Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Grup Lawak dan Seseorang yang Memerhatikan

Enam orang pemuda duduk berderet di dalam ruangan BK.

"Kalian umurnya berapa?"

"Enam belas, pak."

"Lima belas, pak." Edi buru-buru mengklarifikasi. Sekalipun wajahnya boros, ia sangat menghargai usianya yang lebih muda.

"Kelas?"

Jidat Runi mengernyit. Pertanyaan macam apa ini. Jelas-jelas lelaki tua yang ada di depannya tahu kalau ia kelas sebelas.

"Sebelas, pak."

PLAK!

Rasa nyilu, pedas dan perih menjalar. Untuk kelima kalinya, suara penggaris berbenturan dengan daging lembut tanpa tulang (dan bagi Runi, ini sudah keenam kalinya pantatnya tersakiti, terhitung dari ulah Baron saat acara pelarian gagal tadi pagi). Guru BP terlihat takzim melihat pemandangan di depannya. Mata Pak Zul nampak nyalang. Kaisar nyaris melompat. Disampingnya Baron dan Runi langsung menunduk dalam-dalam. Sambil menggosok-gosokkan pantat mereka. Pedih.

"Lebih tepatnya kalian itu kelas panutan! Kalian sudah punya adik kelas! Sementara kalian baru saja ditemukan bolos di kantin dan merokok! Saya heran bagaimana kalian bisa lulus SMP. Cenayang kalian, hah?"

"Dan kalian bertiga!" Pak Zul menunjuk Runi, Kaisar dan Baron. "Kalian kan kelas IPA! Kelas sebelas! Tidak ada main-main lagi. Apa sih mau kalian?"

Keenam siswa itu menunduk. Yang sebenarnya, saling tebar wajah cemas. Level sangar mereka tidak berlaku jika harus berhadapan dengan guru.

"Bapak heran bagaimana kalian bisa lolos masuk IPA! Kelas unggulan! Nyolong soal ujian kalian, hah?"

Runi kontan mendelik. Rasa tak nyaman menyusup hatinya.

"Oh, Saya tahu kalian. Kalian memang maling soal ujian!"

Runi amat terganggu. "Saya belajar, pak."

"Diam kamu!"

"Saya belajar, pak."

"Diam!"

"Saya belajar."

"Jangan menjawab kalau orangtua bicara!"

Runi diam. Penggaris kayu itu mampir lagi di pantatnya. Membuat Runi mengumpat dalam hati.

"Kamu Runi! Jangan bantah saya! Saya tahu kamu! Kamu bos-nya kan? Kamu biang keladinya! Mau jadi jagoan kamu? Sudah banyak poin dosa kamu di sekolah ini!" Pak Zul meradang. Penggaris kayunya sudah mengangkat di udara, siap mendarat lagi jika Runi kembali bersuara. "Kamu pikir ini sekolah nenek moyang kamu?!"

Sunyi menyergap lalu disusul suara pukulan ke pantat mereka. Kontan keenam siswa itu memasang wajah seperti sembelit. Bersamaan itu, suara pintu diketuk dan membuka tanpa memedulikan apakah tamu itu diizinkan masuk atau tidak.

"Pak Zul, boleh saya jemput anak saya?" suara berat itu tidak asing. Ia memberi intonasinya pada kalimat 'anak saya'. Suaranya Pak Tendi, guru Kimia sekaligus wali kelas XI IPA 2. Guru favorit Runi walau Kimia bukan pelajaran Favorit Runi. Tubuh Pak Tendi tinggi dengan kemeja putih yang selalu disingsingkan sampai ke lengan. Menampakkan kesan gentle dan dewasa. Senyumnya lembut dan berbicara. Runi tahu guru itu begitu tulus menghadapinya. Guru yang telah menjadi alasan mengapa Runi belajar habis-habisan supaya terpilih menjadi siswa IPA. Karena setidaknya, ada seorang guru yang bisa sangat mudah menyampaikan mata pelajaran di sekolah ini. Sekarang kita tahu sisi sentimentil cowok brengsek ini. Huh?

Pak Zul menaikkan kacamatanya. Kebiasaannya persis dengan Kaisar. "Boleh, tapi saya perlu bicara dulu dengan bapak." tandasnya kemudian. Pak Zul melirik keenam siswanya lalu melangkah seraya menarik lengan Pak Tendi. Keduanya tampak berdiskusi kecil di sudut ruangan. Runi melirik guru-gurunya sesekali.

"Ini yang bikin aku ilfeel sama pengelompokan semacam ini." Runi mendengus kesal. Rasa kesalnya terhadap keharusannya membangun imej positif sebagai anak IPA sudah meluluhlantakkan kenyamanannya. Undang-undang mana pula yang mengatur kepribadian seseorang lewat kelas yang ia pilih.

"Bah, elu, Run. Sebulan aja belom." giliran Baron yang menengahi.

"Udeh.. masuk kelasku saja." Ical nyengir.

Runi mendesah pelan. Setelah beberapa menit 'dibiarkan' begitu saja, Pak Zul kembali mendekati Runi cs.

"Bapak serahkan hukuman kalian ke Pak Tendi." Pak Zul meraih penggaris kayunya dan beranjak pergi meninggalkan mereka dan Pak Tendi yang tetap di posisinya. Lelaki berusia sekitar 39 itu berjalan mendekati murid-muridnya. Runi tahu ini akan berakhir bagaimana. Suara langkah guru itu terdengar mendekat. "Runi, Baron, Kaisar?"

"...."

"Lalu Ical, Edi dan Aldo..."

Wajah syok Ical tak bisa disembunyikan. Guru ini... sama sekali belum pernah mengajar di kelasnya. Tapi kenapa ia mengingat dengan sangat baik nama-nama siswanya. Apa dia punya absen satu sekolah? Atau jangan-jangan seluruh sekolah memang sudah tahu kenakalan mereka? Ical meringis.

"Pak Zul itu... saya sangat menghormati beliau." Tiba-tiba Pak Tendi memulai percakapan dengan menyebut nama guru absurd itu. Absurd karena hobinya yang suka keliling sekolah setiap pagi untuk memantau apapun. Lebih-lebih jika hari senin saat upacara bendera. Ia akan membawa satang bambu sepanjang satu meter untuk memukuli pantat-pantat siswa yang lebih memilih tidur di kelas ketimbang upacara.

"Kalian pasti dongkol dalam hati waktu saya bilang seperti itu." Pak Tendi tersenyum. "Kalian pasti berpikir, apa yang harus saya hormati dari seorang guru bermulut kasar seperti beliau?" Runi mengangguk membenarkan.

"Kecintaan dan kebencian kita pada suatu hal itu dipengaruhi oleh sudut pandang. Kalian tahu, di dalam sudut pandang Pak Zul, pendidikan adalah segalanya. Upacara bendera adalah kehormatan. Bersikap tegas dan tidak memanjakan siswa. Karena itu beliau bersikap seperti itu selama ini. Berkeliling sekolah, menangkap siswa-siswa yang bolos lalu menghukum mereka hingga jera. Saya kagum atas dedikasinya. Tidak ada guru manapun yang bisa menandingi dia. Tidak ada yang seperti dia." Keenam siswa itu saling melempar pandang.

"Kalian tahu, kadang Pak Zul suka tertawa dan bercerita tentang kalian. Bilang kalau kalian adalah yang paling susah diatur, bengal, gila dan lain-lain."

Oh ya benar sekali... kami memang golongan madesu tingkat tinggi.

"Tapi di ujung percakapannya. Selalu di setiap akhir dari ceritanya tentang kalian, dia selalu bilang kalau kalian pasti bisa berubah." Pak Tendi melempar pandangannya ke siswa-siswanya.

"Hari ini mungkin bagi kalian menyakitkan. Tapi waktu akan membuat semua ini jadi hal paling lucu. Lima, sepuluh, dua puluh tahun lagi kalian akan ingat kalau SMA ini begitu berharga. Kalian akan berharap-harap bisa sekolah lagi, berharap-harap bisa bersikap lebih bijak lagi sebagai seorang generasi muda. Sama seperti saya, berharap bisa menjadi siswa lagi di sekolah ini. karena menjadi orang dewasa itu agak sulit."

Sesaat Runi terdiam. "Dia menuduh saya maling, Pak." katanya kemudian. Dingin.

"Dia?" suara tegas itu memberikan penekanan pada kata dia. "Beliau."

Runi melengos. "Iya, beliau."

"Jangan di ambil hati..."

"Saya belajar keras."

"Lalu apa itu bisa jadi alasan kamu untuk berkata keras pada orangtua setelah ayah dan ibu kamu?"

Runi diam seribu bahasa. Orangtua. Mamah-nya selalu bilang kalau ia harus patuh pada guru-gurunya. Ia jadi teringat kalau setiap sebelum pergi sekolah dasar, dulu, Mamah akan menyanyikan lagu Hymne Guru dan Kita jadi pintar menulis dan membaca karena siapa? sewaktu memasangkan dasi atau tali pinggang pada Runi. Seolah-olah mamah sedang melepas anaknya ke medan laga.

Dan, terdengar hembusan napas berat dari Pak Tendi. "Baiklah, saya wali kelas kalian. saya ingin ini terakhir kalinya saya mendengar kalian berkasus. Tidak ada lagi merokok dan bolos ke kantin. Kalian berenam masuk kelas, jam istirahat nanti temui saya dan wali kelas kalian, Pak Adrian." katanya lagi sambil menatap Ical, Aldo dan Edi.

"Bukannya kami dimaafkan, Pak?" Runi mengernyit. Ia tahu Pak Tendi berencana memberikan hukuman. Mungkin mencabuti rumput di halaman Classic, menguras kolam ikan atau sampai yang tidak masuk akal; menghitung jumlah petai yang ada di pohon belakang sekolah.

"Iya, dimaafkan. Tapi bagi saya, maaf bukan berarti meniadakan pertanggungjawaban. saya tunggu kalian bertiga di kelas. Sesi perkenalan tidak akan saya mulai sebelum kalian datang."

Terdengar suara menggerutu di ruangan. Tapi seperti anak bebek, mereka berduyun-duyun menuju pintu keluar. Runi dan kawan-kawannya keluar ruangan menuju kelas. Suara bel tanda jam pelajaran pertama berakhir sudah terdengar, ia masih sempat bersiul-siul. Setiap satu kali melangkah, ide di dalam kepalanya mulai menyeruak. Sebelum benar-benar terlanjur, apa ia mengundurkan diri saja dari kelas orang-orang sok jenius itu?

Runi menggeleng. Mundur bukanlah dirinya.

***

"Nama saya Arunika G Kasyapi. Panggil saya Runi. Asal kelas X-5. Mungkin sudah ada yang kenal, ada yang belum. Kalau kalian ketemu saya di jalan, harap panggil saya Runi. Kalau ketemu di lapangan futsal, panggil saya Abang Dobrak. Kalau ketemu di WC, jangan panggil saya."

Perkenalan diri Runi disambut dengan sunyi. Beberapa anak mengangkat alis. Kaisar enteng-enteng saja menjelaskan kepada teman-temannya, Runi kalau habis dihukum Pak Zul memang suka ngawur. Soalnya di pantatnya Runi ada tombol on-off . Mungkin tadi kepencet off. Tapi penjelasannya malah mengundang kegaduhan.

"Oh ya, untuk lebih mengenal saya, silakan add akun-akun sosmed saya. Akan saya terima, jangan sungkan."

"Nama akunnya?" Depa bertanya.

"Runi Bukan Sule Prikitiw." jawab Runi dengan tenang. "Dan... cita-cita saya ingin menyelamatkan dunia. Salah satunya mendirikan grup lawak."

"Bisa ngelawak?" seorang murid, bernama Dimas bertanya.

"Sedang dalam proses belajar." Runi menjawab mantap.

"Coba sedikit, dong!"

Semua berseru setuju.

"Sori, aku nggak bisa ngelawak dalam kondisi didesak. Tapi coba kalian jawab teka-teki ini." ucap Runi sambil berdehem lagi. "Artis, artis apa yang suka membeda-bedakan orang lewat ras dan golongan? Yah.. semacam rasis lah."

Semua melongo. Tapi kening mereka berkerut-kerut dan mulai menebak.

"Rapi Amat?"

"Salah."

"Tamara Belichiki?"

"Ngawur. Salah!"

"Gita Ketawa?"

"Makin ngawur."

"Mika Thambayong? Agnes Monikah? Cinta Laura? Randi Pangalelah?"

"Salah! Salah! Salah!"

"Apaan jadinya?"

"Nyerah?" Semua berseru.

Sambil merentangkan tangannya, Runi berkata, "Yuni Sara."

Sunyi yang lebih mencekam, atau tepatnya mencekik, seketika memberangus mereka. Suara tepuk tangan yang diprakarsai oleh Baron sudah membahana. Tak lama, yang lain mengikuti sambil tergelak-gelak. Bahkan Depa saja langsung ber-phiwiiit dengan kedua bibirnya bak sedang menonton konser Pink Floyd, kesukaannya.

"Terima kasih, terima kasih." Runi membungkuk hormat. Kemudian langsung masuk ke dalam barisan bangku paling belakang. Tertawa-tawa bersama yang lain. Menghisap perhatian yang lain. Dia tipikal cowok tengil. Tapi hebatnya, apapun yang tadi ia sampaikan, semua mendengarkan. Semua menyambutnya. Detik itu juga, semua sudah bisa menerka-nerka, akan seperti apa kelas kalau ada dia. Lalu sebaliknya, akan seperti apa kelas kalau tidak ada dia.

"Ish, garing gitu kok pada ketawa." Alya berkomentar.

"Iya. Apaan sih Abang Dobrak?" timpal seorang siswi bernama Tiara.

"Tapi saking garingnya, kok jadi lucu ya." Olin, yang katanya phobia cowok ganteng buka suara.

Lid yang sejak tadi sudah cekikikan langsung menepuk-nepuk bahu Olin, "Cie, cie, ciee... Olin! Apa dia cukup ganteng buat bikin kamu pingsan?"

"Oh. Nggak. Rambutnya jelek." Jawab Olin sekenanya. Ia lalu kembali fokus menyimak seorang murid bernama Reza mendapat giliran memperkenalkan diri.

Lid menjodongkan bibir. Ia lalu sibuk memerhatikan Tami yang baru saja dipanggil karena mendapat giliran memperkenalkan diri. Gadis itu tampak sudah berkeringat dingin karena gugup. Meski akhirnya ia berhasil juga berkata;

"Assalamu'alaikum. Nama saya Swastamita J, dari kelas X-4."

Nyaris tidak ada yang mendengarkan. Tami merasa tidak keberatan meskipun sebenarnya tidak didengar lebih menyedihkan. Ia duduk dengan cepat. Tapi, ia tidak pernah sadar kalau di barisan bangku paling belakang, Runi sedang terkesima memandangnya.

***

Setelah mengatakan, "Titip mereka ya, Bu." Pak Tendi pergi meninggalkan Runi dan kelima temannya di perpustakaan bersama Clara yang terkenal sebagai penjaga perpustakaan paling tebal bedaknya. Jam isitrahat ini, mereka diberi hukuman spesial berupa mengabdikan diri di perpustakaan—mereka sering mengalami ini.

"Baik."

Bu Clara memusatkan seluruh pandangannya ke arah enam murid di depannya. "Resume buku-buku ini." katanya sambil menyerahkan enam buah buku yang bisa dijadikan bantal.

"HAAH?!"

"Ssst..! Ya... ya... ini hukuman kalian."

"Tapi, Bu. Biasanya kan cuma bersihin buku-buku tua, nyapu, atau lap kaca." protes Kaisar

"Atau nyusun buku sesuai kode."

Bu Clara membenarkan kacamatanya. "Hapal kalian ya? Hukuman itu tidak mempan dengan kalian. Jadi cepat resume buku ini dan tidak ada yang boleh keluar sebelum selesai."

Runi dan kelima temannya menatap Clara tak percaya. Bahkan Ical menatap buku di depannya dengan penuh kebencian. Ketimbang menguras bak mandi, hukuman ini 100 kali lebih membosankan. Dengan malas, mereka mengikuti Clara; duduk sambil memandangi buku. Kemudian mencoba serius membaca dan menulis satu persatu isi buku. Meskipun lima menit kemudian, mereka menguap lebar-lebar.

"Tau gini, mending nggak ikut kalian hari ini." gerutu Kaisar. Ia tampak asal-asalan mengambil bukunya, mencoret-coret buku tulis dengan pena macet yang ia beli untuk ke-sejuta kali dalam minggu ini.

Runi nyengir. "Iya, mending mabal."

"Atau ngudut." Baron menimpali.

Mereka tertawa. Tapi cepat-cepat diam lantaran di ujung meja sana, Bu Clara mengawasi mereka dengan galak.

"Hoi, hoi, baca nih." Aldo datang tergesa-gesa. "Kalian dapat buku apa?

Gila, masa Bu Clara ngasih aku buku ginian."

"Memang kau dapat buku apa?"

"Buku resep masak!" Aldo berdecak. Ia semakin berdecak saat melihat judul buku Edi yang terlihat seru, "Sejarah Bola di Dunia."

"Sini, liat, liat."

Dengan cepat, Runi melongokkan kepalanya ke buku itu, begitu juga dengan yang lain.

"Judulnya apaan?" tanya Ical

"Bahasa Inggris. Baca nih."

Berganti-gantian, mereka membolak-balikkan sampul buku dan isinya.

"Ooh... mungkin resep Sop Ayam spesial."

"Spesial untuk anak muda, gitu ya?" tanya Runi "Sop Ayam Jakarta, enak." timpal Baron.

"Isinya aneh." Edi bersuara. "Isinya rumpi."

Kaisar yang kecerdasannya setingkat lebih tinggi, ikut melongo. Tak lama kemudian, ia menatap teman-temannya dengan prihatin, lalu berkata dengan sedih; "Chicken Soup for Teenagers. Itu buku tentang kisah inspiratif."

Kesunyian yang dingin memberangus. Mereka berpandangan. Sampai akhirnya Edi bertanya, "Hubungan sop ayam sama kisah inspiratif apa?"

Mereka berpandangan lagi. Kaisar sudah menjatuhkan kepalanya ke meja. Tak lama kemudian teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Berpasang mata yang sedang membaca atau mengerjakan tugas mendesis sebal. Bu Clara terlihat ingin mendekat sambil membawa mistar. Cepat-cepat mereka kembali ke buku mereka masing-masing sambil menahan sesak dada karena tawa yang ditahan.

Runi menebar pandangan, berdehem. Pura-pura berbahagia dengan apa yang dia kerjakan. Sebab, dari sudut matanya, ia menemukan sosok indah yang sering ia lihat di tempat ini. Sosok yang juga kini akan menjadi teman sekelasnya dua tahun kedepan. Tami.

***


AN
Terimakasih sudah membaca

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro