26. Behind the Ciee Scene (1)
Kota Jambi 2010, Kelas XII
Memasuki semester baru di kelas tiga, ada banyak perubahan yang kentara. Classic semakin berisik saja karena persis di depan gerbang, ada banyak pekerja bangunan yang hilir mudik membangun sebuah mesjid. Dan itu membuat Baron semakin sering masuk sekolah lewat pagar belakang. Entah kenapa.
Satu persatu, beberapa siswa mulai mengganti ponsel mereka dengan Blackberry. Meributkan twitter yang tidak kalah seru dari facebook. Meski media sosial itu sudah muncul saat mereka kelas sebelas, pengaruhnya baru tiba sekarang-sekarang ini. Ada banyak single dari solois dan Band yang rilis, tetapi ceramah Pak Zul soal UN juga makin banyak.
Dan, memasuki semester baru di kelas tiga ini juga, selalu saja ada burung yang terbang ke angkasa dan membawa berita. Kabar kedekatan Tami dan Rizal yang sudah tercium sejak lama membuat seisi kelas menjadikan mereka berdua bahan rumpi dan perjodohan ciee.
Runi cemburu sekali.
Tapi herannya, kecemburuannya malah berwujud siulan yang ia layangkan untuk Tami dan Rizal. Ia imbangi Depa yang dengan gencar berciee-cieee. Hasilnya, ia merasakan sakit di dadanya. Dan tak ada yang tahu sama sekali.
Ia mulai menyadari kalau ia bertepuk sebelah tangan dan belajar untuk fair. Ternyata perasaanya pada Tami terlalu abstrak untuk disadari oleh siapapun, bahkan oleh Tami. Semua jadi samar tertimpa kegaduhan anak-anak Cuprum terhadap isu Tami dan Rizal. Terkecuali Kaisar dan Baron yang memang mengetahui hal itu. Bahkan saking seriusnya Runi ikut-ikutan menggoda Rizal (dia tidak berani mengganggu Tami soalnya!), Kaisar dan Baron sampai percaya kalau Runi tidak menyukai Tami lagi.
Dilihat dari segi apapun, Runi merasa tak ada hal yang bisa menyatukan dirinya dan Tami, mereka terlampau berbeda. Pikirnya, tak ada kesamaan seperti teman-temannya yang heboh menjodohkan Tami dengan Rizal dengan berbagai faktor pendukung. Keduanya sama pintarnya, sama santunnya, sama baiknya, dan sama kesukaannya. Dan semua itu membuat Runi menelan sendiri semua kata yang sudah di ujung lidah.
Ia bertekad. Sebelum ia mendengar Tami dan Rizal betul-betul resmi menjalin hubungan, ia ingin dalam keadaan sudah melupakan Tami. Walau kenyataannya sekarang ia masih terpekur, membeku dan terseok-seok.
Dia seperti gunung dengan lahar di dalam tapi tidak bisa dikeluarkan lalu terbakar di dalam. Sendirian. Kalah telak. Itulah yang terjadi padanya.
Tapi Runi ingin mengantisipasinya. Secepatnya.
Kenyataannya hal itu sangat sulit ia lakukan, ketika setiap malam ia berusaha melupakan, pagi harinya ia menemukan sumber masalahnya di kelas yang sama.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia bersikap biasa-biasa saja dengan Rizal dan Tami. Ia juga tetap melibatkan Rizal dalam gurauan. Baginya, perasaan bisa disembunyikan sedalam-dalamnya, dan akan menghilang ditelan waktu. Biarlah, biarlah perasaan yang tak pernah tersampaikan itu menjadi rahasia antara dia dan sel-sel tubuh yang belum juga berhenti memberikan reaksi asing setiap kali berhadapan dengan Tami.
"WOW! Dodoool!!"
Terdengar seruan heboh dari barisan bangku paling kanan. Tampak rombongan cowok seperti mengelilingi api unggun. Padahal mereka sedang berkerumun untuk antri pembagian oleh-oleh dari Daniar. Tapi 14 cowok itu terlihat seperti bapak-bapak yang sedang antri buang air besar. Ekspresi mereka seperti tidak bisa menahan lagi gejolak untuk makan. Melihat dodol seperti melihat pizza cap mama Rosa di kantin berbilik nomor tujuh. Sangat menggiurkan.
"Baginya sama rata ya, Bapak-bapak..!" Daniar kewalahan.
Liburan semester kemarin ia habiskan di Bandung, kampung halaman papanya, ia sengaja membeli oleh-oleh dodol untuk para Cuprums. Sejak tadi malam, ia menata rapi Dodol khas Garut itu di dalam plastik. Dengan maksud supaya semua teman-temannya bisa mendapatkan jumlah sama rata.
Ia paham benar. Cowok Cuprums kalau melihat makanan liar-nya luar biasa. Karena itu, Nadia, Vira, dan Stella-yang menghabiskan liburannya di rumah saja-ikut serta membantu Daniar membagikan dodol ke seluruh anak Cuprums.
Sepuluh menit kemudian, dodol selesai dibagikan. Giliran Runi.
"HWOOOI...!!! Ghuwee jugha adha olehh-oleeeh." teriaknya dari pojokan paling belakang. Mulutnya penuh dengan dodol. Tapi tangannya tak berhenti melambai-lambai.
Semua anak menatap Runi. Ketiga belas cowok mulai melangkahkan kaki ke arah Runi. Langkah mereka berderap-derap. Bukan. Langkah mereka seperti gempa. Yang cewek lebih stay cool. Tapi tetap saja dengan mata mereka nyalang. Penuh semangat.
"MANA? MANA? MANA?!" Depa berteriak seperti kerasukan roh lapar. Ia siap menelan bulat-bulat makanan apa saja yang diberikan Runi. Wajahnya tampak meyakinkan seperti para peserta lomba makan cepat di salah satu Channel TV.
"Aku, Aku, Aku!!!" Baron yang merasa tersaingi oleh Depa langsung pasang badan. Kaisar memperbaiki kacamatanya yang melorot. Ia lebih memilih tenang.
"Mau, mau, mau!" gantian rombongan Nadia yang mendekat.
"Tapi bukan dodol kaaan?" Ardi tak kalah heboh.
"Liburan ke mana Run?" tanya Rizal lebih kalem.
"Jakarta ya? iya?" Pandu ikut bertanya.
Runi menggeleng. Lalu ia mengelap bibirnya. "Bentar-bentar..." ia mengangkat tangan. Gayanya sudah seperti artis yang baru saja buat aksi kontroversial dan mau konferensi pers. "Aku ke Kerinci. Naik gunung Kerinci... gila, seneng nian aku. Banyak banget pengalaman."
"WUIIIIH....." semua kompak berseru. Apalagi saat Runi mulai berkisah aksi mengerikannya selama penanjakan. Runi merasa beruntung bisa mendaki saat cuaca cerah. Karena jika tidak, Runi akan menghadapi hujan dan jalur yang sudah seperti sungai, bahkan petir terasa dekat.
Runi berkisah bagaimana ia menginap di Kersik Tuo, main di perkebunan Kayoe Aroe, atau saat ia mampir mencuci muka di danau Belibis. Seperti biasa, Runi memang bisa menyedot perhatian. Apapun yang ia bicarakan, semua mendengarkan. Apapun yang ia sampaikan, semua memperhatikan.
"Itu pertama kali dalam hidupku. Rasanya kayak apa ya-kau seperti selangkah lagi akan mati. Kau bersyukur masih hidup. Bersyukur-"
"Enak banget! Aku belum pernaaah! Runi kok bisa?! padahal kau kan orang baru. Kenapa?" Lid yang sudah sejak tadi nimbrung berceloteh. Rambutnya masih mirip anak ayam saja.
"Mamaku kan lahir di Jambi!" Runi merasa menang.
"Aku diajakin dong, sekali-kali." Kaisar nyeletuk.
"Iya, Aku juga pengen." Putri mengangguk mantap.
"Kau cewek, bentar juga ngeluh pegel." olok Elison sambil melipat tangan di dada. Di sebelahnya, Weslison mengangguk setuju.
"Baseng be! Jangan ragukan kaum hawa!" (sembarangan saja!)
Runi mengangguk-angguk, berusaha menenangkan. "Iya, aku juga awalnya nggak nyang-"
"MANA? MANA? OLEH-OLEHNYA MANA?!! Depa mengubah mood. Dia benar-bnar kerasukan jin lapar.
"IYA, MANAAAA?" Baron ikutan. Ia tidak bisa mentolerir kalau sudah soal makanan.
"Sompret!" Runi melempar Depa pakai bungkus dodol. Ia lantas segera jongkok, mengambil sebuah kantong plastik hitam yang sejak pagi ia letakkan. Sesekali melirik ke arah teman-temannya. Kemudian tersenyum penuh arti.
"Bawa apaan sih, Run?"
"Edelweis ya? Bunga gunung?"
"Hush, emangnya boleh ngambil-ngambil dari gunung?"
"Oh, nggak boleh yaaa?!"
Runi kembali menenangkan. "Nggak ada yang lebih awet daripada makanan?" tanya Runi diplomatis. Ia lalu mengeluarkan sebuah kaleng bermerek biskuit Khong-guan yang menimbulkan bunyi berisik.
Cuprums saling pandang. Mereka tampak penasaran. Tak terkecuali Tami yang sejak tadi hanya duduk di kursi. Bedanya, ia masih bisa bersikap kalem.
"Jauh-jauh ke Kerinci ngasih biskuit?"
"Bombon kojek ya, Run?"
Runi tak menjawab. Ia malah mengocok kaleng itu sambil menyanyikan lagu Inul. "Ku tak mau cintaku, dikocok-kocok. Ku tak mau sayangku, dikocok-kocok..."
Setelah mendapatkan beberapa caci maki, Runi membuka tutup kaleng, menunjukkan isinya pada orang-orang yang mengelilinginya. Semua terlongo. Depa yang tadi sudah kalap juga tak kalah bengong. Terlihat tumpukan benda padat berwarna-warni.
"BATU?"
"Iya, Batu." Runi mengangguk mantap. Hening.
"Aku nyari di sungai. Butuh waktu lama nyarinya... Setiap batu punya ciri khas sendiri. Ini ada yang bening, tembus pandang, ada yang pakai gradasi, warna merah. Kalo diteliti, mungkin mengandung zat bahagia. Siapa tahu kan? Jumlahnya 44 kayak jumlah kita. Silakan pilih." Runi menyodorkan kalengnya ke teman-temannya.
Sunyi. Tapi tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang diawali oleh Baron. Semua ikut bertepuk tangan. Tersenyum garing kemudian mengambil batu pilihan mereka.
"Ini diapain ya bagusnya?" Rizal berpikir keras.
"Terserah lo-lo pada sih. Tapi catet ya! Aku nyarinya sampe malem dan kedinginan sambil ngebayangin wajah-wajah kalian semua."
Semua bersorak kecewa. Elison dan Weslison menyenandungkan lagu ngooo-ta ngooo-ta ngooo-ta mengikuti sirine Ambulans. Mereka tidak terlalu percaya dengan ucapan Runi.
"Eh ini batu asli dari gunung! G-u-n-u-n-g!"
"Aih! Kau romantis tapi bikin pusing sih, Run." Yana angkat suara.
"Run, aku ni masih bisa nahan berak kok! Idak perlu lah aku batu cemmini!" giliran Depa mengoceh. Tapi tangannya tetap merogoh kaleng, mengambil batu.
"Terima kasih, terima kasih. Ayo ambil ya." Runi membungkukkan badan. Dengan cuek, Ia tetap berjalan menyodorkan kaleng berisikan batu miliknya. Ia sudah selesai memberikan batu pada teman-teman yang mengelilinginya. Giliran mendatangi teman-teman yang masih punya urat malu. Termasuk Tami.
"Em..Tam..." sapa Runi pelan, begitu ia selesai memberikan batu oleh-oleh pada Alya yang duduk di sebelah Tami.
Tami tercenung. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum sebisanya. Ia ingin bersikap baik pada Runi. Meski Runi justru tidak memperhatikan. Cowok itu tampak sibuk meredakan ciee teman-temannya karena di mata yang lain, Runi terlihat kikuk karena baru saja menghampiri Alya.
Tami geleng-geleng kepala melihat tingkah teman-temannya. Tapi ia tak ambil pusing. Ia menjulurkan jemarinya ke dalam kaleng. Tapi aktivitas merogohnya itu berhenti karena ia tidak menemukan apa-apa.
"Kayaknya gak ada lagi."
"Apa?" Runi serta merta melongok ke dalam kaleng. Sesaat ia bengong tapi mimik wajahnya berubah. Teringat sesuatu. Ia merogoh saku celananya. "Ini, ada," katanya lagi sambil menyodorkan sebuah batu yang sudah ia pisahkan sejak semalam. Sebuah batu bening dengan gradasi jingga. Cantik sekali. Seperti warna langit senja.
"Eh?"
"Selalu ada kok buat kamu."
Tami tertegun. Gugup. Ia lalu mengangguk sungkan dan meraih batu itu. "Makasih ya."
"Yah, sama-sama, hehe.." Runi balas mengangguk. Runi rasa, barusan itu adalah percakapan yang lebih akrab meski tetap canggung. Dan, itu selalu terjadi di antara dia dan Tami.
Runi berjalan lagi. Tapi kemudian berbalik dan berteriak ke arah Baron. "Baron! Tolong bantu bagiin yang satunya. Keripik! Ada tuh di kantong satunya!"
"HAH?!! Makanan?"
Semua anak Cuprums bersorak lagi.
Sedetik kemudian, semua cowok berlari mengerumuni Baron yang sudah memeluk erat kantong-kantong keripik. Depa kalap lagi.
Pagi itu, semester baru di awali dengan bising.
Tapi bagi beberapa orang, terasa kosong.
**
AN/ Jadiii aku terimakasih buat kamu yang sanggup baca Faktor J sampai ke sini! (Jujur aku nggak pede sama BAB awal novel ini. Agak senyap yak?) Runi & Tami udah kelas tiga. Dan, mereka semakin dewasa. Kuharap mereka bisa bijksana menjalani banyak hal. Caelah.
Di sini terkesan Runi mulai nyerah. Ya, aku tahu seharusnya cowok itu seperti di drama-drama, pantang mundur kalo naksir cewek. Tapi, di dunia nyata ini, ada kok, cowok yang "aku cinta dia banget" tapi akhirnya harus nyerah tanpa sempat bilang "cinta" sama cewek itu. dia mundur gitu aja. Mungkin di kehidupan kamu pun, ada cowok/cewek yang pernah naksir kamu. Tapi kamu nggak kasih lampu ijo, pura-pura cuek, dingin, atau sudah punya pilihan lain. Lalu dia nyerah gitu aja. Ada? Pastinya ada. kalau kamu nggak pernah mengalami, mungkin orang lain.
Dan si Runi ini... salah satunya. Tapi siapa yang tahu kisah selanjutnya kan? :')
Bolehkah aku minta vote, commentnya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro