Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Persahabatan atau Kesepakatan

"A friend cannot be considered a friend until he is tested in three occasions: in time of need, behind your back, and after your death."
(Ali bin Abi Thalib)

***

Sejak pertengkaran itu, Tami semakin tidak betah berlama-lama menghabiskan waktu di dalam kelas. Sejak dulu, jika ia mengalami pertengkaran dengan orang lain. Tak peduli siapa yang salah, Tami selalu merasa bahwa dialah yang paling layak disalahkan dan kehadirannya hanya membuat mood orang tersebut semakin terganggu. Dan, dalam benaknya, bertemu dengan Alya hanya akan membuat temannya itu lebih terluka lagi. Maka, Alya adalah orang yang paling ia hindari satu minggu ini. Simpel. Agar Alya bisa hidup tenang.

Tami menghela napas pelan. Masih ada 10 lembar kertas lagi yang masih kosong. Padahal sejak pulang sekolah hingga larut malam, ia sudah mengangsur hukuman itu. Sementara besok ia sudah harus mengumpulkannya ke meja Pak Zul. Karena itu, hari ini, ia sengaja ke perpustakaan untuk menyelesaikan hukumannya.

"Tami..."

Tami mendongak. Winda sudah berdiri di sampingnya.

"Saya sudah bilang ke Pak Zul kalau saya sendiri yang memberikan kunci itu ke kamu."

Tami mendorong kursinya sedikit. Ia berharap sesuatu.

"Tapi Pak Zul bilang kamu harus tetap melanjutkan hukuman ini."

"Kenapa?"

"Karena kamu berbohong."

Tami tercenung.

"Tami, kamu nggak perlu bohong untuk saya. Kamu bisa kan bilang apa adanya?" tanya Winda sambil duduk di samping Tami.

"Kalau saya nggak bohong, Ibu Winda mungkin bisa dipecat."

"Saya punya alasan bagus yang bisa membuat saya mungkin tidak dipecat." Winda menatap Tami lurus-lurus. "Ibu juga sudah dengar soal pisau itu. Itu milik Alya, kan?"

Tami mengangguk.

"Tami ... Kenapa kamu harus bohong untuk melindungi orang lain? Kalau begini terus, kamu kan yang susah? Kamu nggak perlu seperti itu."

Tami menunduk dalam. Ia mainkan pena yang ia genggam sejak tadi.

"Tami? Jawab saya ..."

"Kalau nggak begitu, ibu akan dipukuli bapak."

"Apa?"

"Ibu saya sering salah, kalau saya tidak bohong, dan menutupinya, bapak akan pukul ibu."

Winda tertegun. Ia menghela napas berat.

Kali pertama ia bertemu Tami, ia suka pada anak itu. Dia tidak seperti yang disebut-sebut guru lain sebagai anak yang terlibat pada kasus penganiayaan. Tami rajin datang ke perpus, membaca buku sampai tidak sadar kalau hari sudah sore. Winda tidak punya keinginan menegur Tami untuk pergi. Sampai akhirnya, ia mendekati Tami, saling berdiskusi dan memercayakan kunci itu padanya.

Hari ini, ia ingin sekali bilang pada Tami kalau apa yang sudah ia lakukan di ruang BP itu salah. Ia ingin bilang kalau orang lain perlu menjaga diri mereka sendiri. Tapi ketika ia ingin bilang, ia sudah memeluk Tami dengan sedih.

***

"Ngapain kamu di sini?"

Runi terlonjak. Ia segera menutupi pekerjaannya dan berdiri. Alya sudah berdiri di depannya. Tidak ingin disangka sebagai lelaki berengsek yang mencuri kesempatan, cepat-cepat Runi menjelaskan, "Aku masuk, lihat anak ini, numpang duduk aja." katanya sambil menunjuk Tami yang tertidur. "Kamu juga ngapain?"

"Nggak apa ..." Alya mendesah. Sekilas ia memandang Tami. Lalu ia duduk dan diam.

"Dari kemarin, Tami sendirian terus. Kalian berantem?"

Alya mengangguk.

"Jangan lama-lama. Nggak seru."

Alya memandang Runi. Tiba-tiba bertanya, "Menurut kamu, persahabatan bisa dibuat nggak?"

Runi mengedikkan bahu. "Bisa saja. Aku inget, dulu awal main sama Ical dan lain-lain karena menang berantem, dan mereka bilang 'Runi, mulai sekarang kamu teman kami.' Begitu. Dan sampai sekarang kami teman."

"Itu bukan persahabatan ..."

"Bukan?"

"Itu kesepakatan. Kamu nggak bisa buat persahabatan. Persahabatan muncul dengan sendirinya."

"Iya ya?" Runi tertawa kecil. "Betul juga, sih. Tapi meskipun diawali dengan kesepakatan, kami sudah melewati banyak hal. Dan yah, let it flow. Bahkan ternyata kesepakatan itu sendiri, adalah satu dari hal yang mesti dilalui dari persahabatan. Memang bego sih ... tapi kadang-kadang kita memang mengawali beberapa hal dengan niat yang salah, tapi kita bisa memperbaikinya di perjalanan."

"Meskipun begitu ... rasanya persahabatan memang tidak bisa dibuat."

"Sebenarnya Al, tanpa ucapan pun, kita hanya bisa sepakat untuk berteman, dan membiarkan waktu yang menunjukkan teman seperti apa kita. Lalu akan jadi sahabat apa kita." Runi berbicara mantap. "Kenapa ribet banget sih? temenan ya temenan aja. Manusia makhluk sosial. Tanpa harus dikasih arahan, secara naluriah mereka mencari teman."

"Meskipun bersahabat dengan orang yang salah?" Alya menyindir.

"Iya. Menurutku, berteman dengan orang berengsek itu salah. Tapi membiarkan mereka tenggelam dalam kebrengsekan mereka, itu jauh lebih salah. Kenapa kita nggak coba mengajak mereka juga untuk jadi lebih baik?"

Alya menghidu. "Butuh kekuatan yang besar untuk bisa berada di antara kebrengsekan, tapi nggak ikut-ikutan jadi berengsek."

"Yah. Benar. Tapi di mana letak brengsek kami? Kami hanya ... nakal. Kami juga nggak selalu akur. Kayak sekarang ini, aku dan Ical lagi berantem tapi kami sama-sama tahu kalau kami nggak akan bisa lama-lama berantem." Runi menukas. Memang, sikap pengecut Ical pada Tami kemarin pemicu pertengkaran mereka.

"Aku nggak bilang kamu brengsek, kan?"

Runi tersenyum. Sementara Alya melanjutkan, "Tapi kalau dipikir-pikir ... kita nggak bisa menyalahkan seseorang kenapa ia mau berteman dengan orang yang salah. Karena sebenarnya, dia sendiri punya kesalahan itu jadi dia bisa menerima kesalahan yang datang padanya."

"Tunggu, baiknya kita sebut itu bukan kesalahan. Tapi pola pikir."

Alya mengangguk. "Pola pikir. Kecocokan jiwa?"

"Iya, bisa juga."

"Prinsip?"

"Bisa."

"Pernah dengar nggak, kalau saat diciptakan, setiap ruh manusia memang sudah berkumpul bersama ruh-ruh yang cocok dengannya. Makanya pas lahir, mereka bisa ketemu lagi. Bisa klik gitu aja saat ketemu."

"Cerita yang keren."

Alya mengangguk. Ia lalu melanjutkan, "sebelum lahir di dunia, kita ada di dunia roh, dan roh kita sudah saling bertemu. Bahkan berteman. Saat lahir, kita akan mencari teman lama itu. Dan itulah sebabnya, kenapa persahabatan nggak bisa dibuat. Dia muncul gitu aja. Chemistry."

"Wow ..." Runi mengetukkan jarinya ke meja. "Tapi aku lumayan nggak percaya sama hubungan yang muncul begitu saja."

"Maksud kamu?"

"Semua yang terjadi di dunia ini selalu ada alasan, kenapa ada ini kenapa ada itu, selalu ada sejarah—kecil atau besar—di belakangnya. Termasuk sejarah kenapa kita bisa berteman dengan si A, si B dan seterusnya. Dan, cocok nggak cocok itu masalah hati. Tapi mau lanjut temenan atau gak, itu pilihan. Itu yang spesial dari manusia. Dia punya pilihan."

Sampai di sini, Alya tercenung. "Ya, bener ..." katanya pelan. Gadis itu tidak menyangka kalau Runi yang suka cengengesan itu, bisa diajak diskusi juga. "Ternyata kamu seru juga ya."

Runi tersenyum. "Kamu juga."

Hening.

"Sudah sore. Kamu nggak pulang?"

Alya melirik ke arah Tami yang masih belum bangun. Jujur, ia masih marah pada Tami. Meski ia sebenarnya tidak tahan terus perang dingin dengan Tami. "Ini mau pulang. Kamu?"

"Emm ... nunggu Kaisar dulu. Tadi janji mau pulang bareng."

"Kalian jadian?"

"Iya."

Alya tertawa. "Mesti ya nunggu Kaisar di sini?"

Runi mengangguk takzim.

***

Ketika Tami terbangun dari ketidurannya, ia menyadari tiga hal. Pertama, ia masih berada di perpustakaan. Kedua, ia menemukan setangkai bunga Matahari dengan sebuah memo bertuliskan 'Sorry' Terakhir, ia melihat bukunya sudah penuh dengan tulisan 'Saya tidak akan mengambil barang sekolah diam-diam lagi. Saya tidak akan mencuri lagi"

Tami tidak tahu siapa yang sudah membantunya menulis kalimat itu selagi tidur. Tapi dari tulisannya yang dipaksa berukuran kecil-kecil itu, mengingatkan pada Tami pada tulisan tangan di lembaran kertas resume berlabel hukuman yang sering ia lihat di meja Winda.

*** 

_____________________
AN/
Makasih sudah baca :)
Oya, berantem depan anak itu ngaruh banget sodara-sodara~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro