10 - Ketololan Falila
Falila berusaha untuk konsentrasi menulis. Tipikal penulis yang kurang disiplin karena lebih sering memilih menuruti kemauan mood, hingga kadang fokus Falila memang mudah teralihkan. Contohnya saat ini. Sekian belas menit, baru dua paragraf pendek yang dia dapat dari bab terbaru naskah novel on going miliknya.
Memang tidak ada deadline, karena hanya karya selingan untuk mengisi hari-harinya saat ini. Namun, tetap saja dia merasa kesal saat tidak bisa produktif pada momen santai seperti ini.
Falila mendesah kesal. Menjauhkan jemarinya dari keyboard laptop, lalu bersandar nyaman di kursi kerja. Pikirannya kembali pada topik yang dibawa Kabiru beberapa waktu lalu saat pria itu merusuh di kamarnya.
Setelah dipikir-pikir, akhirnya Falila memang menyadari ketololannya. Kenapa dia sesinting itu mengusik Haditya? Meski telah saling follow di akun Instagram, tapi sebelumnya Falila memang tidak pernah tertarik dengan apa yang dipajang Haditya, bahkan pria lain yang berteman dengannya.
Kebetulan saja dia melihat postingan terbaru pria itu minggu lalu. Area air terjun yang dilihat dari tanda lokasinya masih ada di area Medan. Hanya satu like dan sebuah komentar berupa pujian singkat terhadap tempat tersebut, malah berbuntut tuduhan menyebalkan dari Kabiru.
Memang benar, setelah Falila melakukan respons yang dianggapnya wajar tersebut, Haditya jadi ikut balas menyukai beberapa pajangan foto Falila. Tidak jarang juga pria itu berkomentar atau bertanya, hanya hal-hal umum. Kalau Falila merasa perlu menjawabnya, dia akan melakukannya. Sekadarnya saja.
Sepertinya hal tersebut memang dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Si tolol Kabiru terlihat lebih cerdas malam ini di mata Falila, tapi dia enggan mengakuinya. Mungkin saja Haditya menjadikan tindakan kecil Falila mengomentari pajangan fotonya, sebagai sinyal kalau pria itu dapat mulai berkomunikasi dengannya.
Falila kembali membuang napas kasar. Sudahlah. Toh dia sudah memblokir akun Haditya. Komunikasi mereka tidak akan berlanjut. Falila juga tidak menyimpan kontak telepon sekaligus WhatsApp pria itu. Tuduhan Kabiru tidak akan terbukti.
Falila menyerah. Pikirannya tidak bisa diajak bekerja sama. Mungkin lebih baik dia mulai melakukan ritual perawatan wajah, lalu membaca novel sebentar sebelum tidur.
Besok Falila punya rencana besar, yaitu balas menyusup ke kamar Kabiru. Sudah lama dia tidak melakukan inspeksi dadakan. Biasanya dia akan menemukan hal menarik atau malah menjijikkan di kamar adiknya itu, lalu dijadikan bahan ejekan dan memulai perang yang lain.
***
Falila sedang menemani Amelia menengok salah satu keluarga dari pihak papanya di Rumah Sakit. Cukup lama mereka berada di ruang inap, karena memang yang mereka kunjungi adalah salah satu tetua dalam keluarga Rama, Nenek Winda. Falila lumayan sering bertemu dengan neneknya tersebut, meski bukan nenek yang menjadi orang tua Rama.
Karena menantu Nenek Winda yang tadinya menunggui beliau harus pulang ke rumah, jadilah Amelia dan Falila bersedia menggantikan menemani sang nenek.
"Dokter yang menangani Nenek masih muda banget loh, La. Ganteng banget, mirip Dude Herlino. Coba deh kita tunggu, bentar lagi jam dia periksa Nenek, nih."
Falila tertawa mendengar neneknya bercerita dengan agak bersemangat, padahal wajah beliau masih tampak pucat setelah beberapa hari lalu mengalami sesak napas hingga terjatuh di kamar mandi.
"Cocok nggak buat Lila, Nek?" tanya Amelia dengan nada canda.
"Jelaslah! Makanya jangan pulang dulu. Tunggu sampai dokternya datang, biar bisa ketemu langsung sama Lila," ujar Nenek Winda, semakin bersemangat.
Falila menggeleng geli, malas meladeni para wanita itu bergosip. Bukan sekali neneknya itu meminta Falila berkenalan dengan seorang pria muda kenalan beliau. Bukan sekali juga Falila menolak halus dan berusaha tidak begitu ambil pusing.
"Nenek udah tanya juga statusnya. Alhamdulillah masih sendiri, katanya."
"Yakin?" tanya Amelia, mulai tertarik.
"Iya, benar, kok. Nenek dan Sinta juga udah tanya sama perawat-perawat yang sering ke sini. Dokternya belum berkeluarga," jawab Nenek Winda, menyebut nama salah satu menantunya yang paling sering menungguinya di Rumah Sakit.
"Nenek lagi sakit kok malah sibuk nyari info tentang dokternya," tegur Falila. Dia yang duduk santai di sofa yang agak jauh dari tempat tidur pasien, langsung gemas berkomentar.
"Habisnya, pas lihat dokternya ganteng dan masih sendiri, langsung keingat kamu, La. Cocok aja gitu kayaknya," ujar Nenek Winda, pantang menyerah.
"Udah, ah. Lila malas loh dijodoh-jodohin lagi. Nanti Nenek juga yang malu, kalau orangnya Lila jutekin lagi, kayak yang dulu-dulu," ancam Falila, mengingatkan sang Nenek atas kegagalannya mencarikan Falila seorang pasangan.
"Ah, nggak asyik anak gadis kamu ini, Mel," adu Nenek kepada Amelia, terdengar mengeluh.
Amelia tertawa kecil. "Lila masih pengin sendiri, Nek. Happy, katanya. Ya udah, saya dan Mas Rama juga ikut happy, meski harus sabar nunggu kalau mau punya menantu baru."
"Yah, Mama, nih!" gerutu Falila. Ujung-ujungnya Amelia tetap menyindirnya meski dengan nada sangat halus dan bercanda.
Amelia kembali tertawa melihat raut cemberut anaknya, diikuti Nenek Winda yang juga merasa lucu melihat cucunya yang tampak kesal.
Tidak lama, terdengar pintu diketuk beberapa kali, sebelum terbuka dan menampilkan beberapa orang yang berpakaian medis.
Falila tahu kalau orang-orang inilah yang ditunggu Nenek dan mungkin juga mamanya. Malas memperhatikan, dia mulai sibuk memainkan ponsel. Namun, baru beberapa detik, gerakan tangannya yang sedang menggulir layar ponsel langsung terhenti ketika mendengar suara bariton seorang pria yang menyapa ramah neneknya.
Kepala Falila terangkat cepat, mencari tahu sosok pria tersebut. Falila terdiam, menatap lekat pria yang mengenakan jas dokter. Dua perawat wanita berdiri di dekatnya, mendampingi pria itu yang sedang bertanya sambil memeriksa kondisi nenek.
Falila juga bisa mendengar Amelia ikut berbincang dengan sang dokter, menanyakan terkait perkembangan kondisi Nenek. Ketika Amelia berbicara itulah, Falila seakan tersadar dan mengalihkan pandangannya dari sang dokter. Dia mencoba tenang, meski fokusnya mulai terganggu.
Falila merasa baik-baik saja. Tidak ada perasaan berlebihan. Tidak lagi. Mungkin dia hanya kaget dan belum siap. Sepertinya memang hanya itu, tidak lebih.
"La? Lila?"
Panggilan berulang dari Amelia membuat Falila terpaksa kembali mendongak. Dia memang sudah mendengar ketika neneknya mulai melakukan promosi atas namanya di depan sang dokter. Panggilan awal Amelia juga terdengar jelas, tapi dia masih berusaha abai meski sia-sia pada akhirnya.
"Ini namanya Dokter Julian. Sini, kenalan dulu, yuk," ajak Nenek dengan nada ceria.
Beberapa saat tadi Falila sengaja menghindari tatapan semua orang yang mengarah kepadanya, kecuali dari Nenek Winda dan Amelia. Tapi ketika perkenalan tersebut disuarakan, mau tidak mau dia harus menatap sang pemilik nama.
Seperti yang dia perkiraan, ketika mata mereka bertemu, Falila bisa melihat kekagetan di mata pria itu walau hanya beberapa saat. Layaknya dia sering berlakon di masa lalu, pria itu terlihat langsung dapat mengendalikan rasa kagetnya. Apalagi ketika Falila mengalihkan tatapan dan bangkit berdiri untuk menuju posisi Amelia di dekat tempat tidur.
"Ini salah satu cucu saya, Dok. Namanya Falila." Nenek terlihat jauh lebih sehat dari waktu sebelumnya. Tampaknya kehadiran dokter tersebut mempengaruhi kesehatannya.
Falila sudah akan menyodorkan tangan, berlakon kalau mereka baru pertama kali bertemu. Namun, pria itu lebih dulu membuat kaget semua orang.
"Udah kenal, Bu. Lila, kan?" tanya sang dokter dengan senyum tipis yang terlihat masih setampan kala dia masih remaja. Salah, jauh lebih tampan. Hanya wanita tolol yang tidak bisa melihat pesona pria itu dalam bentuk visual.
"Loh?" Amelia langsung menatap Falila, penasaran. Bahkan panggilan nama kecil pria itu terhadap putrinya terdengar akrab.
"Dulu kita satu SMA. Saya kakak kelas Lila," ujar pria itu, tersenyum kepada Amelia yang menatapnya penasaran. "Lila nggak lupa sama saya, kan?" tanyanya, dengan nada yang terdengar akrab.
Falila sempat kaget ketika pria itu mau lebih dulu mengakui kalau mereka sudah saling kenal. Pikirnya, dia harus ikut berlakon agar tidak mengganggu privasi pria itu.
Falila tersenyum tipis. Pastilah pria itu bisa melihat kalau senyum tersebut tidak tulus, tapi Falila tidak ambil pusing. Dia menyodorkan tangan, tetap ingin bersalaman tanda perkenalan. "Ingat, kok. Apa kabar, Dokter Julian?" ujarnya, tidak ingin banyak bicara.
"Baik, saya baik," sahut pria tersebut sambil menyambut uluran tangan Falila.
"Wah, bagus kalo udah saling kenal duluan."
Nenek Winda makin heboh sendiri, hingga tidak menyadari kalau Falila sama sekali tidak menunjukkan gelagat antusias. Dia bahkan menolak berlama-lama bersalaman ataupun bertatapan dengan pria itu. Berbanding terbalik dengan sang dokter pria yang malah sempat beberapa saat tidak ingin mengalihkan matanya dari Falila.
***
Falila dan Amelia baru saja melewati belokan koridor Rumah Sakit yang mengarah ke lobi, ketika keberadaan Julian terlihat tidak jauh di depan mereka. Dari gestur dan cara menatap, dapat mudah diartikan kalau pria itu sengaja menunggu mereka.
Amelia langsung mengerti kalau dokter muda tersebut hanya ingin berurusan dengan putrinya. Mereka berbincang singkat, sebelum Amelia berkata akan lebih dulu menuju mobil. Dia melihat kalau Falila juga tampak tidak begitu terganggu dengan ajakan tersirat Julian untuk berbincang sebentar, jadi dia merasa aman-aman saja meninggalkan putrinya bersama pria tersebut.
"Sambil jalan, nggak pa-pa," ajak Julian, setelah agak lama saling terdiam pasca kepergian Amelia.
Falila diam saja tapi menurut untuk melangkah pelan beriringan dengan pria itu. Terasa sekali kecanggungan di antara mereka, terlebih ketika tidak ada Amelia.
"Kamu apa kabar?"
Falila tersenyum samar. "Tadi Dokter Julian udah tanya begitu juga, kan. Saya baik, kalau masih mau mendengar jawabannya."
Terdengar kekehan canggung dari Julian. "Aneh dengar kamu panggil pakai nama itu."
"Harusnya gimana? Memang itu kan nama Dokter?" tanya Falila, terdengar heran.
Julian mendesah pelan. Membiarkan mereka terus melangkah pelan dalam diam selama beberapa waktu. Sesekali dia membalas sapaan perawat dan dokter dengan anggukan ketika berpapasan dengan mereka.
Secara sikap dan karakter, Falila tampak sangat jauh berbeda dari apa yang Julian kenal di masa lalu. Bukan sesuatu yang salah. Hanya saja terasa aneh bagi pria itu.
"Aku kangen panggilan kamu dulu," ujar Julian dengan suara pelan, ketika mereka sudah berada di lobi yang mengartikan kalau keduanya harus berpisah sampai di sini.
Falila menolak menatap Julian. Dia memperhatikan orang-orang yang berkeliaran di sekitar mereka.
Respons Falila yang menunjukkan kalau pertemuan mereka adalah sesuatu yang harusnya tidak terjadi, membuat tatapan Julian meredup sendu. Menyayangkan banyak hal, termasuk ketololan mereka berdua di masa lalu.
"I'm so sorry, La..."
Ucapan pelan yang terdengar penuh penyesalan dan luka, memaksa Falila harus menatap Julian dengan tatapan yang tidak kalah terlukanya. Ucapan tersebut sudah pernah Falila dengar, tapi sepertinya tetap sesakit dulu untuk didengar olehnya.
"I'm so sorry, too. Tapi buat saya, Kak Ervin udah nggak ada. Sama kayak Falila yang mungkin pernah Dokter kenal di masa lalu. Mereka udah nggak ada lagi.
[30.07.2020]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro