan dengan Kabiru.

"Kenapa? Beneran gitu, ya?" tanya Haditya lagi dengan nada biasa.

Tatapan Kabiru sudah berubah, tampak memperhitungkan. Topik yang ditanyakan Haditya memancing kewaspadaannya.

"Nggak, gue nggak tahu apa-apa. Falila cuma bilang sekilas ke gue, masalah dia yang pernah hampir bunuh orang. Dia jadikan itu sebagai alasan buat bikin gue mundur. Benar atau enggak ceritanya, gue nggak tahu," ungkap Haditya, menjelaskan kenapa dia bisa mempertanyakan hal tersebut.

"Kalau ternyata benar?"

Pertanyaan tantangan dari Kabiru membuat Haditya melebarkan senyum santainya. "Dulu, kan? Sekarang pasti nggak akan dia ulangin lagi. Lagian, kata hampir mengindikasikan kalau nggak ada yang benar-benar terbunuh dalam arti sebenarnya."

"Yang gue tanya, kalau semua itu benar, lo gimana?" tandas Kabiru dengan nada tajam, tidak ingin bertele-tele dan juga masih menantang.

"Nggak masalah. Gue terima." Haditya langsung memberikan apa yang mau didengar Kabiru, tanpa lagi ingin berbelit-belit. Dia melihat mata Kabiru menajam dan sedang menilai jawabannya. Namun, Haditya tetap santai saja meresponsnya.

"Sebagian besar yang Wira bilang tentang Lila tadi, banyak yang nggak bener," ujar Kabiru, mengingatkan tentang celetukan Wira saat nama Falila sempat masuk dalam perbincangan mereka. Wira menyebutkan kalau wajarlah Haditya menginginkan Falila, karena wanita itu memang memiliki semua karakter yang diinginkan Haditya. Kalem, dewasa, anggun, dan tumbuh-besar dalam lingkungan baik-baik.

Haditya mengangguk, mengiakan pernyataan Kabiru. "Memang. Kesal sih gue tadi dengarnya. Kayak dia kenal banget, padahal apa yang dia bilang nggak sesuai fakta."

Kabiru mengernyit. Maksud hatinya tadi ingin membuat pikiran Haditya semakin terbuka kalau kakaknya tidaklah sebaik yang diungkapkan Wira. Bukannya dia tidak melindungi profil diri Falila, hanya saja Wira memang tidak tahu Falila yang sebenarnya dan akan membuat Haditya semakin salah paham. Namun, mendengar sahutan Haditya yang sepakat dengannya menandakan kalau usahanya telah sia-sia.

Kabiru mengamati Haditya dengan kening yang semakin mengernyit, lalu bertanya, "Emang fisrt impression lo ke dia gimana, sih? Jadi heran beneran gue, kok bisa lo langsung jadi pengin sama dia, padahal baru sekali itu kan kalian ngomong."

Haditya tersenyum lagi, tampak senang mendengar pertanyaan Kabiru. "Falila manis banget."

Kabiru terlihat mengerjap dengan tolol ketika mendengar jawaban cheesy lainnya dari Haditya yang tampak berbinar saat menjawab. Setelah kembali fokus, dia langsung berdecak akibat kesal. "Lo pikir gula, pake manis segala," gerutunya, terdengar jengkel melihat ekspresi senang Haditya saat ini.

"Mungkin orang lain melihat Falila sama kayak yang dibilang Wira tadi. Tapi gue tahu dia nggak sepenuhnya begitu. Benar, kan?" tantang Haditya, memancing komentar Kabiru.

Karena Kabiru tampak enggan menyahut, Haditya kembali melanjutkan, "Pasti ada sebab kenapa lo dan keluarga lo harus bersikap kayak anjing galak buat dia. Kalau buat Falila, gue nggak masalah kalau harus ngelakuin hal yang sama. Gue bisa."

"Lo bakal stres, kalau tahu gimana dia yang sebenarnya" ucap Kabiru, memperingatkan lagi. Nada bicaranya mulai terdengar enggan untuk lebih lanjut membahas terkait Falila.

Haditya terkekeh ringan. "Lo nggak perlu khawatir. Kalau lo percaya gue, pasti lo tahu gue bisa ngatasinnya."

"Mungkin, sih, tapi kan lo udah ditolak."

Celetukan Kabiru sukses membuyarkan kesenangan hati Haditya saat sempat mendapati sinyal restu yang semakin terlihat dari pria itu untuknya.

"Lah, bener, kan?" tanya Kabiru dengan sadisnya, ketika Haditya menatapnya dengan kesal akibat diingatkan atas kegagalannya mempersunting Falila. "Lo mau ngebacot sampai kapan juga, ya tetap nggak ada hasilnya. Dia nggak mau sama lo, Mas."

Mendengar kebenaran perkataan Kabiru, membuat suasana hati Haditya yang tadi berbunga karena memikirkan sosok Falila langsung berubah suram. Apalagi ketika melihat pria itu menyeringai seakan mengejeknya. "Masih usaha. Didoain aja, kenapa, sih?" gerutunya.

"Peraturannya masih berlaku. Kalau sudah ditolak, artinya menjauh. Jangan lagi nekat nyoba-nyoba," ujar Kabiru, mengingatkan Haditya atas perjanjian pada pagi Minggu ketika dia datang ke rumah keluarga Ersa.

Haditya mengangkat bahu dengan gerak ringan, kembali terlihat santai. "Udah gue bilang juga, kan? Jodoh itu di tangan Tuhan. Lo sama bokap lo nggak bakal bisa apa-apa juga, kalau ternyata gue emang berjodoh sama mbak lo."

Kabiru sudah benar-benar enggan untuk meladeni sikap keras kepala Haditya kali ini. Sesungguhnya dia merasa kasihan kepadanya. Falila bahkan sudah memblokir kontak pria itu. Persentase keduanya untuk bersama, semakin kecil.

Namun, Kabiru malas memikirkannya lebih jauh. Terserah Haditya saja. Selama pria itu dan Falila tidak saling merugikan secara langsung, Kabiru tidak mau terlalu ikut mengurusi.

***

Takdir dibuat oleh Tuhan. Sifatnya tidak pernah lucu ataupun kejam, karena tidak mungkin Tuhan menggariskan sesuatu yang asal dan buruk untuk ciptaan-Nya. Pastilah sebuah kebaikan ada di baliknya, apa pun bentuk awalnya. Tergantung ciptaan-Nya saja apakah ingin memahaminya dengan pikiran terbuka dan hati ikhlas atau malah sebaliknya.

Entah apa ini bisa disebut takdir atau kebetulan saja. Falila ingin menganggapnya angin lalu, tapi kenyataannya memang tidak bisa dianggap biasa. Apalagi ketika melihat Haditya tersenyum penuh arti kepadanya seakan pertemuan saat ini adalah hal yang seharusnya terjadi.

Lumayan sering Falila menemani orang tuanya pergi ke acara pernikahan kolega mereka, tapi sekali pun tidak pernah dia bertemu Haditya sebelumnya. Namun, setelah sempat terjadi sesuatu yang canggung di antara mereka, sekarang keduanya malah harus dipertemukan bahkan ditemani orang tua.

Falila melirik ke papanya dan bisa menemukan pria itu menipiskan senyum, menunjukkan kalau Rama tidak begitu menyukai kemunculan Haditya saat ini.

Amelia sedang tidak enak badan, jadi Falila menerima tawaran Rama untuk menemani pria tersebut menghadiri acara pernikahan dari anak seorang kolega bisnisnya.

Sesama pengusaha ibukota, pastilah keluarga Rasyid juga saling mengenal dengan sang pemilik acara dan turut diundang. Sudah pasti juga acara seperti ini dijadikan ajang untuk saling beramah tamah oleh orang-orang yang seprofesi demi kepentingan masing-masing. Begitulah yang biasa dilakukan Rama dan para pengusaha yang lain. Begitu juga yang sedang dilakukan kepala keluarga Rasyid saat ini.

Entah Haditya yang meminta atau memang orang tuanya berinisiatif lebih dulu, mereka berjalan mendekat ke arah Falila dan Rama yang baru saja kembali dari menyalimi pasangan pengantin.

Sapaan basa-basi terjadi selama beberapa waktu. Saling bertanya kabar dan kondisi diri. Sebelum akhirnya kedua orang tua Haditya menatap Falila dengan senyum ramah.

"Sempat tadi berpikir seperti melihat Jeng Amelia waktu muda," ujar mama Haditya, mengelus lengan Falila dengan lembut. "Cantik sekali kamu, Sayang."

"Terima kasih, Bu," balas Falila dengan sopan diikuti senyum kecil.

"Panggil Tante aja, nggak apa-apa," sahut mama Haditya, tersenyum luar biasa hangat kepada Falila. Wanita itu sepertinya berumur tidak jauh dari Amelia. Sama-sama masih sangat menjaga penampilan walaupun sudah memasuki usia separuh baya.

Meski diperlakukan sangat ramah, tapi Falila malah merasa canggung. Hanya saja dia masih mampu menutupinya. Seandainya tidak sedang ditatap tanpa jeda oleh Haditya, mungkin Falila akan biasa saja menerima sapaan atau pujian dari teman orang tuanya. Apalagi mengingat history perkenalan mereka yang membuat Falila semakin kurang nyaman berdekatan dengan pria itu.

"Ini yang bungsu ya, Pak?" tanya Rama sambil menatap Haditya yang membuatnya kesal karena terus menatap sang putri. Dia balas mempertanyakan keberadaan anak keluarga Rasyid yang sepertinya baru-baru saja mulai go public.

"Iya, ini yang paling bontot. Nggak pernah kelihatan karena sibuk sendiri sama dunianya," canda Rasyid, menepuk-nepuk ringan punggung Haditya. "Selesai kuliah, nggak mau bantu di pusat. Ya sudah, saya lempar dia ke Medan buat belajar sendiri di sana dari bawah."

Rama mengangguk paham sembari tersenyum ringan, meski sebenarnya dia sudah pernah mendengar ceritanya langsung dari sang pemilik diri. "Pernah ketemu sebenarnya, waktu dia masih satu flat sama anak saya pas kuliah. Kami sempat nengok ke sana."

"Oh, iya, ya. Pernah juga Hadit bilang mau pergi main sama anaknya Pak Rama, katanya. Baguslah kalau anak-anak kita sudah berteman di usia muda mereka. Semoga nanti bisa lanjut berteman baik dalam urusan yang lain, ya," ujar Rasyid, memaksudnya urusan bisnis dalam perkataannya.

Rama mengerti, ikut tersenyum sepakat atas pemikiran Rasyid barusan. Dia mulai merasa lunak kepada Haditya, karena memikirkan prospek lain atas keberadaan pria muda itu di sekitar anak-anaknya.

"Tapi anak-anaknya Pak Rama stay di sini aja, kan? Nggak doyan pergi jauh dari orang tuanya. Beda sama yang satu ini," kata mama Haditya, sambil mengelus lengan Haditya seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu kepada Falila.

"Anak cowok satu-satunya, tapi malah sukanya merantau dari zaman kuliah. Katanya, mau balik stay di sini kalau udah punya istri. Lah, ini anaknya belum mau pas disuruh menikah, ya jadinya mamanya harus sabar nunggu kalau mau kumpul lagi."

Rasyid terkekeh mendengar sang istri sengaja memojokkan putranya sendiri. "Kan masih muda juga. Biar aja anak-anak mengembangkan karir dulu sampai dia merasa cukup. Gitu kan Pak, ya?" tanya Rasyid, meminta dukungan kepada Rama demi membela sang putra kesayangan.

"Iya, Pak. Saya juga nggak begitu memusingkan urusan jodoh anak-anak. Kapan mereka siap dan mau, silakan kalau mau mulai berumah tangga. Tapi kalau belum dan masih mau berkarir, nggak apa-apa juga. Kita sebagai orang tua, lebih utamanya mendukung dan mendoakan. Tapi itu berlaku untuk anak laki-laki sih, Pak," tambah Rama, menekankan hal lain di ujung kalimatnya. "Kalau yang gadis, ya harus beda perlakuannya," ujarnya, sambil menatap sayang ke arah Falila.

Falila hanya tersenyum kepada papanya ketika mendengar perkataan akhir pria itu. Ada-ada saja di papa, ujarnya dalam hati.

"Iya, memang. Kalau yang gadis harus benar-benar ekstra, apalagi yang spesial seperti yang satu ini," ujar mama Haditya, kembali fokus kepada Falila.

"Coba saja kalau Hadit mau dicarikan jodoh, pasti kami duluan datang ke rumah Pak Rama buat kenalan dengan Falila secara resmi," tambah mama Haditya, secara implisit mengungkapkan keinginan hatinya untuk menjadikan Falila sebagai calon untuk putranya.

"Tapi ya anaknya nggak mau. Katanya mau berjuang sendiri. Ya sudah, diturutin lagi maunya apa," keluh mama Haditya, terdengar pasrah meski sepertinya tetap terdengar bangga kepada anak laki-lakinya.

"Jangan dianggap serius ya, Falila. Tadi tante cuma bercanda aja, biar rame," lanjut mama Haditya dengan nada canda kepada Falila agar tidak menganggap terlalu serius niatnya untuk bertamu tadi.

"Nggak apa-apa, Tante. Kalau ada Mama, pasti makin rame, nih," balas Falila, ikut bercanda demi mengalihkan topik terkait jodoh.

Sejenak, Falila dan mama Haditya melanjutkan mengobrol ringan terkait urusan wanita. Sementara Rama dan Rasyid sedikit membicarakan urusan perkembangan usaha mereka.

Sedangkan Haditya sendiri harus pandai membagi fokus pikirannya, antara mengikuti alur pembicaraan para pria dan memuaskan matanya memandangi wajah cantik Falila yang sama sekali tidak mau menatap ke arahnya. Benar-benar membuat Haditya geram tapi juga gemas.

Haditya mengamati cara Falila meladeni mamanya selama berbicara. Juga sikap sang mama ketika berinteraksi dengan Falila. Mudah sekali terbaca. Mamanya menyukai Falila. Poin tambahan yang sejujurnya sangatlah penting dalam persyaratan Haditya ketika mencari pasangan hidup.

Fakta di depannya, membuat Haditya semakin ingin menggencarkan doa atas pengharapannya terhadap Falila.

Sementara ini, mungkin Haditya hanya bisa berdoa. Karena situasi dan kondisi masih belum memungkinkan untuk dirinya kembali bertindak nyata, kalau tidak mau kesempatannya semakin terpatahkan.

Bagaimanapun jalannya, sesuatu yang tepat untuknya akan datang di waktu yang tepat pula. Haditya percaya akan hal tersebut.

[25.08.2020]

Ada sisa stock novel Ease, Not Like The Movies, My Ganindra, The First One, Stalemate, Kabiru, dan LMGYHAB di toko yang sama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro