04 - Menginginkan Falila
Beberapa Waktu Sebelumnya
Mendekati pukul sembilan pagi, Haditya sudah berada di depan rumah keluarga Ersa. Dia masih berada di dalam mobil, menunggu perizinan untuk memasuki pintu gerbang.
Berbekal nama Kabiru dan juga nama belakang yang juga dimiliki papanya, Haditya yakin akan diizinkan bertamu walau sepagi ini.
Helaan napas panjang berkali-kali Haditya lakukan selama menunggu. Dia yakin dengan apa yang akan dia lakukan, hanya saja tetap merasa sedikit gugup karena belum pernah melakukannya.
Haditya memang nekat dan tidak tahu malu. Hanya saja dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Nanti siang dia sudah harus kembali ke Medan. Mungkin tidak sulit baginya untuk kembali lagi ke Jakarta dalam waktu dekat kalau memang ada urusan penting. Namun, tidak ada jaminan selama kepergiannya nanti, apakah situasi masih sekondusif ini untuknya.
Daripada kecolongan, lebih baik Haditya menebalkan muka dengan bergerak cepat. Tidak peduli nanti Falila marah atau Kabiru akan menghajarnya—mengingat seposesif apa pria itu terhadap kakak perempuannya, Haditya hanya ingin melakukannya melalui jalur yang seharusnya. Hingga kalaupun nanti dia gagal, paling tidak dia tidak menyesal karena sudah berusaha secara terbuka dan benar.
Ketika akhirnya Haditya diizinkan masuk, dia menjalankan mobil perlahan sambil mengamati pekarangan rumah keluarga Ersa. Dia belum pernah datang bertamu sebelumnya, tapi sudah pernah bertemu Rama Ersa dan istrinya sekali ketika mereka mengunjungi Kabiru saat masih kuliah.
Haditya keluar dari mobil sambil tersenyum sopan. Rama dan istrinya yang tadi tampak asyik berbincang sambil menyirami halaman rumput mereka, langsung memperhatikannya meski dalam jarak yang lumayan jauh.
Haditya berjalan mendekati kedua orang tersebut. Rama yang sepertinya sudah mengenali sosok Haditya, langsung menyerahkan selang air kepada petugas kebun yang tadi hanya diam memperhatikan tuan rumahnya sok mengambil alih pekerjaannya demi pamer di depan sang istri.
Amelia juga mengikuti Rama untuk menyambut kedatangan pria muda itu sambil mencocokkan ingatannya. Ketika tadi satpam rumah melaporkan kalau sang tamu bernama Rasyid dan mengenal Kabiru, Amelia langsung mencoba mengingat pertemuan singkat mereka dulu ketika menengok Kabiru di perantauan.
"Mau ketemu Biru, ya?" tanya Amelia, setelah Haditya mencium punggung tangan kanannya dan juga Rama.
"Nggak, Tante. Mau ketemu Om sama Tante, kok," ujar Haditya, masih tersenyum sopan memandangi orang tua dari Falila.
Rama dan Amelia sempat bertatapan dengan heran, meski tetap dengan senang hati mempersilakan pria itu memasuki rumah. Mereka juga sempat berbagi kabar walau baru pertama kali saling berbincang sedekat ini.
"Om sudah agak lama tidak bertemu Papa kamu. Papa kamu juga tidak ada bilang apa-apa terkait kedatangan kamu pagi ini. Jadi, sepertinya ini bukan urusan pekerjaan, kan?" tebak Rama, setelah mencoba menganalisis kemunculan Haditya yang sangat tiba-tiba. Seingatnya, bukan pria muda ini yang membantu Rasyid menangani bisnisnya di pusat.
"Iya, Om. Urusan pribadi."
Haditya sudah duduk berhadapan dengan Rama di ruang tamu. Meski posisi mereka lumayan berjarak, dia tetap bisa melihat kernyitan kening Rama ketika mendengar jawabannya.
"Kalau begitu, nggak pa-pa kan kalau Om hanya mengenakan pakaian begini?" canda Rama, berbasa-basi sambil memperlihatkan pakaian olahraga yang dikenakannya. Tadinya dia memang baru kembali dari jalan-jalan pagi bersama Amelia, sebelum unjuk kebolehan menyiram halaman rumput di depan sang istri.
"Nggak apa-apa, Om," sahut Haditya. Dia juga hanya mengenakan celana jeans hitam dengan atasan kemeja polos berlengan pendek berwarna navy. Tidak banyak gaya dan terkesan santai, tapi tetap terlihat rapi serta sopan.
"Yakin nggak mau dipanggilkan Biru dulu?" Amelia kembali memastikan, karena memang Kabirulah yang lebih mengenal Haditya.
Haditya tampak berpikir sejenak, sebelum mengangguk dengan sopan. "Boleh, Tante. Mungkin lebih baik lagi kalau Biru juga ikut hadir, biar bisa mendengar langsung apa yang mau saya sampaikan."
"Oke," ujar Amelia dengan nada lambat yang terdengar sangat penasaran dan menduga-duga. "Kalau gitu, biar Tante panggilkan dulu. Soalnya hari libur begini, dia bakal susah banget bangun pagi kalau enggak suara Tante yang bangunin."
Selepas kepergian Amelia, Haditya dan Rama menghabiskan waktu untuk berbincang terkait pekerjaan dan seputar bidang usaha yang mereka geluti, terutama pekerjaan Haditya.
Rasa-rasanya Rama memang tidak pernah bertemu Haditya dalam jamuan-jamuan sesama pengusaha. Biasanya dia hanya bertemu dengan ayah atau kakak perempuan Haditya yang mengurus bisnis mereka di sini. Jadi, Rama memang sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan teman anaknya itu selama ini.
Rama juga sengaja menahan diri mencari tahu duluan apa yang ingin disampaikan Haditya. Sejak awal pria muda itu sudah menegaskan kalau akan berbicara dengannya dan Amelia, serta Kabiru yang juga ikut diperhitungkan. Maka Rama berusaha menghargainya. Dia memilih bersabar sampai Kabiru dan istrinya bergabung di ruang tamu.
Tebakan Rama, pastilah tidak akan lama. Kabiru dan segala sikap malasnya saat hari libur, dapat dipastikan hanya akan mencuci muka dan bersikat gigi saja ketika tahu temannyalah yang berkunjung. Apalagi dengan jemputan Amelia, maka sudah pasti bocah besar itu tidak akan berani berlama-lama.
"Mas?! Pagi amat ke sininya?" sapa Kabiru dengan nada heran saat sudah bertatapan dengan Haditya. Wajah mengantuknya masih sangat terlihat. Hanya sedikit rambutnya yang terkena air, menandakan pria itu baru saja mencuci muka pasca bangun tidur.
Haditya yang juga mengenal baik kebiasaan Kabiru, menyengir saat melihat tatapan terganggu Kabiru atas kehadirannya di hari libur begini. "Maaf, Bi, ada yang mendesak. Siang nanti udah harus balik ke Medan."
Kabiru sudah tahu Haditya akan pergi nanti siang. "Lah, terus? Ini rencananya mau ngapain?" tanya Kabiru frontal, semakin heran dengan kedatangan Haditya yang tiba-tiba.
Haditya tersenyum kecil, menunggu Amelia duduk di samping Rama. Ketika para pemilik rumah sudah fokus menatapnya, baru dia menyampaikan tujuannya bertamu.
"Sebelumnya saya mau minta maaf dulu sama Om dan Tante, karena udah bertamu tiba-tiba begini." Haditya menatap sejenak kepada Kabiru, sebelum kembali menatap orang tua pria itu.
"Tujuan saya ke sini, karena saya mau minta izin secara langsung untuk bisa mendekati Falila. Kalaupun memungkinkan, sebenarnya saya ingin langsung melamar Falila untuk dijadikan istri."
Tidak ada yang langsung menanggapi. Rama sudah sering mendengar kalimat dengan redaksi yang mirip dari para penggemar putrinya, jadi dia tidak begitu ekspresif lagi meski tetap merasa kaget. Tatapan yang tadinya santai dan ramah, perlahan berubah tegas bahkan menajam ke arah Haditya.
Amelia yang ikut terdiam karena kaget, mengerjap beberapa kali dengan tatapan semakin penasaran kepada Haditya. Apakah dia dan Rama kecolongan dalam mengawasi putrinya, sampai tidak tahu kalau ada seorang pria yang mendekat dan sekarang tiba-tiba ingin mempersunting tanpa pemberitahuan sebelumnya?
"Maaf, apa tadi, Mas?" Kabiru lebih dulu menanggapi secara verbal. Raut bingung seakan telah keliru mendengar, terpampang di wajahnya yang kini tampak tidak lagi mengantuk pasca Haditya menyampaikan tujuannya.
Haditya masih tersenyum tenang. Dia membalas tatapan Kabiru agak lama. Tidak menjawab untuk pria itu saja, tapi untuk orang tuanya. "Saya ingin sekali bisa mempersunting Falila. Saya berharap Om dan Tante dapat mengizinkan saya lebih dulu mendekati Falila, sebagai permulaan hubungan."
"Mas?!" tanya Kabiru dengan tatapan horor, tampak sudah sepenuhnya mengerti dengan semua yang diucapkan Haditya. Orang yang ditanya masih saja tersenyum tenang, tidak terganggu dengan wajah-wajah kaget plus keberatan di sekitarnya.
"Biru?!"
Suara tegas Rama membuat Kabiru sadar dari kekagetannya dan langsung menatap papanya dengan raut semakin horor. "Nggak tahu, Pa. Biru nggak tahu apa-apa. Nggak ngerti!" sanggahnya. Jelas sekali Rama tampak mencurigainya sedang bersekongkol dengan Haditya untuk kunjungan pagi ini.
"Tadi malam kalian ketemunya sama Haditya juga, kan?" tanya Rama, masih menatap curiga. Dia dan anaknya tampak tidak peduli sama sekali bahwa belum menanggapi perkataan Haditya.
"Iya, tapi nggak ada bahas beginian. Lila juga nggak ada..." dengan cepat Kabiru kembali menoleh kepada Haditya. "Lo ngebegoin gue ya, Mas?! Sejak kapan lo kontak-kontakan sama kakak gue?!" desis Kabiru, menahan diri agar tidak bangkit untuk menyudutkan atau memelototi Haditya, karena Amelia sedang mengawasinya.
"Maaf, Bi. Baru tadi malam kok bicara pertama kali sama Falila," jawab Haditya, masih dengan gaya tenang.
"Terus mau langsung ngelamar?" celetuk Amelia, akhirnya buka suara.
"Iya, Tante," tegas Haditya, menatap Amelia dengan senyum sopan.
"Astagfirullah, kamu serius?" lirih Amelia sambil meletakkan telapak tangan kanannya di dada kiri bagian jantung. "Tapi, kenapa? Maksud Tante, kamu baru kenal Falila tadi malam, terus paginya langsung mau ngelamar?!" ulangnya, terdengar bingung tapi juga terpesona dengan kenekatan Haditya.
Haditya mengangguk tegas, masih terus tersenyum tenang, meski dalam hati waswas akibat menyadari tatapan tajam dari dua pria lain di ruangan itu.
Kalau Kabiru mengamuk, Haditya masih bisa mengatasi. Masalahnya ada pada Rama. Sekuat apa pun Haditya secara fisik ataupun mungkin latar belakang keluarganya, tidak mungkin juga dia kurang ajar dengan mengusik ego ayah dari wanita yang ingin dia nikahi.
"Sebenarnya saya ingin mendekati Falila dulu, cuma sepertinya Falila ingin saya langsung menemui Om dan Tante. Kami sempat berbincang singkat tadi malam setelah selesai menonton bioskop, sewaktu Kabiru sedang ke kamar kecil. Saya juga sudah mencoba menghubungi Falila melalui pesan singkat. Hanya sebatas itu, belum ada interaksi lebih lanjut," ujar Haditya, sedikit merevisi tanggapan Falila tadi malam atas niatannya. Biarlah. Urusan dengan wanita itu belakangan saja. Yang penting orang tuanya dulu.
"Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, saya ingin bersama Falila bukan dalam status yang tidak jelas seperti berpacaran atau semacamnya. Saya juga sudah cukup umur untuk berumah tangga dan siap secara materi. Jadi, saya pikir lebih baik langsung mempersunting Falila dalam hubungan yang halal. Itu pun kalau Om dan Tante mengizinkan prosesnya menuju ke sana."
Penjabaran pajang Haditya yang tanpa keragu-raguan semakin membuat Amelia terperangah. Pria ini seakan mengingatkannya dengan seseorang yang sama frontalnya kalau sudah menginginkan sesuatu. Sampai tidak peduli dengan risiko yang akan ditanggung setelahnya.
"Kamu tidak berpikir kalau ini pertama kalinya kami mendapat permintaan yang sama, kan?" sindir Rama, terdengar tidak lagi berminat beramah tamah dengan Haditya. Pria yang berani menginginkan putri kesayangannya, tidak akan semudah itu mendapatkan simpati darinya.
Haditya lagi-lagi mengangguk. Tidak gentar atau kaget mendengar pertanyaan Rama. "Falila adalah gadis spesial. Saya yakin, sebelum ini pasti sudah banyak pria yang melebihi saya secara fisik dan materi, telah datang kepada Om dengan niat yang sama."
"Kalau begitu, apa yang membuat kamu berani ke sini setelah menyadari kamu bukan yang terbaik?" tanya Rama tanpa menutupi nada sinis dalam suaranya, mengabaikan cubitan Amelia yang diam-diam menyisipkan tangan ke pinggangnya.
[02.07.2020]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro