Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Perempuan Brazil

Di Brazil, ada sebuah kota bernama Nao-Me-Toque. Yang artinya Don't Touch Me. Sebuah kota yang seolah dibentuk dari trauma masa lalu. Sebuah kota yang dari awal membangun dinding dingin yang tinggi. Bagi Runi, kota itu Tami.

Sejak peristiwa titip salam itu, Runi dan Tami tidak pernah bertegur sapa (sebelumnya pun belum pernah). Tami seolah tak pernah menganggap hal itu pernah terjadi. Runi sendiri memilih menyimpan salam yang tak dijawab itu untuk ia sampaikan lagi entah kapan. Ia tak pernah bisa mengajak Tami berbincang-bincang seperti ia bisa berbincang-bincang dengan yang lain. Sehingga ia lebih memilih memandang Tami dari jauh.

Keadaan semakin canggung walau Runi sudah berusaha memperbaikinya dengan memberi senyum bila mereka tak sengaja bersitatap. Tetapi sayangnya, mereka tak pernah beristatap. Tami bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan seolah-olah tidak ada yang bernama Runi di kelas ini. Runi pernah berusaha bisa berjalan bersisian dengan Tami. Tapi saat jarak mereka sudah sangat dekat. Tami pergi dengan langkah yang tenang dan anggun. Bahkan Runi yang biasa bolos upacara, rela mengikuti upacara demi bisa berdiri berjejeran dengan Tami (meski itu sulit karena Runi tinggi). Tapi dia rasa itu bisa diusahakan meski Tami tidak menyadarinya.

Pagi ini, setelah menginjak kaki Kaisar yang memakai sepatu baru, Runi masuk kelas;

Maka pemandangan yang sama dalam beberapa bulan itu terulang kembali. Sebuah bangku dengan tas yang sudah disandarkan, tetapi pemiliknya tidak pernah ada, sebelum bel masuk berbunyi. Kadang-kadang

Runi takjub dengan keteguhan gadis itu untuk tak pernah ada di kelas jika KBM belum berlangsung. Ia akan ada di kelas bertepatan dengan bel berbunyi. Begitu seterusnya, Tami melakukan hal yang sama setiap hari, Runi melakukan hal yang jerih setiap hari. Tami yang dingin dan Runi yang panas dan pecicilan. Tidak ada kemajuan dari usaha yang dilakukan Runi.

"Temanmu kemana?" Runi memberanikan diri bertanya pada Lid yang tengah sibuk menghitung keuntungan bisnisnya. Lid menoleh kanan kiri.

"Siapa?" dilihatnya Alya sudah duduk dan berbincang bersama Olin.

"Tami."

Lid mengerjap-ngerjap. "Oh! Taaamiiii?"

Runi panik. Lid bicara seperti sedang berada di depan gong raksasa.

"Quid pro Quo! Tidak ada yang gratis di muka bumi ini kecuali napas dan kentut. Dan itupun ya, untuk orang-orang tertentu, napas dan kentut harus bayar loh! atau operasi dulu. Jadi-"

Belum selesai ia menciap. Runi sudah ngeloyor ke bangkunya. Lid hendak protes tetapi Depa, masuk kelas sambil berteriak-teriak.

"Pak Zul! Pak Zul! Pak Zul!" teriak Depa. Tangannya merogoh topi dan dasi di ranselnya. Semua yang mendengar langsung ingat kalau; ini hari senin, bel sudah berbunyi, peserta upacara masih belum rapi dan Pak Zul sudah patroli sambil membawa-bawa satang sepanjang satu meter. Tapi bagi beberapa anak cowok, satang itu lebih mirip pedang Zabuza yang akan menebas pantat-pantat malas-gerak milik mereka.

Dalam hitungan detik, seisi kelas (juga kelas-kelas lain) sudah lari terbirit-birit ke lapangan.

Ketika Runi tiba di lapangan upacara. Ia menemukan Tami sudah berdiri dengan rapi.

***

"Tamtam!"

Tami berhenti memotong-motong bakwan yang sudah ia siram dengan cuka mpek-mpek. Dia mendongak. Lid dan Alya sudah berdiri di sampingnya.

"Kami duduk disini ya. Bangku yang lain penuh." kata Lid sambil mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin. Tanpa menunggu jawaban, Lid menjatuhkan pantatnya ke bangku panjang di depan Tami. Disusul Alya yang langsung duduk di samping Tami.

Tami melanjutkan makannya.

Satu-satunya hal paling aman yang bisa Tami lakukan saat ini adalah berpura-pura memerhatikan teman-temannya. Tersenyum untuk hal yang sebenarnya tak lucu, berusaha menjawab sekalipun ia tak benar-benar nyaman dengan obrolan mereka. Adaptasi adalah hal yang paling memakan waktu dan menyusahkan sepanjang hidupnya selama ini.

"Kamu sangat suka bakwan ya?" Alya bertanya sambil meraih dan mengguncang-guncangkan botol saus tomat ke mangkuk mie ayamnya. "Dari kelas satu, kamu makan bakwan terus." Alya berbicara normal sampai ketika kalimat kamu makan bakwan terus, ekspresinya jadi aneh karena sausnya susah keluar.

Tami mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak mungkin bilang kalau satu-satunya makanan paling murah yang bisa mengenyangkan dan punya setidaknya tiga persyaratan empat sehat lima sempurna; Tepung terigu (karbohidrat), Toge dan kol (sayur-sayuran), udang rebon (lauk pauk) adalah bakwan. Dia lumayan suka Mie ayam, sebenarnya.

"Memang kenapa? Salah?"

Alya mengerjap. "Ti, tidak. Hehe.."

"Tamtam, setiap pagi kamu kemana sih?" giliran Lid yang bicara. "Maksudku, aku pernah lihat kamu di gerbang pagi-pagi sekali tapi di kelas kamu nggak ada. Kamu selalu masuk kelas barengan dengan bel. Kamu kemana?"

"Ke WC. Kemana saja." jawab Tami datar. Sengaja tidak menjawab dengan rinci.

Lid menelan baksonya cepat-cepat dan berkomentar; "Wow! Lama banget. Kamu ke WC itu pepong atau beranak dalam kubur?" Tami menganga. Tapi Alya terbahak dan berkata,

"Kamu kok mau-maunya ngikut gaya Runi!"

"Kita kan lagi mekong, kan kalau diplesetin jadi nggak jerong. Jadi Tamtam, kamu pepong atau beranak dalam kubur?"

Tami menatap Lid lurus-lurus. Tapi sebelum ia harus mati karena pertanyaan Lid yang tidak penting itu, Alya memanggil Olin dan Tiara yang sedang kebingungan mencari bangku. Dengan senang, mereka menerima tawaran itu.

Sambil menyantap Mie ayam, mereka langsung bercerita seru soal siapa saja yang menjadi pengurus OSIS tahun ini, Pensi, dan hasil survey Tiara.

Sudah menjadi kebiasaan beberapa siswa untuk menanyakan watak guru-guru mereka pada senior yang tentu saja sudah mengecap asam manis kehidupan putih-abu-abu. Tiara salah satunya. Tapi dia yang paling freak. Sejak kali pertama menginjakkan kaki di Classic, ia tak pernah lelah mengamati guru-guru yang akan mengajar di kelasnya. Dia bahkan punya buku catatan guru sendiri. Di dalamnya ada alamat, tanggal lahir, NIP dan makanan kesukaan (atau lebih tepatnya makanan yang sering dipesan di kantin).

Mereka mulai dari Pak Adrian, guru sejarah mereka. Di kelas IPA, sejarah hanya dipelajari satu jam pelajaran. Menurut kakak kelas, jangan khawatir soal Pak Adrian, karena guru itu sering menghabiskan jam belajar dengan menagih uang LKS. Bu Sinaga, dia guru Fisika paling sentimentil, ia suka menyelingi waktu belajar dengan bercerita soal kebon miliknya. Pak Alfian, guru seni, beliau sangat baik. Lalu percakapan berlanjut ke warna lipstick Bu Fatma, guru Biologi mereka. Hari ini merah tua dan itu gawat sekali (suasana hati Bu Fatma tergantung tingkat kecerahan warna lipstick), Mereka terus berdiskusi soal kriteria guru-guru mereka, hingga tanpa sadar diskusi mereka malah sampai pada Runi.

"Oh iya! Tam, Runi kenapa nyari kamu?" tanya Lid sambil menarik gelas es tehnya mendekat. Tami memasang ekspresi seperti sedang menahan diri dari buang angin. Lalu menggeleng pelan.

"Nggak tahu..."

"Nyari Tami? Kenapa? Kan sekelas."

"Iya, tadi pagi! Kalian berdua ada apa, sih? Jangan-jangan kalian pa—"

"Bukan. Mungkin ada urusan." potong Tami cepat.

Semua mengangguk paham, kemudian Olin membuka percakapan baru.

"Runi ya? Wah anak itu—makin-makin lah, pokoknya. Kemarin pas ke WC aku nggak sengaja liat di pintu WC cowok yang kebuka lebar, dia lagi merokok."

"Berani banget dia." celetuk Alya sinis.

Tiara mengangguk. "Kalian tau Ical?"

"Aah, yang codet itu?! Aku tau, kenapa dia?" potong Lid tidak sabaran.

"Dengar-dengar Runi gaul sama dia."

Semua menatap Tiara tak percaya.

"Gaul beneran gaul? Maksud kamu, kemana-mana sama Ical?"

"Kurang lebih begitu. Ical kan bandel, mainnya aja sama anak sekolah lain yang juga yah.. begitulah. Tapi denger-denger sih mereka lagi perang."

"Siapa? Ical dan Runi?"

Tiara memutar bola matanya. "Bukan! Ical dan anak sekolah lain! Kalau Ical dan Runi sih... mereka hari ini dihukum lagi, padahal kemarin juga habis dihukum."

"Kenapa?"

"Biasalah, ngudut!"

Tami diam mendengarkan. Runi itu anak nakal. Begitu kesimpulannya. Tami menyelesaikan makannya dan beranjak masuk kelas sambil memikirkan kata-kata Tiara tadi. Meskipun Tami bukan gadis alim, setidaknya ada satu hadits yang pernah ia dengar dan renungkan lama tentang pemisalan teman baik dan teman buruk yang diibaratkan seperti penjual minyak wangi dan pandai besi; "Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap."

Tami mengangguk. Ia sedang melakukan kesepakatan dengan dirinya sendiri.

Jauh-jauh deh sama anak yang namanya Runi.

***

Bel istirahat pertama sudah berbunyi. Sebelum guru masuk kelas, Tami merogoh tas dan menyerahkan novel Sheila yang kemarin ia pinjam dari Lid. Tidak lupa uang seribuan sebagai biaya sewa. Harus diakui, ilmu marketing Lid memang bagus jadi Tami rela-rela saja pinjam buku itu.

"Ini. Makasih ya. Ceritanya bagus."

"Sudah kelar?!"

"Iya."

"Cepat juga ya..."

"Iya."

"Nggak usah bayar." kata Lid, nyengir.

"Kok gitu?"

"Iya, buat sahabat aku gratisin."

"Sahabat?"

Lid mengangguk kencang. Lalu melayang ke bangku paling pojok.

***

AN. Terimakasih masih membaca karya ini. itu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro