Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Tukang Urut Dari Gua Hantu

Finally, I find you ...
(Arunika)

*
🎧 Tak Terganti - Michael Says

***

Selain bunga matahari, Tami juga menyukai cahaya pagi. Baginya, dua hal itu komponen yang sangat selaras. Dua hal yang melambangkan keberanian dan keceriaan. Benar-benar gambaran terbalik untuk karakter Tami yang redup. Tapi di situlah letak keunikannya. Sisi lain dari seorang Tami yang dikenal nerdy-misterius. Tak akan ada yang menyangka kalau ia menyukai dua hal yang cerah itu. Setidaknya itu satu-satunya aktivitas Tami yang bisa menunjukkan sisi lain dirinya. Sesuatu yang membuat ia merasa normal adanya. Bukan Tami yang tak memiliki semangat sebagaimana ia dikenal di sekolah.

Tami jatuh cinta pada waktu yang brilian itu. Di antara potongan-potongan penting dalam satu hari, hanya pagi yang membuatnya takjub dan mengerti banyak hal. Baginya, dirinya sama seperti sebentangan pepohonan di sekitarnya saat ini, persis seperti klorofil pada dedaunan yang akan menemukan napas baru jika matahari datang, atau embun yang tabah jika harus menguap karena sinar matahari.

Tami itu periang untuk hal-hal tertentu. Termasuk pada waktu-waktu saat ini. Anggap saja refleksi kecintaannya pada kisah 'Itik buruk rupa' ketika di pagi hari menemukan dirinya sudah menjadi angsa. Pagi memang yang bisa mengubah emosi dan imaji Tami untuk lebih tenang dan hangat dari sebelum-sebelumnya. Pagi adalah waktu yang memberi lembaran baru. Dan yang memutus tangis tadi malam. Yang sepanjang perjalanan pulang sekolah, Tami tahan agar tak pecah di sembarang tempat dan menjadi tontonan banyak orang. Matanya memang sudah terlatih untuk tidak mencecerkan air mata di tempat umum.

"Kehilangan self esteem ya?"

Sebuah suara nge-bass itu memecah pertapaan Tami.

Gadis itu melonjak. Tapi berusaha diam tak menggubris. Ia memutuskan tak menoleh sama sekali. Meski diam-diam ia mengawasi seorang tamu yang masuk ke kerajaan sun-sun-nya.

Runi.

Cowok itu terlihat takjub, memandangi bunga-bunga matahari yang tumbuh subur dan banyak di sekelilingnya. Apa yang terjadi kalau Matahari datang menemui bunga Matahari? Bagi Tami, Runi adalah Matahari.

Runi berdeham. Sekali lagi.

Aksi cuek Tami jelas punya tujuan. Supaya cowok itu cepat pergi dari sini. Bahkan, sejujurnya, tak menoleh pun ia tahu siapa yang datang. Suara itu kentara sekali. Bagaimana ia tidak mengingat sebuah suara khas yang selalu berseliweran di dalam kelas. Suara yang memecah kesunyian kelas, yang memancing siapa pun untuk tertawa, yang selalu memberi lawakan-lawakan segar, yang setiap pagi berteriak, "Kaisar, nyontek PR lo ...!" atau celoteh "Anjrit, kantong celanaku boloong. Duit 50.000 aku lenyap!"

Tapi ia tak kunjung menambal kantong yang bolong itu. Maka jadilah celoteh itu sering Tami dengar. Bodoh sekali kan ...?

Siapa yang tidak ingat dengan suara jail itu. Harus Tami akui, dialah Matahari. Dia memang punya sebagian sifat itu. Matahari yang selalu dikelilingi planet-planet, yang menghidupi pepohonan, menguapkan air dari tempat-tempat yang jauh dan mencairkan yang beku. Itulah yang cowok itu lakukan di sekolah.

Bagi Tami, Runi tak perlu duduk di samping Tami untuk bisa menguapkan kebekuan Tami yang ia lakoni setiap hari. Runi memang tak perlu dekat-dekat Tami untuk mencuri perhatian. Karena suaranya, sifatnya, dan semuanya memang sudah mencuri perhatian siapa pun.

Jadi, wajar kan? Siapa yang tidak bisa tidak ingat dengan suara itu?

Sekali lagi, Runi berdeham. Sekarang ia sudah duduk di samping Tami. Membuat hati Tami rincah dan berkata dalam hati, ya Tuhan, di antara semua manusia di dunia mengapa dia yang harus ada di sini?

Tami mendengkus kesal.

"Kenapa kamu di sini?"

Runi tersenyum penuh arti antara lucu dan kesal. Wajahnya terkesan seolah sedang menangkap basah sesuatu. Ia tengah menghadapi seorang pembolos kelas berat yang sudah ditebak sarangnya.

"Self-esteem ... kamu kehilangan hal itu kan?"

Kamu sendiri, krisis identitas. Cuma seorang cowok yang bisanya merugikan orang lain dan diri sendiri. Tami membatin.

"Aku kebetulan lewat sini. Ternyata ini rumah kamu, ya?" kata Runi sambil mengusap dedaunan bunga matahari. Bohong! Aku nyariin kamu Tami.

Gadis itu tak akan pernah tahu kalau kemarin Ibunya datang ke sekolah menemui pihak sekolah, meminta maaf karena tingkah Tami. Runi tak sengaja mendengarnya, saat ia sedang menyelesaikan tugas kewarganegaraan dari Bu Rosde.

"Ternyata kamu benar-benar suka bunga Matahari." Runi menoleh. menunggu reaksi. Sementara Tami mengernyitkan dahi. Perutnya sudah melilit.

Hening lagi.

Runi nampak menimang-nimang kata. Baron pernah bilang, Tami itu pendengar yang baik. Ia menggunakan kedua telinganya dengan sangat baik. Sekalipun tak menjawab, ia mendengar dan mengingat dengan sangat baik. Jadi bicara saja terus dengannya, walau harus menderita kegondokan.

"Menurutku, kamu hanya terdesak." kata Runi memecah sepi. "Kalo aku jadi kamu, aku mungkin bertindak lebih jauh. Mungkin pakai golok. Hehe ..." Matanya menatap lurus ke depan, mengabaikan Tami yang terbeliak memandangnya. Berhasil! Dia dengar. Pasti dia bertanya-tanya siapa yang menceritakan kisah itu.

"Atau aku tonjok hidungnya." Runi mengangkat tangannya yang sudah terkepal. Tami nampak syok memandangnya. Oh ya, Baron bilang, Tami benci aksi kekerasan dan segala hal tentang peloncoan. Runi langsung menurunkan tangan. Kikuk.

"Atau aku curi ban motornya, lalu aku hanyutkan ke sungai Batanghari." Runi makin menjiwai. "OH! Atau aku siram pakai air kencing lagi plus kobokan bekas anak-anak makan di bilik 13. Atau ..."

Tami mulai jijik. "Udah ... nggak usah diterusin."

Runi mengekeh. "Tapi, kalau boleh jujur, aku pengen ketawa." Runi betulan sedang menahan tawa. "Rupanya Jo dari kecil memang nyebelin ya. Itu anak ternyata belum sadar-sadar juga. Hahaha ..."

"Dan lucunya lagi, ternyata kita terhubung sama orang kayak dia."

Angin pagi berhembus, menerpa apa saja termasuk mereka berdua. Menerbangkan kata-kata terakhir Runi ke gendang telinga Tami. Gadis itu menggaruk tengkuknya. Merespon dengan volume suara yang di mute alias nol besar. Tapi Runi mulai maklum.

"Kamu tahu nggak? Aku dulu korban bullying juga pas SD. Aku dulu cengeng. Aku sering diejek anak Mama. Apalagi namaku kan kayak nama cewek, jadi mereka makin jadi. Aku bahkan sampai pindah sekolah." kata Runi sambil memandang perempuan di sampingnya. "Mamaku akhirnya bikinin aku kue setiap hari dengan porsi banyak biar bisa bagi-bagi temenku. Jadi mereka mau main sama aku, maksudnya main sama kue. Aku juga nggak merengek minta pindah sekolah lagi. Karena aku sudah dua tahun di sana. Mau pindah sekalipun, kalau kesalahannya ada padaku, itu tidak akan mengubah apapun."

Tami menghela napas. "Jadi kamu mau bilang kalau siswa yang di bully itu murni karena kesalahan dia, ketololan dia, nasib dia, jadi dia pantas menerimanya?"

"Loh? Bukan begitu— Bagiku, Bullying tetap nggak asik."

"Lalu?"

"Yah, aku hanya ..." Runi menggaruk kepalanya. "Aku hanya nggak mau lari lagi. Mamaku bilang kita harusnya mengoreksi diri kita terlebih dahulu sebelum menyalahkan orang lain. Maksudnya ... daripada mikirin penilaian orang mending kita fokus pada diri kita sendiri. Kamu tahu kisah Luqman dan anaknya nggak?"

"Hmmm." Tami hanya bergumam. Kata Baron, itu artinya Tami menyimak.

"Luqman dan anaknya pernah mau pergi ke suatu tempat. Mereka hanya punya seekor keledai sebagai kendaraan. Luqman menuntun keledai sementara anaknya duduk di atas punggung keledai. Saat mereka tiba di daerah A, orang-orang berkomentar kalau anak Luqman itu kurang ajar karena membiarkan ayahnya berjalan. Sementara dia enak-enakan naik keledai. Jadi mereka tukar posisi. Tapi setiba di daerah B, orang-orang kembali komentar, betapa teganya Luqman pada anaknya karena membiarkan anaknya berjalan kaki. Sementara Luqman enak-enakan naik keledai. Terus akhirnya mereka berdua menunggangi keledai itu. Setiba di daerah lain, orang-orang berkomentar kalau mereka jahat banget sama keledai itu. Karena keledai itu jadi keberatan beban. Lalu ... akhirnya mereka berdua tidak menunggangi keledai itu sama sekali. Mereka hanya menuntunnya berjalan bersama-sama. Tapi orang-orang berkomentar lagi, betapa bodohnya Luqman dan anaknya. Ada keledai tapi kenapa nggak di pakai?"

Runi tersenyum kecil. "Tami, satu hal yang perlu kamu tau, kita nggak akan pernah bisa memuaskan semua orang di dunia ini."

Tami tercenung.

"Di dunia ini ada milyaran manusia. Tapi lucunya, kenapa selalu ada satu orang yang bisa bikin kita nggak karuan?" ucap Runi pelan. Entah kenapa saat mengatakan itu, hati Runi terasa nyeri. Ia teringat keluarganya. "Tami, jangan jadikan Jo satu orang itu. Dia nggak cukup berharga untuk jadi satu orang itu. Jangan sampai satu kutu kayak Jo atau mereka-mereka itu, menghancurkan hari-hari kamu. Menjadi pemegang kunci kebahagiaan kamu. Jangan biarkan mereka menjadi pengendali emosi kamu, jadi penentu bahagia dan sedih kamu." sebuah nasihat bijak meloncat begitu saja dari mulut Runi. "Cukup perhatikan orang-orang yang sayang sama kamu saja."

Pandangan Tami menerawang. Ia menelan satu persatu ucapan Runi barusan. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bicara.

"Lima tahun yang lalu memang ada, koran lokal memuat berita penganiayaan di sekolah dasar. Aku memang melakukannya. Tapi sekolah cukup berbaik hati meredam media supaya nggak sampai nasional. Dan itu selesai dengan anggapan pertengkaran anak kecil. Aku ... kepaksa ... marah ..."

"Ya?"

"Mereka gangguin aku terus ... nggak ada yang bela ..."

"...."

"Ibu guru cuma negur dan suruh mereka minta maaf ... mereka minta maaf. Tapi besok ngulang lagi ..."

"...."

"Mama Jo marah sekali sama aku ... Aku takut masuk sekolah ..."

"...."

Tami terdiam, mencoba menahan dirinya.

"Easy, Tam ... nangis aja."

"Kenapa orang dewasa selalu menganggap enteng masalah anak kecil? Mereka hanya menyuruh kami bersalaman dan tidak peduli apa yang akan terjadi dengan harga diriku."

"Orang dewasa memang rumit. Mereka sudah punya kerumitan sendiri jadi mereka kadang lupa tentang kita."

"Aku takut satu sekolah dengan mereka ... aku rela melakukan apa aja asalkan nggak pernah ketemu mereka lagi ...." Tami sudah terisak. Runi terpaku.

"Aku lega pas tau aku bisa masuk Classics. SMA tempat jin buang anak. SMA yang tidak akan pernah diinginkan oleh orang sesombong Jo ... SMA terjauh yang pernah aku jangkau ... jauh dari tempat mereka tinggal dan sekolah ...."

"...."

"Dan nggak ada mereka ..."

Runi termangu.

"Aku nggak mau banyak omong .... aku takut salah ... Kenapa jadi salah juga ...?"

Aku ingin punya teman dan kehidupan persahabatan yang menyenangkan. Aku belum menemukan ketulusan, meski aku tahu, di dunia ini hal seperti itu masih ada. Karena itu, sejak dulu aku mencari. Aku sadar bahwa aku sudah nyaris kehabisan waktu untuk menemukan ketulusan persahabatan itu. Dan sekarang, aku nggak tahu, apa aku masih bisa mendapatkan ketulusan persahabatan itu juga? Aku cuma ingin hidup bahagia seperti yang lain ...

"Gila ya, kamu bela-belain nyari sekolah terjauh biar nggak ketemu mereka. Tapi malah ketemu?"

Tami mengangguk.

"You're so naive! Really. Rumah kamu memang jauh dari Classic, tapi kan, Classics dekat dengan rumah Baron, mungkin Jo."

"Iya ... aku bodoh." Tami menunduk.

Runi mengerti sekali. Ia ingin menyeka air mata Tami saat itu juga. Tapi urung ia lakukan. Tami tidak akan suka.

"Kamu ... cukup perhatikan teman-teman yang memang sayang sama kamu. Lupakan ketakutan-ketakutan itu." nada bicara Runi begitu tenang. Beda dengan Runi yang gila dan temperamen seperti biasanya. "Kamu anak baik, Tam. Aku tahu, kamu selalu berusaha melakukan apa saja supaya temen-temen kamu seneng. Kamu rela lelah demi Lid yang hiperaktif, mendengarkan semua ocehan dia. Kamu rela melindungi Alya yang yah ... cukup rapuh? Kamu rela mendengar apa saja keluhan Tiara, meskipun sebenarnya dia memang suka ngeluh. Kamu rela—" Runi berhenti bicara. Tiba-tiba ia jadi gugup. "Yah ... seperti itu. Aku ngeliatnya aja capek."

Tami termangu.

Sudah sejauh apa dia memperhatikannya selama ini?

"Bagiku, kamu anak baik. Lambat laun, orang-orang akan sadar itu. Mereka juga akan lupa kesalahan kamu hari itu."

Mata prominent Tami berkedut.

Kamu kan anak baik ...

Tami terisak.

Runi mengipas-ngipas Tami dengan satu-satunya buku yang ada di dalam tasnya yang kecil. Membuat helaian rambut gadis itu bergerak-gerak. Pikirnya, hanya dengan ini ia bisa membuat Tami rileks.

"Dan sebenarnya, Tam." Runi bicara pelan. "Mereka pun rela bersabar atas sikap nggak pedulian kamu selama ini. Jadi bisakah kamu sedikit memperhatikan mereka?"

Tami menoleh juga pada cowok spikey di sampingnya itu. Pandangannya setengah kosong, setengah bertanya. Di hadapannya, Runi terlihat aneh dengan kacamata hitam anti silau yang dikenakannya.

"Aku bijak ya? Hehehe ... itu pesan Papaku sih."

"Orangtua kamu hebat."

Runi mendengkus. "Nggak juga. Kadang mereka bodoh. Sekarang juga mereka lagi bodoh."

Runi garuk-garuk kepala. Ia segera menghentikan omongannya sebelum Tami mengira kalau ia anak durhaka. Tapi dalam hatinya ia tetap setuju dengan ucapannya barusan. Mama yang sampai sekarang kerap menangis tengah malam. Papa yang tidak pernah datang menjemput. Mereka memang bodoh.

"Aku juga sudah memikirkannya, Tam."

"Apa?"

"Soal cita-cita. Aku akan cari cita-citaku."

Tami tersenyum. Tapi kemudian memandang Runi lurus-lurus.

"Kamu lagi coba tren baru?"

"Apa?"

Tami menunjuk ke arah kacamata hitam yang Runi pakai. Sadar dengan reaksi Tami ketika melihat dirinya, Runi cepat-cepat memberi klarifikasi.

"Nggak usah heran, aku sakit mata."

Tami ber-oh kecil.

"Selama kamu nggak sekolah, Kaisar sakit mata. Dia ke sekolah pakai kacamata item kayak di pantai. Aku ngajarin anak-anak buat ngatain Kaisar; Tukang urut dari gua hantu. Sekarang aku ketularan."

Oh. Tami memasang wajah seperti orang sembelit.

"Oh ya. Ada yang mau ketemu kamu."

"Siapa?"

"Tuh, lihat aja."

Tami mengangkat alisnya. Ia bangkit dari posisi, keluar dari kungkungan bunga-bunga Mataharinya. Dilihatnya, di teras rumah, tiga orang yang paling ia sukai sudah duduk mengobrol dengan kedua orangtuanya. Pak Zul, Pak Tendi dan Ibu Winda.

***

Ponsel itu berdering. Tami gelisah. Sampai akhirnya ia putuskan mengangkat panggilan itu.

"Halo?"

"Hoi, Depa! Kurang seribu ini! Harga pena ini kan 3000!"

"Mahal nian, woy! Nak beli rumah kau yo?"

"Halo?"

" Eh, apo dio? Kalo aku jual 2500, macem mano nak untung. Loh, loh, Olin! Itu keripik aku!!"

"Halo?"

"Eh, itu, itu, nyambung tuh!"

Terdengar suara kasak-kusuk di seberang sana.

"Halo?!"

"Ha-halo."

"Halo?!"

"Halo."

"Halo?!"

"Halo."

"Haloooow?! Tamtam! Memangnya kita Miss Halo-halo!? Kau di mana?"

"Lidiya ...?"

"Yaaa, di mana kau?"

"Bukannya kamu marah sama aku? Nggak mau berteman lagi. Kok ... nelpon?"

"DIEM KAOO ...!!! Di mana kau kuncen perpus???!! Benci nian aku sama kau Juleha ...!!! Payah nian hubungin kau ...!!!"

"Iya ... aku—"

"Entahlah ya, kau tuh ya, beratus-ratus kali mungkin aku udah hubungin kau. Tolonglah ya, aku request pertemanan di facebook nggak di confirm, Aku message facebook nggak dibales, kirim SMS pun nggak dibales, email, friendster, surat kaleng, telepati, mimpi, bla bla bla bla ..."

Tami menggigit bibirnya. Rasanya ia ingin menangis di bahu cewek barbar ini.

"Lid ... aku kangen banget sama kamu ..."

"Besok sekolah nggak? Sekolah kan? Kurang ajar banget kalo nggak sekolah lagi!"

Lid terus memaki-maki. Terdengar seperti suara Lid menggebrak meja. Dan suara ribut sebagai backsound, Alya yang terdengar seperti sedang menenangkan Lid, Tiara dan Olin sedang menyanyikan lagu Amigos x Siempre dipadu lagu Kepompong dengan heboh. Sesekali berteriak-teriak "Tami, Tami, besok sekolah yaa! Olin ketemu cowok ganteng. Kemarin pingsan!!"

"Iya ..."

"Besok ada waktu nggak? Gila aja kalo aku marah sama kau. Nggak sistaa ...!! Pokoknya besok kau sekolah. Banyak bahan ceritaku. Banyak nian. Aku malas banyak cerita di sini. Besok aku tunggu kau di kelas. Awas kalo nggak sekolah lagi! Lah tu ...!!"

Tut ... tut ... tut ...

Sambungan ditutup sepihak.

Tami tak bisa menahan lonjakan emosinya. Ia tertawa di antara derai airmata.

***

_____________
AN.
Akhirnya sampai juga di part Tami dan Runi (setidaknya) bisa ngobrol.
Ada yang sadar nggak, Runi suka senja. Tami suka Fajar. Runi matahari, dan Tami bunga Mataharinya.

Btw, itu bunga mataharinya di geser. Ada lagunya. Padahal itu soundtrack film Horor, tapi maknanya bagus banget. Cocok buat Tami juga. Ada kata "Maaf, takut, ragu.

Makasih sudah baca dan bertahan sampai sini. Dan memberi apresiasi. Bahkan menunggu kelanjutannya. Aku tau cerita ini masih banyak kekurangan. Di awal ritmenya lambat. Dan gak se-baper cerita lain yang pernah kamu baca. Tapi, aku nggak akan pernah bisa memuaskan semua pembaca wattpad. Jadi intinya makasih ya. 🌞🌻

Nb : konflik belum selesai

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro