06 - Penolakan Falila
"Selamat pagi, Mas Haditya."
Karena keluarganya terus saja diam, terpaksa Falila bersopan santun dengan membalas sapaan Haditya, meski dalam hati menggerutu habis-habisan. Apalagi memang dia yang mendapat sapaan, jadi harus dirinya yang meladeni pria itu.
"Ini ada apa ya, kok tiba-tiba pada ngumpul?" tanya Falila, pura-pura tidak mengerti. Dia menatap Kabiru untuk melempar kode sekaligus meminta bantuan, sebelum menoleh kepada papanya untuk mencari bantuan tambahan.
"Lo nggak tahu atau emang pura-pura nggak ngerti?!" Kabiru balas bertanya dengan kening mengernyit, tampak terganggu dengan sikap sok polos Falila.
"Bi!" tegur Amelia, langsung memelototi putra bungsunya.
Kabiru berusaha menghindari tatapan mamanya, tapi tetap tidak ingin menahan diri. "Mas Hadit bilang, dia udah ngomong duluan sama lo tadi malam."
"Tapi langsung gue tolak!" sanggah Falila, refleks menyahut akibat terpancing kesal dengan nada tuduhan Kabiru yang seakan sedang menyudutkan dirinya. Akhirnya dia malah terpaksa menanggalkan ketidaktahuannya atas maksud kedatangan Haditya pagi ini.
Kabiru kaget, langsung menatap Haditya diikuti orang tuanya. "Mas tadi bilang, Lila yang nyuruh ke sini dulu!" tuduhnya.
Haditya tampak tenang-tenang saja. Dia menatap Falila saksama. "Falila nggak bilang menolak tadi malam. Waktu saya tanya apa harus ke orang tua Falila dulu buat izin, Falila diam aja. Artinya boleh datang, kan?" tanyanya kepada wanita itu.
"Waktu disapa di Instagram juga, Falila bilang nggak tertarik punya pacar. Artinya kalau calon suami, mau, kan?" tawar Haditya, merasa terhibur melihat raut kaget dan terperangah Falila saat membalas tatapannya.
Sekarang berganti, Falilalah yang ditatap keluarganya. Kabiru dan Rama kesal karena Falila tidak tegas menolak Haditya dari awal. Sedangkan Amelia tampak tertarik dengan cara Falila meladeni pria itu.
"Jadi kamu udah ngerti maksud Haditya datang ke sini?" tanya Rama, ingin memastikan apakah putrinya memang sudah mengerti dengan situasi saat ini. Dia yakin tadi Amelia belum menyampaikan sebab hingga Falila dipanggil ke ruang tamu.
Falila mengangguk kecil dengan gerak enggan. Tidak berani menatap mata papanya.
"Dia mau ngelamar kamu loh," tambah Rama, terdengar seakan menakut-nakuti putrinya.
Falila yang sudah berhasil mengendalikan kekagetan akibat ucapan frontal Haditya tadi, menyipitkan matanya kepada pria itu. Yakin akan mendapat dukungan dari keluarganya, dia tidak lagi merasa perlu mempertahankan sopan santun. Pria itu telanjur membuatnya kesal.
"Mas nggak pernah ditolak cewek, ya? Sampai nggak ngerti kalau semua tindakan dan ucapan saya tadi malam adalah penolakan?" tanya Falila, cukup sinis terdengar oleh semua orang. "Seenaknya mengartikan sendiri dan datang ke sini. Bikin salah paham aja."
Haditya tersenyum tenang. "Nggak pernah. Karena memang baru Falila aja yang mau saya dekati. Sebelumnya belum pernah ada."
Falila semakin kesal mendengar jawaban Haditya. Berbanding terbalik dengan Amelia yang refleks memeluk pinggang putrinya seakan menyukai jawaban pria itu.
Sepertinya memang Falila yang tolol karena tidak tegas dari tadi malam. Tidak terpikir olehnya kalau Haditya adalah sosok yang lebih tolol dari Kabiru dalam urusan keras kepala dan tidak tahu diri.
Mungkin memang harus ditegaskan secara terang-terangan. Falila malas terlalu lama mengurusi hal seperti ini. Dia mendesah kasar, mencoba menenangkan diri, sebelum berucap, "Saya sedang nggak ingin pacaran. Nggak juga ingin menikah dalam waktu dekat. Jadi, mohon maaf, Mas Haditya saya tolak."
Rama menarik napas lega, menyembunyikan rasa bahagia. Amelia tampak kecewa. Sedangkan Kabiru sedikit menundukkan wajah demi menyembunyikan raut kasihannya kepada Haditya sang teman baik.
Namun, Haditya tampak tidak kaget atau protes setelah mendengar penolakan Falila. "Kalau berteman dulu, boleh?" tawarnya, masih mencari kesempatan.
Falila menggeleng tegas. "Jangan. Nanti Mas baper. Saya nggak pandai berteman dengan laki-laki. Lagian Biru dan Papa saya pasti bakal gangguin siapa pun cowok yang mau jadi teman saya. Mas nggak akan tahan."
Keduanya saling berbicara seakan-akan hanya ada mereka di ruang tamu tersebut. Mengabaikan berbagai raut yang tertampil dari pihak keluarga yang terus memperhatikan cara mereka berinteraksi.
Haditya menarik napas panjang. Matanya masih terus menatap Falila yang sekarang terlihat lebih santai menghadapinya, dibanding tadi malam ketika ajakan pendekatan keluar dari mulut Haditya untuk pertama kali. Mungkin karena wanita itu merasa aman dikelilingi keluarganya.
"Papa Falila bilang, saya nggak boleh dekat-dekat Falila lagi kalau hari ini ditolak. Bisa jadi, ini pertama dan terakhir kalinya saya bisa datang ke sini dengan niat untuk bisa dekat dengan Falila," ujar Haditya, membeberkan syarat dari Rama.
"Karena saya sudah ditolak," lanjut Haditya dengan nada agak lambat, membuat Kabiru kembali memalingkan wajah agar tidak melihat wajah temannya itu, "Boleh nggak saya dikasih kesempatan bicara berdua dengan Falila? Sebentar aja, nggak lama," pintanya kepada Falila, terkhusus Rama.
"Kenapa nggak sekalian di sini aja?" Rama langsung menunjukkan penolakan, bahkan sebelum Falila merespons.
"Maaf, Om. Jujur saja, saya tegang ada Om dan Tante," jawab Haditya, meski bertolak belakang dengan raut tenangnya. "Lagipula, ada beberapa hal yang saya pikir hanya Falila yang berhak mendengarnya."
Rama mendelik. Tidak senang dengan jawaban Haditya yang terdengar semakin berani. Falila sendiri hampir tidak bisa berkomentar mendengar kelancangan Haditya dalam berusaha.
"Boleh, silakan!"
"Ma!" tegur Rama, mendengar sang istri memperbolehkan Haditya. Amelia mengedip kepadanya, meminta jangan ikut campur.
"Terakhir kali loh, kan udah ditolak juga," sanggah Amelia. "Sebentar aja, Sayang. Nanti Haditya pergi kerja, kalian juga nggak akan ketemu lagi," lanjutnya, membujuk Falila yang menatapnya protes seperti Rama.
"Kenalannya baik-baik. Pisahnya harus baik-baik juga. Tadi kamu kejam banget nolaknya. Kasian dia," bisik Amelia di dekat telinga Falila. Entah apakah yang lain bisa mendengar atau tidak.
Falila cemberut, tapi memikirkan bujukan Amelia. Akhirnya dia bangkit dari duduknya, lalu menatap Haditya agar pria itu mengikutinya.
Haditya bergerak cepat mengikuti Falila menuju pintu, setelah sebelumnya mengangguk penuh terima kasih kepada Amelia, lalu pamit kepada Rama.
"Bi!" titah Rama, meminta anaknya ikut serta.
"Duduk!" cegah Amelia cepat.
Kabiru yang sudah berdiri, langsung membeku ketika mendengar perintah mamanya. "Tapi, Ma..."
"Duduk, Mama bilang," ulang Amelia dengan nada santai saja, tapi mampu membuat Kabiru langsung patuh sambil melirik serba salah ke arah papanya.
"Mama, nih! Kalau Lila diapa-apain, gimana?" protes Rama, memancing lirikan malas dari istrinya.
"Teman kamu itu baik nggak sih, Bi?" Amelia malah melontarkan pertanyaan kepada Kabiru.
"Nggak tahu," gumam Kabiru, enggan memperjelas jawabannya.
"Nah, dengar sendiri, kan?" tanya Amelia, menatap Rama. "Anak Papa ini mulutnya nggak suka basa-basi, kecuali kalau dia lagi gengsi. Kalau dia nggak suka, dia bilang nggak suka. Kalau jahat, dia bilang jahat. Tentang Haditya, dia bilang nggak tahu padahal udah temanan lama, artinya dia suka sama Haditya dan dianggap baik, tapi dia gengsi bilangnya."
Rama dan Kabiru bungkam. Masing-masing menahan kesal. Segan melawan ketika sudah melihat tatapan Amelia yang menyorot tidak suka.
"Dia nggak akan duduk santai begini meski Mama larang, kalau dia nggak percaya sama Haditya," lanjut Amelia, mencoba membuka pikiran suaminya yang kelewat khawatir.
"Lagian ya, kalian ini," tegur Amelia, melanjutkan ceramahnya. "Ada yang datang dengan cara dan niat baik, malah dijudesin. Udah, biar Lila aja yang putuskan, nggak usah ikut campur lagi. Kalau Lila nggak mau, biarin. Kalau nanti dia berubah pikiran, nggak ada yang boleh protes."
"Mama nggak sayang Lila, ya?" tanya Rama, terdengar berat hati membenarkan perkataan Amelia.
"Sayang banget! Makanya pas ada yang datang dengan profil bagus kayak Haditya, Mama mau kasih kesempatan," jawab Amelia, gemas mendengar pertanyaan konyol suaminya. "Biasanya kan yang datang ke Papa, kalau enggak pamer harta, ya pamer wajah sama silsilah keluarga. Itu juga pasti ditemanin sama backing-an. Nggak ada yang kayak Haditya gini, berani mati nemuin Papa dan Biru sekaligus. Kalaupun ada Red, dia kayaknya tetap berani duduk sendirian menghadapi kalian yang suka berlebihan."
Kabiru berdecih dalam hati. Padahal tadi Haditya diizinkan bertamu, pasti karena mereka lebih dulu mendengar siapa nama orang tua pria itu.
Namun, Kabiru tahu kalau sekarang lebih baik menutup mulutnya saja dibanding berkomentar lagi. Dia menyerahkan urusan meladeni Amelia kepada Rama, lalu berpura-pura asyik memainkan ponsel yang sempat dia bawa dari kamar. Entah apa lagi yang dibahas mamanya dengan sang papa, Kabiru enggan mendengarkan. Lebih baik bermain game di ponselnya, sembari menunggu kembalinya Haditya dan Falila.
[08.07.2020]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro