Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Penghuni Sarang Laba-Laba (1)

Orang yang tidak bahagia di rumahnya, tidak akan menemukan kebahagiaan di tempat lain.
(Aid al Qarni)

***


Ada satu hal yang Runi sukai dan nyaris ia lakukan setiap hari menjelang sore; memandang cahaya senja.

Baginya cahaya senja dingin dan menenangkan. Meskipun ia pernah membaca (tentu saja berkat hukuman meresume buku) kalau cahaya matahari terbenam menghasilkan sinar ultraviolet yang lebih tajam dan merusak mata. Runi toh tetap memandang satu dari keindahan bernama Kebesaran Tuhan itu. Memandang sinar matahari yang sedang menggelincir-tenggelam itu adalah kedamaian. Cahayanya yang menembaga dan satu-satu itu, menjadi nila dan lembayung berpadu dengan awan dan langit.

Cahaya antara sore dan malam adalah perantara yang sempurna. Tidak gelap tidak terang. Cukup.

Semua itu adalah produk imajinatif dari Papanya. Sejak kecil, Papa suka mengajaknya untuk memandangi sunset dan sunrise di Ancol atau di Pelabuhan Sunda Kelapa, sambil merentangkan kedua tangan untuk menikmati cahaya yang memancar dari matahari.

"Kamu tahu kenapa Papa suka sunset dan sunrise?"

"Kenapa, Pa?"

"Karena itu saat-saat langit dan bumi bertemu."

Runi tampak berseri-seri. "Seperti hujan juga?"

"Iya, benar."

"Seperti Mama juga?"

Papa tersenyum geli. "Kenapa jadi Mama?"

"Mama kan bidadari."

"Oh! Iya, iya, Mama kan bidadari kita!" Papa tertawa. Lalu berdehem. "Runi, suatu hari nanti kamu akan mengerti bagaimana kehendak langit dan kehendak bumi harus berjalan beriringan."

Hari itu Runi tak mengerti sama sekali bahkan sampai sekarang. Tapi ia tak pernah lupa bagaimana caranya mencintai saat-saat langit dan bumi bertemu. Sebagaimana Papanya yang mengajarinya banyak hal. Juga mengejutkannya dengan banyak hal.

Sesore ini, Runi berdiri di balik pagar-tembok belakang sekolah. Ia ingin menyaksikan cahaya matahari, membayangkan wajah Papanya. Tapi yang terlihat justru wajah Papa yang tersenyum bahagia bersama keluarga barunya.

Sebelum tiba di tempat sepi ini, Runi memacu kencang sepeda motornya ke rumah Jo. Mengabaikan semua tata tertib lalu lintas. Sepanjang hari ia mengawasi rumah itu. Memastikan sekali lagi apakah pria itu benar-benar Papa. Dan ketika pagi datang, ia menangkap sosok lelaki keluar dari rumah itu. Diiringi lambaian tangan Perempuan dan seorang anak kecil.

Runi menyusun semua potongan kejadian hingga semuanya lengkap;

Papa memang berada di kota ini.

"BRENGSEK! BRENGSEK! BRENGSEEEEK!"

Runi teriak. Tertawa keras. Ia memaki hingga bukit belakang sekolah menggaungkan suaranya. Tenggorokannya sampai sakit karena menahan tangis.

Ponselnya berdering. Runi tidak peduli. Ia tahu Marina sedang mencarinya. Baron, Kaisar, dan semuanya. Karena sejak ia keluar rumah pada malam itu, sejak mamanya berkata jangan benci papa, Runi pergi dari rumah.

"Oke, mau ke mana gue? Sial..." umpatnya. Ia menendang bebatuan di depannya.

Sebentar lagi sore akan berakhir. Langit sudah mulai berwarna tembaga dan dia masih berantakan di tempat ini.

Runi duduk dengan dada naik turun menahan kemarahannya sendiri. Bersandar pada tembok belakang sekolah. Ia sengaja tidak memanjat pohon akasia seperti biasa demi menghindari perhatian orang-orang. Pun saat ia berteriak tadi, suara tangis bayi langsung terdengar dari perkampungan yang berada bawah tebing tempat ia bersembunyi.

Runi menendang batu. Sekali lagi.

Tiba-tiba, dari balik tembok itu, ia mendengar suara pintu perpus sedang ditutup lalu dikunci. Runi terdiam. Ia tahu sekali siapa itu. Sosok yang selalu pulang sekolah paling sore, yang selalu ada di perpustakaan itu.

Tami.

Runi tersenyum tawar. Peduli setan. Gadis itu pun selama ini mengabaikannya. Biarkan saja dia. Dan silakan pulang tanpa diganggu. Runi mendengkus. Ia bisa mendengar langkah kaki gadis itu berjalan di koridor. Suara langkah yang menjauh, dan menghilang.

Runi tertawa getir.

Entah kenapa suara langkah yang menjauh itu membuatnya merasa ditinggalkan.

Tapi tunggu. Tami memang suka pulang sore. Tapi tidak sesore ini. Mungkin saja itu Tante Winda atau Bu Clara. Bisa saja mereka lembur. Runi menggeleng. Siapapun orang itu, Runi tidak peduli. Ia memilih diam. Ia memang ingin sendiri.

Dan ketika seharusnya suara itu sudah lenyap. Runi mendengar sesuatu. Ia ingat Kaisar pernah cerita soal Jin yang suka muncul menjelang maghrib. Ia menahan napas. Menunggu sesuatu.

KROSAK!!!

Sebuah batu melayang, melewati pagar sekolah, dan mengenai dedaunan Akasia. Lalu jatuh mendarat ke bawah tebing di depan Runi. Membuat pemuda itu menjatuhkan rahangnya.

Kurang ajar!

Hening.

Tak lama kemudian, sebuah batu kembali dilempar. Mendarat persis di samping Runi.

Runi terhenyak.

Ia meraih bagian ujung pagar sekolah dengan gesit, merayap ke dahan pohon Akasia yang menghubungkan dunia luar ke dalam lingkungan sekolah, lalu ia terjun bebas, dan mendarat persis di depan sosok perempuan. Tepat di hadapannya, ia bisa melihat sosok itu. 

Tami.

Runi terkesiap. Di hadapannya kini berdiri Tami! Cewek yang mestinya tidak akan mungkin datang menghampirinya. Cewek yang harusnya berpikir sejuta kali untuk datang menemuinya.

Belum selesai Runi meredakan keterkejutannya, Tami sudah berulah lagi dengan berkata,

"Ternyata kamu memang selalu di sini."

Untuk sesaat, Runi tak bisa berkata apa-apa.


***


AN.

Mohon maaf, part selanjutnya aku private ya :) 
Kalau mau lanjut baca, follow aku dulu ya. Nanti kalau sudah kelar baca, mau unfollow juga gak papa. :')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro