07 - Kekesalan Falila
Falila tidak mau repot mengajak Haditya ke tempat khusus untuk berbicara. Cukup teras depan saja, dia pikir sudah layak untuk memberi kesempatan kepada pria itu.
Ketika tidak ada seorang pun keluarga yang berada di dekatnya, Falila kembali bersikap defensif seperti tadi malam. Meski sudah sering menerima ajakan pendekatan dari banyak pria, baik yang datang langsung kepadanya atau melalui orang tua, tapi Falila tidak pernah benar-benar frontal menolak mereka dengan gaya angkuh seperti yang dilakukannya kepada Haditya beberapa waktu lalu.
Hal yang paling dihindarinya adalah berhadapan langsung dengan para pria itu. Dia selalu memanfaatkan keberadaan Nida, sepupunya, yang ikhlas menjadi tameng untuk menghadapi mereka. Atau sekalian Rama atau Jared, kakak sulungnya, yang akan dengan senang hati turun tangan. Karena sekarang Kabiru sudah kembali, maka sudah pasti adiknya itu yang akan lebih siaga.
Jadi, ketika sekarang hanya berdua Haditya dengan mata pria itu yang terus memperhatikannya, Falila tidak mau membalas tatapan pria itu. Dia berdiri bersedekap di samping Haditya, sengaja menghadap ke halaman agar tidak harus bertatapan dengan pria itu.
Haditya tidak pandai membaca pikiran wanita sejenis Falila, apalagi mengartikan gestur tubuhnya. Dia belum berpengalaman. Efek dari memiliki kakak-kakak wanita yang mandiri dan tidak pernah membutuhkan perhatiannya, membuat Haditya tidak pernah mempelajari karakter wanita lain di sekitarnya-selain alasan bahwa dia memang tidak pernah tertarik melakukannya.
Falila adalah kasus pertamanya. Harusnya Haditya diberi banyak waktu untuk mempelajari. Sayang sekali, Falila malah tidak memberinya kesempatan.
Akibat tidak paham itulah, Haditya tidak ambil pusing ketika saat ini Falila kembali membentengi diri dan enggan menatapnya. Dia tetap cuek dengan terus menikmati visual wanita itu yang memang sangat berhasil mempesona dirinya.
Apakah Haditya hanya tertarik secara fisik? Mungkin, lagi-lagi dia tidak ambil pusing. Dia menginginkan Falila, itu saja. Tidak perlu banyak penjelasan atas perasaannya saat ini terhadap wanita itu.
Kalaupun memang benar hanya perkara fisik, harusnya para wanita terdahulu yang jauh lebih menawan dibanding Falila, dapat menjerat dirinya sejak jauh hari. Namun, kenyataannya mereka tidak mampu.
Falila bahkan terlihat manja dan memiliki bibit menyebalkan karena berani bersikap judes kepadanya di depan para orang tua. Namun, keinginan Haditya atas wanita itu tetap terasa kuat, bahkan setelah harga dirinya dihempas saat terjadi penolakan beberapa waktu lalu.
Rambut hitam sepunggung milik Falila tergerai lurus, tampak indah. Haditya ingin menyentuh dan mengelusnya. Kulit wanita itu berwarna kuning langsat, terlihat segar terutama di bagian pipinya yang tanpa polesan make up. Haditya ingin mengecupnya.
Tubuh Falila semampai dengan pinggang yang ramping, tapi berlekuk khas wanita dewasa. Haditya ingin merengkuhnya dalam pelukan. Aroma tubuh Falila sangat harum, entah berasal dari lotion atau parfum. Haditya ingin mengendus langsung di kulit pemiliknya. Membawa wanita itu pulang. Mengurung di kamar pribadinya.
Sial! Haditya mengerjap cepat beberapa kali. Dia telah melakukan pelecehan secara visual. Kalau Kabiru dapat membaca pikirannya saat ini, habislah Haditya. Juniornya itu pasti akan berusaha membunuh Haditya, karena telah berani membayangkan hal kurang ajar terhadap kakak perempuannya.
"Waktu Mas nggak banyak, kan? Ngomong aja langsung," tegur Falila, memecah kesunyian di antara mereka akibat Haditya yang terlalu asyik menikmati ciptaan Tuhan di depannya. Falila masih enggan menoleh kepada pria itu, meski tahu kalau Haditya masih terus memperhatikannya.
Haditya berdeham pelan, berusaha membuang segala pikiran lancangnya tadi atas Falila. "Susah ngomongnya kalau Falila nggak mau lihat saya."
Falila mendengkus samar, mengabaikan pancingan Haditya. Dia mengganti posisi tangannya yang sedari tadi bersedekap. Menunjukkan gestur tidak sabar agar pembicaraan mereka segera berakhir, tanpa tahu kalau Haditya tidak mengerti kode darinya.
"Lihat saya dulu, baru saya ngomong," pinta Haditya, berucap tenang.
Ya Tuhan! Falila bertambah kesal. Spontan dia menoleh dengan tatapan jengkel. "Mas kok suka maksa, sih?!"
"Kapan saya maksa?" tanya Haditya, menaikkan alisnya heran.
"Barusan! Sebelumnya juga!" desis Falila, menahan diri agar tidak bersuara nyaring sekiranya orang-orang di dalam tidak heboh. "Mas aku tolak, bagian mananya sih yang Mas nggak ngerti?!"
"Saya ngerti," angguk Haditya, terlihat paham yang menyebalkan di mata Falila. Terlalu tenang dan santai. Mencurigakan.
"Makanya saya minta waktu bicara berdua untuk terakhir kalinya. Habis ditolak ini, saya nggak akan ganggu Falila lagi, selama persyaratan masih berlaku."
Falila hampir senang mendengar penuturan Haditya yang akan berhenti berusaha. Namun, setelah beberapa waktu mencerna sambil tanpa sadar membalas tatapan tenang pria itu, otak dramanya langsung bekerja cepat. "Apa maksudnya, selama persyaratan masih berlaku?" tuduhnya, terang-terangan curiga dengan kata-kata terakhir Haditya.
Haditya tersenyum tipis, senang karena Falila sudah sepenuhnya menghadap dirinya. "Orang tua Falila sudah menyerahkan keputusan sama Falila. Jadi Falila yang pegang persyaratannya. Sekarang Falila memang menolak, saya terima. Tapi kalau nanti Falila berubah pikiran, saya juga pasti terima dengan senang hati."
Falila mengernyit. Dia paham maksud penjabaran Haditya dan langsung bertambah kesal karenanya. Apalagi pria itu terus saja menyebut namanya seakan sedang berbicara dengan anak kecil. Terdengar tidak nyaman untuknya.
"Mas pikir saya bakal berubah pikiran?" tanya Falila dengan nada sinis tapi juga heran atas pikiran tersebut.
Haditya mengangkat bahu dengan gerak ringan. "Siapa tahu nanti kita berjodoh. Yang jelas, mulai sekarang saya akan berdoa agar Tuhan berkenan mendekatkan saya dengan Falila. Kalau menurut Tuhan, kita memang baik untuk satu sama lain, pasti doa saya akan dipertimbangkan."
Falila tidak senang mendengarnya, apalagi tersipu atau kagum. Tatapannya mulai menyorot datar. "Sesuatu yang didesak dan dipaksakan, biasanya hasilnya akan buruk. Saya sudah pernah mengalaminya sendiri, Mas."
Haditya mencoba mencerna perkataan dingin Falila, tapi dia merasa tidak masalah setelah dapat memahaminya. "Saya tidak mendesak. Hanya menawarkan dan berharap. Itu pun diawali dengan usaha yang menurut saya masih wajar. Setelah ini saya akan pergi menjauhi Falila. Tidak akan memaksa. Tapi, masa berdoa saja dilarang?" tanya Haditya dengan sedikit nada jenaka di ujung kalimatnya.
"Apa yang dilihat dari saya? Apa yang Mas mau dari saya?" Tanpa Falila sadari, dia sendiri yang malah semakin memancing Haditya untuk memperpanjang pembicaraan mereka.
Haditya tertawa kecil. "Falila nggak sedang menanyakan bibit, bebet, dan bobot, kan? Karena Falila punya yang terbaik dari semuanya," sahutnya, masih dengan nada canda. "Seperti yang Papa Falila bilang, cuma pria tolol yang nggak tertarik dengan Falila."
"Saya pernah hampir bunuh orang, cuma karena saya nggak bisa dapat apa yang saya mau. Dan saya lakukan itu dalam kondisi sadar," ucap Falila lagi, semakin dingin. Mengabaikan candaan Haditya, sekaligus menghentikan senyum di bibir pria itu dan dia puas saat melihatnya.
Sejenak Haditya diam selama membalas tatapan lurus Falila. Meski berusaha tampil dingin, tapi di mata Haditya, Falila masih terlihat seperti wanita yang harus dia dekap untuk dilimpahi segala hal. Wanita itu terlihat tidak setangguh kakak-kakaknya.
"Maka saya bersedia jadi orang yang akan bantu Falila, agar nggak pernah berpikir untuk melakukan hal begitu lagi. Itu salah satu tugas seorang suami. Posisi yang saya tawarkan untuk Falila ambil."
Ucapan lugas Haditya membuat Falila bernapas dengan cepat, agak terengah. Kesal luar biasa! Menyebalkan! Sudah susah payah sengaja merusak citra dirinya, tapi pria itu masih saja bersikap santai dan seakan menganggap ucapan Falila tadi hanyalah hal tidak penting.
"Terserah, Mas. Yang jelas, Mas saya tolak!" ulang Falila, membuang muka. Dia kehabisan amunisi. Melawan Haditya tanpa rencana berefek sangat melelahkan.
Haditya yang sebenarnya tadi lumayan kaget dengan pengakuan Falila, sudah tertawa kecil lagi ketika melihat wanita itu kembali menunjukkan sikap merajuk manja yang terlihat menggemaskan.
"Iya, nggak pa-pa ditolak, saya akan coba ikhlas. Tapi jangan marah sama saya, ya. Nanti jadinya Falila malah kepikiran saya terus. Saya harus pergi siang ini. Nggak bisa datang cepat kalau Falila mau ketemu."
"Ih, apaan?!" sergah Falila, refleks melirik dengan tatapan jijik kepada Haditya.
Haditya semakin tertawa senang. Tidak mampu menahannya. "Saya sudah kirimkan nomor kontak saya di DM IG. Save, ya. Kali aja suatu saat kita harus saling menghubungi."
Falila tidak menanggapi. "Udah, kan, ya?" tanyanya, berusaha bersikap lebih santai agar terkesan ramah. Teringat pesan mamanya, harus berpisah dengan cara baik-baik.
Haditya mengangguk, tanpa mau melepas tatapan serta senyumnya untuk Falila.
"Ya, udah. Saya minta maaf udah nolak Mas," ujar Falila, sengaja meminta maaf di ujung pertemuan. "Semoga Mas Haditya bisa segera dapat jodoh yang jauh lebih baik dari saya."
Kali ini Haditya tidak mengangguk, meski tetap tersenyum. Dia mundur beberapa langkah, memberi kode kalau Falila boleh berjalan lebih dulu untuk kembali memasuki rumah.
"Sampai ketemu lagi ya, Falila," ucap Haditya, ketika Falila baru melangkah.
Falila terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan langkah tanpa mau menyahut atau menoleh. Meninggalkan Haditya yang tetap tidak melunturkan senyum kecil di bibirnya, sambil terus memperhatikan Falila yang semakin menjauhinya.
[10.07.2020]
Mumpung part masih lengkap 👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro