Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Gadis Kecil Dan Sebilah Pisau (2)

(subjudul : Satu panggilan yang akhirnya Ia dengar lagi)

*

''Cita-cita orang yang merdeka dapat menghidupkan yang telah hancur''
(Iqbal - Syair Arab)

***

"Jongkok semuanya!" hardik seorang polisi muda dengan badge Arwan. Ia berdiri sambil berkacak pinggang memandangi sekitar 30 remaja yang terlibat tawuran tadi siang. Pemuda-pemuda itu mengikuti perintah tanpa perlawanan sama sekali.

"Diam di sini! Renungi kesalahan kalian! Mau jadi apa kalian, hah?!" teriak Arwan lagi. Ia sengaja menjemur mereka di terik matahari. Tak ada korban jiwa dan luka berat. Tapi pihak polisi akan tetap memberi ganjaran.

Hening.

Baik Runi atau siapapun, tak ada yang mau berbicara.

Arwan melangkah ke belakang. Sekitar sepuluh lelaki duduk dengan wajah kecut di bangku panjang sedang menatap murid-murid mereka. Arwan tahu mereka adalah perwakilan dari Classic dan Smanpa.

"Bapak, apa yang akan bapak lakukan dengan anak-anak ini?" Pak Zul memulai pembicaraan. Seorang lelaki yang lain, bernama Acendra juga berdiri. Ia adalah kepala sekolah Smanpa.

Arwan menatap dalam ke bola mata lelaki tua itu. Ada luka di sana. "Pak guru, justru saya mau tanya, apa hukuman yang boleh kami berikan?"

Pak Zul menghela napas. Tendi sudah berada di sisinya. Arwan mengerti betul keadaan saat ini. Bagaimanapun, anak-anak yang sedang dijemur itu masih di bawah umur. Mereka masih dalam proses pencarian jati diri dan mudah meledak. Hukuman terlalu keras akan berbahaya. Sebaliknya, tidak dihukum justru semakin berbahaya.

"Saya tahu." kata Arman pada guru-guru itu. Ia menatap rekapitulasi data siswa yang baru saja ia terima dari petugas. Dua jam yang lalu anak-anak itu diinterogasi.

***

Usai mengatakan saya tahu, tak sampai satu jam, semua orangtua siswa yang terlibat tawuran sudah hadir di kantor polisi. Mereka berdiri berjejeran dengan wajah terlipat. Beberapa di antara mereka sudah menangis dan mengelap ingus. Merasa malu dengan tingkah anak mereka.

Runi menelan ludah. Sejak tadi ia memang menerka-nerka hukuman apa yang akan ia dapatkan karena bagaimanapun, ia masih peduli pada masa sekolahnya. Terbersit rasa khawatir jika ia harus di DO. Dengan malas, ia melirik ke arah Kaisar yang amat terlihat cemasnya. Secara teknis, ia memang tidak ikut menonjok. Tetapi dia adalah orang yang harus bertanggung jawab atas melayangnya setengah dari batu bata milik proyek. Baron sendiri terlihat tegar, sesekali ia masih sempat menggaruk-garuk kepalanya yang berketombe dan berbisik pada Runi kalau ia akan bernazar.

"Kalau mereka memaafkan kita, aku akan keramas."

Runi menggelosor di tanah. Di depannya ada Jo yang wajahnya sudah tidak terlihat tampan lagi. Dan ia diam sejak tadi.

Tak lama berselang, Arman kembali ke hadapan mereka sambil membawa selembar kertas. Ia mengedarkan pandangan sebentar dan mulai berteriak lantang, "Kalian sudah melanggar pasal 170 KUHP. Kalian sudah melakukan pengroyokan dan pengrusakan."

Semua remaja itu cemas sekarang. Seno, salah satu teman Jo sudah menangis tersedu-sedu. Polisi itu sudah menjelaskan panjang lebar tentang ancaman hukuman yang harus mereka jalani berupa penjara maksimal 12 tahun.

Runi mulai was-was. Ia sungguh-sungguh masih ingin sekolah.

"Tetapi, berterimakasihlah kepada Tuhan bahwa kalian telah memiliki orang yang akan pertama kali datang saat kalian dalam kesulitan." ungkap Arman diplomatis. "Kami hukum kalian mencuci kaki Ibu dan Bapak kalian."

Runi merasa tawar. Marina tentunya sudah berangkat ke proyek eskavasi. Ia tidak akan punya siapapun hari ini. Sambil berselonjor kaki, Runi melihat para petugas mulai menyiapkan baskom-baskom berisikan air. Semua orangtua diminta dengan hormat untuk duduk di kursi mereka.

Baron yang sejak tadi bersikap biasa saja terlihat tercenung. Bapaknya sudah duduk menunggunya. Lelaki itu terlihat gelisah dengan menggosok-gosokkan telapak tangannya yang kasar. Guratan di wajahnya menggambarkan usianya yang tak lagi muda. Di bahunya yang ringkih, sebuah beban sedang ia tanggung.

Baron terlihat gugup.

"Itu Bapak kau, Ron?" tanya Runi, mengikuti arah pandangan Baron.

Baron berjengit. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Tidak ingin menjawab sama sekali. Toh tanpa menjawab pun, akhirnya semua orang akan tahu kalau lelaki tua yang selama ini bekerja sebagai kuli bangunan di proyek pembangunan rumah mewah itu adalah Bapaknya.

"Kenapa nggak bilang ke kita?" Runi bertanya lagi.

Baron tersenyum masam. "Memang kalau bilang, mau apa?"

"Ya kan, aku sering ketemu Bapakmu di depan sekolah. Kalau tau kan, bisa kusapa atau cium tangan Bapakmu itu. Aduh-malah Bapak pernah mergokin aku ngerokok lagi. Beliau masih bolehin nggak ya, kita main bareng?"

Baron terkesiap. "Kau ... nggak risih?"

Runi menautkan alis. Lalu menggelengkan kepala. "Pantesan kau ranking terakhir, Ron. Ya Tuhan ... Sono lo! Minta maaf sama Bapak lo!" katanya sambil mendorong-dorong tubuh Baron.

Baron melangkah pelan ke arah Bapaknya. Ada gelenyar hangat yang merayap di jantungnya. Gelenyar itu lalu berubah menjadi degup jantung yang lebih kencang lalu tiba-tiba saja membuat matanya jadi perih.

"Dasar little brat ..." desis Runi saat melihat Baron sudah jatuh memeluk kaki bapaknya. Ia memandang teman-temannya sedang khusyuk mencuci kaki orangtua mereka. Termasuk Kaisar. Anak itu sedang tenggelam dalam pelukan Ibunya.

Runi meringis. Badannya masih sakit-sakit. Dan ketika ia menoleh ke arah selatan, darah Runi langsung berdesir. Mama di sana, berdiri sambil menatapnya dengan tatapan terluka.

Ketika namanya dipanggil, Runi berjalan tertunduk ke hadapan Marina-Mamanya terlihat jauh lebih kacau-dan ia mulai berjongkok tanpa menatap Mama sekalipun. Ia tahu sejak tadi Mamanya mencoba untuk menatapnya. Tapi Runi tak sanggup bertemu mata dengan perempuan yang melahirkannya saat ini. Pelan-pelan Runi membasuhkan telapak kaki Mama dengan air.

"Kamu marah sama Mama?"

Runi terdiam.

"Kamu marah karena Mama minta kamu masuk jurusan itu?"

"Nggak."

"Kamu punya masalah?"

"Nggak."

"Apa kamu-masih marah karena kita pindah ke kota ini?" suara Mama bergetar. Perempuan itu melanjutkan pertanyaannya. "Kamu marah sama Mama dan Papa?"

Runi menggeleng keras. "Mama marah?"

"..."

Runi menggigit bibirnya. Mama tak memberi jawaban apapun.

"Mama marah?" ulangnya lagi.

"Iya."

Runi membisu. Ia ingat pesan Mamanya tadi pagi untuk langsung pulang tanpa mampir ke rumah Kaisar, rumah Baron atau studio Cozy seperti biasanya, Mama juga melarangnya mengamen demi mendapatkan modal untuk bermain PS atau membeli tiket pulang ke Jakarta.

"Mama udah masak masakan kesukaan kamu." Runi mengiyakan sambil berlalu pergi. Tetapi ia tidak benar-benar yakin akan pulang cepat.

Sewaktu di sekolah dasar, Runi pernah bertengkar dengan temannya karena ia diledek anak Mami lantaran selalu membawa bekal. Sejak itu, diam-diam ia akan meninggalkan bekal nasinya saat Mama sudah memasukkannya ke dalam tas. Seminggu ia lakukan itu, dengan menanggung resiko perut lapar. Sampai akhirnya Mama mengetahuinya. Sambil mendekap kedua bahu anaknya, ia berkata,

"Bawa bekalmu. Bawa bekal buatan Mama. Nun jauh di sana, ada banyak orang yang justru ingin selalu memakan bekal buatan Ibunya." Sejak itu Runi kembali membawa bekalnya dan menutup telinga ketika teman-temannya meledek. Mama juga selalu berkata kalau laki-laki sejati tidak akan pernah bertengkar melainkan karena menjaga kehormatan perempuan, negara atau agama. Runi menyimpan nasehat itu di dalam tempurung kepalanya.

Sekalipun Runi beralasan kalau pertengkaran tadi karena ia marah Jo seenaknya menghina Tami, dan juga merebut Bella dari Ical, dan juga merebut Papa dari Mama. Ia tetap saja tidak bisa menjadikan itu sebagai alasan. Sebab, sebelum ia mengenal semua alasan itu, ia memang sudah terlibat konflik dengan Jo dan teman-temannya.

"Mama marah sama Runi. Tapi lebih marah pada diri sendiri karena nggak menjaga kamu dengan baik, karena nggak mendo'akan kamu lebih lama hari ini."

"Maaf, Ma ... Aku nggak akan marah-marah lagi." Runi berkata pelan. Sambil terus membasuh kaki Mamanya.

Marina mengusap kepala Runi dengan lembut. "Mama minta maaf, ya Abang ... untuk semua kehidupan kamu yang berubah karena Mama."

Mendengar itu, Runi sudah tak tahan lagi. Runi menitikkan air matanya. Dan setitik air mata jauh lebih sakit daripada tangisan yang meraung-raung. Ia memeluk kedua kaki perempuan itu sambil terus membasuh kaki Ibunya sebisa mungkin. Sementara Mama yang kaget terus mengusap-usap kepala Runi dengan perasaan kasih sayang.

Langit sore sudah menunjukkan warna tembaganya. Tetapi kesempatan mencuci kaki orangtua itu masih berlangsung dengan seulas senyum dan isak tangis. Di ujung koridor, Arman dan guru-guru menekuri pemandangan itu dengan takzim.

Di ujung koridor itu pula, sepasang suami istri berlari tergopoh-gopoh, mata mereka mencari seseorang. Tak lama, istrinya menunjuk ke arah Jo sambil menangis karena wajah anaknya yang sudah lebam tak keruan. Mereka menghampiri Jo dengan sayang. Runi ingin menghampiri Papa dan memarahinya, tapi Mama menahan lengannya, menggeleng dan meminta Runi terus mencuci kakinya.

Dari kejauhan, Jo memandang Runi dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

Tapi Runi memilih berpaling. Kembali menangis di kaki Mamanya. Tangis yang sakit.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro