Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Pengumuman! Runi Naksir Cewek! [revisi]

[----------]

Setelah melahap Kerutup ikan Gurame dipadu dengan sambal Macang, Runi tahu ia makin mual dan dia harus beranak dalam kubur berkali-kali hari ini (dia suka mengganti istilah berak dengan tiga kata itu, karena baginya lebih sopan dan mengecoh). Dalam hati ia kesal mengapa di rumahnya hanya menyediakan makanan sepedas dan seasam itu. Tapi Mama bilang, di kota ini perutnya mesti terbiasa makan makanan Sumatera yang pedas dan asam. Lagipula, mengapa Runi masih juga tidak terbiasa dengan kota ini?

"Kamu tuh di sekolah ngapain sih, Runi? Udah kayak ngalahin Mama, pulang sesore ini!" omel Marina kepada anaknya yang baru keluar dari WC. Beberapa saat yang lalu ia menerima telepon dari wali kelas Runi tentang kelakuan anaknya hari ini. "Mama kan sudah bilang, jangan pernah bolos! Jangan pernah buat ulah di sekolah!"

Runi hanya diam dan langsung mengambil jus jeruk dari lemari pendingin.

"Runi, kalau minum duduk!" Mama memeringatkan sambil matanya masih mengawasi Runi yang langsung nongkrong di depan kulkas. Wanita itu memang paling tidak suka dengan kebiasaan minum sambil berdiri.

"Terus kenapa baru pulang? Dari mana saja?"

"Ke Perpus dulu."

"Belajar, kamu?"

"Iya." mengatakan itu, Runi memijit-mijit tangannya karena pegal. Bu Clara benar-benar jahat karena melarangnya membawa pulang buku untuk diresume di rumah. Alasannya, karena Runi anak yang cerdas jadi dia bisa saja menyuruh orang lain untuk meresume buku itu.

Runi mengangguk takzim. Memang iya. Bahkan, dia dan teman-temannya berencana meng-copy buku itu. Sayang, Bu Clara benar-benar wanita licin.

"Sini kamu."

Runi tersentak. Ia sudah berada sangat dekat dengan Mamanya.

Marina yang masih tampak cantik walau usianya sudah mencapai kepala empat itu tampak sibuk memutar-mutar tubuh putranya ke depan dan ke belakang. Mengamati tubuh bagian belakangnya yang membentuk noda coklat panjang. Bekas pukulan pantat tadi siang. Meskipun Runi tidak suka diperlakukan seperti itu, ia tidak bisa melarang Mamanya. Pukulan pantat ini sih tidak ada apa-apanya sama sekali.

"Kamu buat kerjaan tambah banyak sih. Ini kan masih hari senin tapi malah harus ganti seragam. Bersih nggak ya kalau dicuci?"

"Loh? Mama nggak cemasin yang ini?" Runi menunjuk pantatnya yang sejak tadi pagi terasa panas. Wajahnya nampak kaget setengah kecewa. Mamanya lebih peduli kebersihan seragam sekolahnya ketimbang atribut dirinya.

"Guru kamu sudah melakukan hal benar. Bagus! Mama dukung." Mama memainkan rambut spikey Runi. "Pukulnya juga pake sandal jepit kok. Gede suara doang, kan?"

"Sandal jepit apanya??"

Datuk yang sejak tadi sibuk mengelap biolanya tersenyum penuh arti. Ia juga sepakat memercayakan semua urusan sekolah kepada para pendidik di sekolah. Bahkan datuk kerap bercerita bagaimana dulu jemarinya pernah dipukul akibat lupa memotong kuku.

"Ma,"

"Hmm?"

"Mama bahagia?"

"Kenapa kamu nanya gitu?"

"Aku nggak. Kita balik Jakarta, ya?"

"Bohong." Marina tertawa. Ia mengacak-acak kepala anaknya lagi. Tak lama kemudian, Rinda, yang baru saja keluar dari kamar menyodorkan selembar kertas kepada Marina. Tapi mulutnya sibuk berceloteh kalau ternyata Andra Cullen (teman cowok sekelasnya yang dingin dan dia beri nama belakang Cullen) sangat pandai main rubik dan memanjat pohon.

Runi tahu apa maksudnya. Beberapa bulan yang lalu saat baru pindah ke kota ini, Rinda berseru mulai saat itu juga, Runi mesti memanggilnya Rinda Bella. Karena ia merasa seperti gadis yang mesti pindah ke kota kecil dan bertemu dengan pemuda dingin persis Edward Cullen. Bedanya, di film itu ada vampire dan manusia serigala. Di sekolahnya, ada manusia harimau Sumatera.

Dengan lembut, Runi mengusap-usap kepala Rinda. "Adikku, kamu kok korban film sih! Abang saran kamu sering-sering lihat dunia nyata ya!"

"Ih! Biarin!"

Rinda memeletkan lidah. Ia memang masih duduk di bangku satu SMP. Tapi tingkahnya sudah ingin seperti anak SMA (anak SMA versi penilaian dia tentunya). Di kamarnya penuh dengan poster-poster Band tahun 90-an dan aksesoris serba hitam meski itu tidak membuat Rinda menjadi tomboi. Wajahnya cantik tapi memiliki kesan tampang ngajak berantem. Semacam sindrom RBF—resting bitch face persis wajahnya Anna Kendrick.

"Ini kertas apa, Rin?"

"Undangan buat Mama. Ada rapat guru dan wali murid gitu. Mama bisa dateng kan?"

"Mama nggak janji ya, Nak. Soalnya akhir-akhir ini proyek eskavasi Mama lagi sibuk banget."

"Tapi Ma—"

"Kamu tahu kan penggalian ini penting?"

"Ma..."

"Rin ngertiin Mama, kan? Besok Mama mesti kembali ke Muaro Jambi. Terus tahu nggak, kami sudah menemukan satu petunjuk. Hmm—negara ini perlu tahu kalau kita punya banyak sekali kekayaan sejarah. Kecerdasan leluhur kita dan ternyata kamu tahu? Jambi itu punya kampus tertua sejak zaman dulu. Kompleks Candi Muaro Jambi sudah dijadikan pusat belajar oleh bangsa lain—"

"Aku kangen Papa."

Ada kekosongan beberapa detik yang dingin. Runi tersenyum jahat. Dia tidak berniat mengalihkan pembicaraan sama sekali karena ia juga kangen Papa. Ia merasa senang dengan kebisuan Mamanya. Dalam hati ia berharap ini bukan tindakan durhaka.

Sampai akhirnya Datuk, yang sejak tadi fokus memainkan biola, berdehem. "Sudah sore, kalian mandi dulu."

Rinda gegas ke kamarnya. Dan Runi tidak perlu menebak apa yang akan dilakukan adiknya. Ia cuma yakin kalau makan malam nanti pasti hanya ada suara denting sendok dan piring yang beradu saja.

**

Menjadi anak seorang Arkeolog harus terbiasa ditinggal pergi jika ada proyek eskavasi. Setidaknya itu pesan moral dari keheningan yang tercipta sepanjang makan malam ini.

Datuk makan di depan TV. Rinda sudah sejak tadi tidak keluar kamar. Dia bilang, dia ngambek bukan karena Mama mau pergi. Tapi karena kangen Papa. Ia masih kesal karena Mama meninggalkan Papa begitu saja dan terkesan melarangnya berhubungan lagi dengan Papa. Meskipun Runi yakin pemicu awalnya karena Mama tidak bisa datang ke pertemuan wali murid. Rinda kan, kalau marah melebar ke mana-mana.

Runi menghabiskan potongan ikan Guramenya (kali ini ia tidak sudi pakai sambal Macang) dan beranjak ke kamar. Sempat juga ia katakan empat kata kepada Mama yang makan dengan mata menatap intens layar ponsel. Seperti biasa, dia pasti sedang SMS-an dengan tim eskavasi. Tidak penting di kota mana ia tinggal, orang apatis selalu sama sikapnya.

"Aku nggak betah di sini."

Pelan-pelan Runi pergi. Sengaja pelan-pelan karena ia menantikan reaksi Mama. Tapi nihil.

Meski bukan orang yang agamis, Runi setidaknya tahu kalau malaikat akan mengutuk istri yang meninggalkan rumah tanpa izin suami. Mama tidak pernah sadar kalau ia tidak bisa seperti ini terus. Dia meninggalkan Jakarta, meninggalkan suaminya begitu saja, membawa kabur dua anaknya, memutuskan hubungan ayah dengan anak. Dan sekarang dia bahkan tidak mau memberitahu nomor Papa yang baru.

Sejak hari kepindahan, mereka sekeluarga tidak pernah berhubungan dengan Papa. Sekalipun Runi meminta, Mama tidak mengizinkan. Jika ia menyebut Papa di depan Mama, keadaan akan menjadi bisu seperti yang sudah-sudah. Pernah ia diam-diam menelepon Papa tapi nomor itu sudah tidak bisa dihubungi.

Bagi Runi (meskipun ia kagum juga pada pekerjaan arkeolog) Marina terlalu menjiwai perkara masa lalu. Marina tidak akan tersinggung kalau anak-anaknya berseloroh tentang; tidak baik mengungkit masa lalu. Karena dia mencintai pekerjaannya. Tapi, dulu Marina biasanya tidak pernah ikut dalam proyek. Ia hanya bertugas di Balai Cagar Budaya. Tapi sejak hari kepindahan, Marina tergabung di Culture Resource Management dan sangat terobsesi untuk ikut dalam proyek eskavasi. Benar saja, beberapa minggu ini Marina sibuk di penggalian situs Candi di Muaro Jambi.

Seperti Mamanya, Runi mencintai kehidupan masa lalu-nya. Ia rindu teman-temannya di Jakarta, meskipun ia sudah semakin jarang mendapat surel dari teman-temannya di sana. Runi tetap ingin kembali ke Jakarta. Kalau Mama bisa melakukan apa saja demi obsesinya (meninggalkan Jakarta tanpa musyawarah), maka Runi juga akan melakukan apa saja demi bisa kembali ke Jakarta, bertemu kawan-kawan lamanya, berdiri di depan bangunan tua, dan bertemu Papa.

Meskipun ia mesti menempuh jalan yang sukar.

***

"Baron kalau bersin besar sekali dan menyembur kemana-mana. Bikin aku gagal menyerapi filosofi bersin itu sendiri." kata Kaisar, sesaat setelah Baron bersin-bersin di depannya. Kedua tangannya sudah terangkat seperti gerakan senam.

Baron mendengkus. "Banyak gaya kau ini! Apa pula bersin itu?!" kemudian bersama kepalanya yang plontos itu, Baron membuat bersin buatan yang besar untuk Kaisar.

"Aisshh—" Kaisar bergidik.

"Jorok lu, Ron!" Runi juga kena cipratan. Baron cuek-cuek saja.

Malam ini, mereka bertiga ngumpul di bundaran Tugu Jam Walikota, tempat yang sering disebut sebagai monasnya Jambi. Di kota ini, memang, sekitar kantor walikota akan sangat ramai sejak sore hingga larut malam oleh orang-orang. Kebanyakan mereka pemuda. Runi suka jika berada di sana. Jika tidak ada kerjaan, ia biasa menghitung jumlah tahu dan kerak telor yang dimakan Baron atau menebak usia orang-orang yang lalu lalang di sepanjang jalan.

Setelah yakin Baron tidak lagi terobsesi menjadi Mr. Bersin-bersin, Kaisar berkata dengan bijak. "The Sneez, artinya bersin. Film tahun 1891 yang menjadi awal mula industri film. Mesin pemutarnya buatan Thomas Alva Edison—ternyata dia nggak cuma bikin lampu ya—simpel kan? Orang berduyun-duyun datang cuma mau nonton film orang bersin selama semenit. Itulah yang mau aku bilang, kadang-kadang ide itu nggak perlu yang selangit, kita hanya perlu menjadi satu-satunya yang beda saat itu.

Pelopor. Dan dari situ berdiri Columbia Pictures. Kalau sudah bahas perusahaan film itu, aku jadi inget te—"

"Cukup SAR! Jangan bahas sejarah. Sekarang aku maunya, kau fokus mikir tema. Inget, pensi men, pensiii..." kata Baron.

"Heee...ini aku lagi mikir ide! Justru kau yang keliatannya nggak mikir."

"Aku mikir dong..." ujar Baron, saat Kaisar baru saja ingin bertanya "mikir apa?" Baron sudah berkata lagi, "Kemana si Ical ya? Katanya mau kesini, loh, bawa kaset."

"Kaset apa?" Runi menoleh sekilas, sebelum ia kembali asyik berbaring-baring, melihat langit.

"Film lah!"

"Bokep ya?!"

"Kalau iya?"

"Parah kau ni! Ngajak-ngajak dong!" hardik Kaisar.

Baron terbahak. "Baseng be!" (Sembarangan saja!) "Film yang dijamin muntah kalo nggak kuat nontonnya. The Wrong Turn, The Feast, alien kanibal atau yang Freaky badassss zombie wuhuuuuu...!!" Baron berseru dengan dua tangannya yang sudah terangkat ke atas.

"Tema! Tema!" Kaisar berseru tak peduli.

"Nanti nontonnya numpang kamar kau lagi ya, Run. Tapi please, jangan repot-repot ngasih minum secerek teh lagi. Dihabisin rasanya kelat banget di lidah pas bangun pagi, dibiarin mubazir."

Runi nyengir. "Maklum, ngabisin stok. Mamaku borong teh Kayoe Aro. Katanya minum teh itu bisa bikin kita dapat jodoh seperti Ratu Wilhelmina."

"HAHAHAHAHA bodat! yang aneh-aneh saja." Baron terbahak. Sepasang muda-mudi yang berada di dekat mereka sampai kaget. Membuat Baron merasa bangga sudah merusak kencan orang lain. "Apa? Apa? Bikin PR sana!" lalu sepasang muda-mudi itu memilih pergi karena terlalu lelah melayani pemuda nyolot.

"Sadar nggak sih kalau kita itu manusia konsumtif yang bisanya nonton doang. Kenapa kita nggak buat film sendiri? Tapi sebenernya kita sedang menjalani skenario dari Tuhan juga sih." Kaisar yang berbicara.

"Sar, Sar... kau ini sudah seperti Pak Tendi saja." sungut Baron. Ia lalu mencomot tahu goreng sumedang yang baru mereka beli dipinggir jalan.

Baron menatap dua temannya. Ia sudah terbiasa dengan Kaisar yang kalau bicara suka kebanyakan teori. Tapi dia tidak terbiasa dengan sikap Runi malam ini.

Baron berdehem. Dengan lembut, ia bertanya—walau dia merasa agak jijik.

"Kau kenapa? Kepikiran bapakmu?"

Runi menatap Kaisar dan Baron, dahinya berkedut-kedut seperti sungai karena menahan perkataan. Lalu ia menatap lagi langit Jambi yang penuh bintang. Itu adalah bahasa isyarat yang biasa dipakai Runi jika lawan bicaranya tak boleh tau hal apa yang sedang ia pikirkan.

Runi menghela napas.

Kaisar yang mengerti, mulai berkata, "Dia lahir di sana, Ron. Meskipun waktu kecil pernah di bawa liburan kesini. Tapi tetap saja, dia besar disana. Pindah ke kota ini untuk selama-lamanya tanpa kompromi dan penjelasan itu benar-benar nggak bisa bikin lega sampai sekarang. Dan selama-lamanya itu lama!"

Baron mengangguk paham, sambil mencomot tahu lagi. Ia nampak berpikir keras. Lalu berkata; "Aku akan bantu cari tahu tentang bapakmu. Untuk sementara, sebagai pengalih pikiran, Runi, kau mesti jatuh cinta."

Runi mendesah kesal. Ia menimpuk Baron dengan kerikil yang baru saja ia temukan.

"Awak serius ini!"

Kaisar mengekeh. Ia memainkan gitarnya sambil membayangkan bagaimana kalau Runi akhirnya pacaran. Selama ini kerjaan mereka kan— sebagai jombo iri hati sejati—salah satunya gangguin orang-orang pacaran. Setengah jam yang lalu, mereka bertiga menggangu sepasang muda-mudi yang sedang bermesraan di sudut monas dengan menyanyikan lagu Kawin Massal-nya John Dayat keras-keras. Jadi setelah saling caci maki, mereka berhasil membuat yang pacaran itu menyingkir.

"Runi, jatuh cinta? dia sendiri yang bilang nggak pacaran dulu selama SMA. dia sendiri kan yang bilang mau fokus belajar biar bisa balik ke Jakarta, kuliah di sana?" kata Kaisar akhirnya.

Baron tertawa besar-besar. "Sar, dia begitu karena belum ada saja! Hei, Runi coba kau tengok dahan dan ranting, cewek Jambi manis-manis semua!"

"Sebenernya ada. Cinta sih, belum. Tapi sejak awal masuk sekolah, aku sering liat dia. Jadi keinget-inget." Runi tersenyum.

"HA?! Siapa? Itu Naksir namanya bro!" potong Baron yang ternyata lebih heboh daripada tiga orang Lidiya dijadikan satu. "Anak Classic dong?"

Runi mengangguk.

"Nadia, ya?"

"Daniar? Amel? Vasehta?"

"Mbok Ester?"

Runi menggeleng keras untuk yang terakhir.

"Berarti sebentar lagi kita bakal nyanyi Kawin Massal, ya Sar?"

Kaisar mengangguk-angguk. Lalu mendelik. Ia benci dipanggil Sar. Itu terdengar seolah-olah namanya adalah Sari atau Sarah. Saat Runi berkata kalau Sar itu bisa saja akronim dari Specific Absorption rate. Kaisar tambah marah.

"Jadi siapa??"

"Tunggu dulu, men... abang kalian ini masih belum yakin."

Baron akhirnya bersidekap. "Aku yakin seminggu lagi kau bakalan suka sama yang lain. Kau dan Ical kan yang paling heboh kalau ngomongin cewek."

Runi meringis lalu tertawa. "Beda. Cewek ada dua jenis. Satu untuk digosipin, yang kedua untuk dipikirin." katanya sambil menepuk-nepuk Baron. Mereka melanjutkan obrolan tentang Ical, Edi dan Aldo yang belum juga tiba sampai akhirnya sebuah pesan masuk ke ponsel Baron.

Dari Ical;

Men besok-besok lah yo! Aku pilek. Maleh nak keluar. (Men, besok-besok saja ya! Aku pilek. Malas mau keluar)

Edi juga mengirim pesan;

Emak aku dak bolehin keluar nih.

Tak lama, Aldo yang paling asbun juga mengirim pesan;

Waiii joook aku keno marah habis-habisan. Pak Adrian nelpon bapakku. Ni aku lagi cari muko, tinggal dulu di rumah. Biar besok-besok boleh main. Maapin lah yo. Saran aku tema penampilan kito tuh cubo pake gaya-gaya melayu. Nah, lah tu. salam similikiti!

Mereka bertiga kompak mendesah panjang.

"Jadi, apa tema band kita buat pensi nanti?" Runi menatap dua temannya. Baron menoleh ke Kaisar.

"Bersin!" ucap Kaisar.

"Duh, Kaisar lama-lama gemesin ya. Minta digigit."

Lalu bundaran Tugu Jam menjadi gaduh karena mereka bertiga kompak saling memiting kepala. Runi yang paling semangat memiting, alasannya karena dia sudah makan. Sudah kenyang dan banyak tenaga.

Sementara di rumah Runi, di ruang makan yang sudah sunyi, Marina masih makan sambil menatap ponsel. Menunggu sesuatu.

***

AN

Maaf panjang. Maaf, mohon bersabar baca karyaku ya. Semoga suka. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro