43. Berita Kehilangan
🎧 Starlight Tears (Instrumental)
*
"Cinta adalah seberapa pandai
kau menghapus airmata."
(Helvy Tiana Rosa)
***
"Eh, eh, eh, sudah tahu belum?"
Pagi itu, Lid--masih belum meletakkan tasnya--datang tergopoh-gopoh menghampiri teman-temannya dengan heboh. Tadinya mereka sedang membahas universitas favorit di Indonesia. Seperti anak daerah pada umumnya, mereka tentu punya impian bisa kuliah di kota besar. Namun melihat gaya Dunia dalam Berita-nya Lidiya, sekelompok siswi itu langsung putar haluan. Tami yang biasanya tak tertarik pun sampai ikut penasaran.
"Hah! Hah! Apa ni? Apa ni?" Tiara ikut heboh.
Lid mendekatkan kepalanya, berbisik, "Runi ... nembak ... Alya."
"HA?!"
"Kapan??"
Tami menghentikan aktivitas menulisnya. Ia kaget.
"Kemarin! Sshhh ... Tiara pelanin suaramu."
"Kok kamu tahu?"
"Alya dong yang cerita ..." Lid tersenyum-senyum sendiri.
"Aku kira, Runi dan Alya itu cuma bahan lucu-lucuan aja." celetuk Olin.
"Ya nggak lah Lin, Runi beneran suka Alya. Aku seneng dong mereka ada kemajuan. Nih, Tami juga, kapan sih Tami dan Rizal ada kemajuan? Kamu aja yang mulai, Tam," ujar Lid sambil menepuk bahu Tami. Tami mengerutkan kening.
"Trus, trus, trus?" Tiara memotong. "Diterima?"
Lid menyibak rambutnya, lalu menarik salah satu bangku untuk duduk. "Belum dijawab Alya."
"Aduh, bilang sama Alya, jangan terima! Runi kan gitu orangnya." Tiara mulai menghasut.
"Gitu gimana?"
"Ya, tau sendirilah ya ..."
Olin tertawa kecil. "Menurut aku sih, diterima aja. Runi memang nakal tapi dia tuh gentle banget. Dia nggak akan nyakitin Alya."
"Kamu bilang dia gentle terus sih, Lin." Tiara mencibir.
"Iya. Dia gentle tau ... inget kejadian karet calok Bu Fatma dulu? Runi mau mengakui kesalahan. Dia bisa aja nggak ngaku, dan memegang prinsip solidaritas yang bablas dan menjebloskan kita semua, satu kelas, untuk menanggung resiko berjemur di depan lapangan upacara. Tapi nyatanya dia nggak setega itu kan? Salut pokoknya."
Semua mengangguk setuju. Runi memang gentleman. Mereka mulai bergosip heboh. Apalagi kalau dilihat-lihat, Runi ganteng juga.
"Jadi, Runi beneran suka Alya?" tanya Tami.
Semua menoleh.
"Ya beneran dong, Tam. Mereka hampir tiap malam SMS-an. Feeling aku sih Runi bakal diterima."
"Aku baru tau."
"Kamu sibuk sama Rizal, sih."
"Sibuk? Kami kan satu kelompok belajar. Jadi ya sering sama-sama-" Tami membela diri. Tidak tahu kenapa, hampir setiap pembagian kelompok belajar yang dilakukan semua guru, ia selalu disandingkan dengan Rizal. Mungkin karena absen nama mereka berdekatan.
"Itu artinya jodoh!" Lid berbinar-binar.
Tami pias. "Memangnya ... jodoh itu harus selalu sama ya? Kalau beda, nggak bisa ya?"
"Ha? Ngomong apa sih, Tam?"
"Cieeeee ... Tami serius amat sih! Udah bahas jodoh dia!"
Semua bersorak. Membuat teman-teman yang baru tiba menoleh ke arah mereka tak mengerti. Siswi-siswi itu sudah kadung heboh.
Semua kembali sibuk menggosipkan Runi dan Alya. Tami menatap teman-temannya datar. Ia mengambil sebuah pena dari kotak pensilnya, lalu menggenggamnya kuat-kuat. Pipi dan matanya memerah. Dia menjatuhkan penanya ke lantai dan dengan cepat masuk ke kolong meja untuk mengambil pena itu. Bukan. Tapi untuk menyembunyikan emosinya. Di bawah meja itu, Tami membekap mulutnya dan memejamkan mata. Air matanya menetes perlahan. Satu tetes ... dua tetes ... dan tetesan-tetesan ketiga yang tak bisa dibendung.
Perasaan Tami campur aduk. Ia terus begitu sampai teman-temannya memanggil.
"Loh, Tami mana?! Oh-Tamtam! Kamu ngapain di bawah?" panggil Lid dari bangkunya.
Tami tersentak. Ia meraba-raba lantai. "Penanya, belum ketemu."
"Pakai pena aku aja, Tam. Buat kamu selalu gratis!"
"Iya, bentar ..."
Tami terpekur. Tapi tangannya masih bergerak pelan seolah mencari-cari. Tak berapa lama, ia mengusap airmatanya. Memastikan tak ada jejak.
Dia tahu. Dia harus kembali menghadapi teman-temannya.
***
Kamu tahu apa yang terjadi jika oksigen menghilang lima detik saja? Langit menjadi gelap, semua yang di atas tanah langsung terjun bebas, semua telinga bagian dalam akan meledak. Kesimpulannya kiamat. Seperti Tami yang mengalami kiamat-nya dan sepertinya ia merasa baru saja jatuh bebas dari pijakan dan tidak mengerti ke mana akan mendarat. Telinga sakit mendengar obrolan teman-temannya seharian ini.
Padahal Tami pikir ia tidak akan kecewa ketika Alya bercerita dengan amat pelan di belakang kelas bahwa Runi sudah menembaknya kemarin. Tidak akan berpengaruh apa pun ketika Tami menatap pipi merah Alya yang tidak bisa ia sembunyikan sama sekali. Padahal Tami pikir ia tidak akan merasakan suatu perasaan yang ia gagal memberinya nama. Tapi sepertinya ada berjuta jarum yang menusuk pelan-pelan ke dadanya.
Apa yang salah dari keputusannya? Bukannya cinta itu kata kerja? Rupanya cinta itu memiliki dirinya sendiri sehingga dia juga bisa dan berhak memutuskan sesuka hati akan pergi ke mana dia. Tapi rasanya cinta benar-benar sudah menipunya. Berpura-pura tidak ada di dalam ruang hatinya ternyata hanya bersembunyi atau memakai baju tak kasat mata sehingga Tami gagal mengenalnya. Gagal.
Semua tentang Runi selalu bergaung di sekitarmya, bahkan saat Tami tidak ingin mendengar, lagi-lagi kabar tentangnya seperti dibisikkan angin. Tami kira ia jatuh cinta pada Rizal. Rizal yang baik dan sopan dan cerdas dan semuanya. Semuanya indah sampai ia dengan naif menerjemahkan perasaan itu dengan cinta.
Siang itu, jam istirahat Tami manfaatkan untuk menyendiri seperti yang ia rencanakan. Berita tadi pagi memang sangat mengejutkan. Ia benar-benar tidak bisa fokus pada pelajaran. Alya yang sejak tadi mencari-carinya akhirnya menemukan Tami duduk berselonjor kaki di belakang kelas, tapi entah mengapa kali ini Tami lain sekali. Tak ada buku di tangannya. Dengan cepat Alya meminta maaf karena baru bercerita pada Lidiya. Tami tebak, anak itu pasti ingin cerita soal Runi.
"Terus, kamu jawab apa?"
"Hmmm ..."
Tami tak melepas tatapannya pada Alya. Dia heran, kenapa jantungnya berdegup kencang.
"Aku belum jawab."
"Belum?" Tami balik bertanya.
"Iya, belum."
"Kenapa?"
Alya tersenyum. Manis sekali. "Ya ... kita udah semester dua, bentar lagi UN ... aku bakal jawab di pesta perpisahan kita."
Tami mengulum bibirnya. Tiba-tiba ia kaget pada perubahan kecepatan degup jantungnya. "Kamu bakal jawab apa?"
"Jawab apa ya, Tam?" Alya menggigit bibirnya.
"Kamu suka dia nggak?"
"Suka."
"Su ... suka?"
"Siapa sih yang nggak tersanjung kalau ada yang suka sama kita, Tam?" Alya mengangkat alis, tersenyum-senyum." Tapi kalau aku nggak suka pun, aku sangat menghargai dia, Tam."
Tami ber-oh seperti khas dirinya. Kemudian mengangguk-angguk, tersenyum pada Alya.
Tersanjung? Berarti selama ini aku kelainan gitu?
"Kamu suka karena disukai, atau karena kamu memang suka?"
"Kamu kayak wartawan infotainment ya. Aku belum tahu ... makanya aku belum mau jawab."
"Kalau kamu tolak, dia patah hati ..." Tami belum puas.
"Hmm ... resiko jatuh cinta, Tam."
Tami mengangguk lagi. Tertegun lebih tepatnya.
Iya. Resiko jatuh cinta. Dan Runi sudah jatuh cinta pada Alya. Itu kesimpulannya.
Itu artinya Runi nggak suka lagi sama aku?
"Tapi kalau kamu terima, dia bahagia."
"Kamu nggak mikirin kebahagiaan aku?"
Tami mengerang. "Jadi kamu suka atau nggak?"
"Hehehe ... Suka Tam ...! Suka! Sejak dia datang ke sekolah ini ... sejak dia nolong aku saat diganggu Ical dulu ... Tapi itu belum cukup. Seperti yang kita tahu-dia itu yah, bandel banget. Tapi, Tam ... kamu tahu nggak? Saat aku membenci dia, aku malah menyukai dia. Dan saat aku menyukai dia, aku malah membenci dia," ucap Alya, tertawa getir. "Makanya aku nggak langsung jawab. Nanti abis UN, pas pesta perpisahan, aku akan jawab."
Tami tercenung. Tapi tidak lama. "Dari cara jawab kamu, kayaknya aku sudah tahu kamu suka atau nggak ..." ujar Tami, disusul Alya yang tersenyum begitu manis.
"Tami, aku nggak mau jadi pengecut lagi. Aku akan bilang ya kalau iya, dan tidak kalau itu tidak."
Tami tersenyum. Ia mengangguk pelan.
Kemudian diam.
"Aku ke WC ya ..." ucap Tami datar.
"Mau ditemenin?"
"Nggak usah ... mau sekalian mampir ke perpus."
"OK. Jangan lama-lama! Bentar lagi bel."
Tami mengacungkan jempolnya pada Alya. Dengan mimik wajah tenang, ia berbalik dan mulai menelusuri koridor Classic yang mengarah pada toilet. Sesekali ia menyambut lambaian satu, dua temannya yang baru saja selesai makan di kantin dan bermaksud masuk kelas. Berkata hei, oi, atau iya.
Gadis itu terus berjalan dengan degupan jantung yang berubah-ubah. Ia tak bisa mendefinisikan apa yang sedang ia rasakan. Perasaannya, pikirannya, ingatannya. Semua itu seperti benang kusut. Tami betulan kaget dengan apa yang baru saja ia dengar. Mendadak, ia merasa gila.
Pun di dalam toilet, Tami berdiri mematung.
Pikirannya sudah melayang pada hari-hari ketika Runi mencoba mendekatinya. Hari ketika Runi memberi salam, hari ketika di lapangan upacara, hari ketika di Candi, hutan kota ... hari ketika Runi menyelamatkannya dari siraman air seni. Hari ketika Runi menghiburnya. Hari-hari itu. Tami tercenung. Hari itu juga adalah hari ketika ia berusaha berpura-pura tidak tahu terhadap semua perasaan Runi, semua hal tentang Runi.
Aku sangat menghargai dia, Tam.
Tami teringat pada ucapan Alya. Menghargai? Tami mendengkus kesal. Tidak ada tempat untuk orang yang tak pernah menghargai. Apa kabar dirinya yang selama ini bersikap tidak baik pada Runi? Jangankan SMS-an, nyuekin sih iya. Padahal seharusnya ia bisa sedikit menghargai. Sedikit saja. Karena, siapa pun tidak ada yang bisa berbuat apa-apa ketika jatuh cinta. Perasaan itu fitrah. Tidak ada yang salah dari orang yang jatuh cinta.
Nggak, aku sangat menghargai dia. Cuma caranya aja yang beda.
Tami mendebat dirinya.
Bukannya kalo nggak ngasih harapan apa pun, justru lebih baik?
Ia mengangguk.
Tapi bagus lah, aku jadi lega. Berarti dia sudah nggak buta lagi.
Tami tersenyum kecil. Terasa getir.
Berarti aku bisa bersikap biasa sama dia. Bisa temenan tanpa canggung.
Tami mengangguk lagi. Setuju pada argumennya yang satu ini.
Sekarang dia benar-benar menyangka aku betulan nggak peka ...
Tami mengangguk lagi. Tapi kali ini dalam anggukan yang pelan. Ia heran. Seharusnya ia tidak jadi bengong seperti ini. Seharusnya ia tidak merasakan apa-apa. Tapi mengapa rasanya lain sekali. Karena setiap ia mendebat dirinya, saat itu juga air matanya jatuh seketika. Tami melangkah ke arah wastafel. Menghidupkan kran air dan mencuci muka. Berharap air bisa membuat samar pada matanya yang basah.
Untuk kali pertama, akhirnya ia menyadari.
Ia kehilangan.
***
________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro