Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Sebuah Misi Percomblangan

Aku bukan orang yang akan didengar jika berbicara, juga bukan yang akan dilihat jika berjalan. Jadi aku tidak akan berharap. (Swastamita)

*

Kamis. Pukul14.00

Dengan serampangan, gadis itu mengeluarkan benda terakhir dari dalam tas. Kemudian mengguncang-guncangnya, barangkali bukunya yang tebal itu mendadak berubah menjadi serpihan rautan pensil dan bersembunyi di sela-sela buku.

"Cari apa Tam?" Olin yang hari ini duduk di sampingnya menegur.

"Buku. Warnanya maroon. Kamu lihat?"

Olin menggeleng. "Udah cek perpus?"

Tami terdiam. Ia ingat Olin tahu tempatnya menyembunyikan diri karena Olin juga suka datang ke sekolah pagi-pagi sekali saat piket.

"Sudah, sih."

"Oh."

"Tapi nggak ada."

"Kapan ke perpusnya?"

"Tadi, pagi-pagi sekali..."

"Kamu kehilangannya sejak kapan?"

"Kemarin masih ada... aku pakai nulis di perpus."

"Mungkin memang ketinggalan di perpus. Terus ada yang nemu."

"Nggak mungkin..."

Olin mengangguk. Dengan cuek (sekaligus celingak-celinguk) khawatir terlihat oleh guru, ia merobek bungkus keripik pedas, menundukkan kepala, lalu melahap makanan itu dengan nikmat. Kemudian ia berbisik,

"Bia ahaaa han?" (bisa aja kan?)

Tami tersenyum kecil. Sebenarnya ia cemas dan ingin langsung ngeloyor meninggalkan kelas menuju perpus secepatnya. Tetapi saat ini pelajaran Bu Fatma sedang berlangsung dan Bu Fatma termasuk yang sulit memberi izin siswanya keluar saat sedang menerangkan pelajaran. Siswa dilarang berkeliaran di lingkungan sekolah.

Olin yang wajahnya memerah karena kepedasan mencoba membantu Tami mencari buku diary-nya ke kolong mejanya. Tetapi ia kembali dan menggelengkan kepala. Tami berkata tidak masalah, itu hanya buku. Tetapi kenyataannya, wajahnya seperti ingin menangis khawatir buku itu ditemukan orang lain dan ia akan malu sekali.

Ia hanya bisa berharap Bu Winda menemukan bukunya.

**

Selepas sholat dzuhur, dia berjalan menelusuri koridor sekolah.

Classic pada lewat tengah hari bersama sinar matahari yang sudah berubah dari menikam jadi teduh adalah sekolah yang ternyata lebih damai dan terasa sekali sakralnya. Suasana terlihat lengang akibat ditinggalkan murid dan beberapa guru.

Di lapangan, tampak sekelompok siswa kelihatan sedang melakukan latihan untuk upacara berikutnya. Sebab mereka tahu Pak Zul tak akan menerima jika ada ketidaksempurnaan ketika upacara berlangsung. Siswa-siswa Classic dididik amat keras untuk menghargai prosesi upacara bendera.

Rangga, yang pernah Lidya sebut-sebut sebagai cinta terakhirnya, tampak gagah sedang meneriakkan 'kepada, bendera merah putih, hormaaat grak!' di depan teman-temannya. Ia terpilih menjadi pemimpin upacara. Di depan tiang bendera, tampak tiga siswi sedang mempraktikkan menaikkan bendera dengan takzim. Sementara di samping kanan tiang bendera, persis di samping mimbar tempat untuk pembina upacara berdiri, dua meter dari situ, tampak tim paduan suara mulai khusyuk menyanyikan lagu karya W.R Supratman itu.

"Indonesiaa... tanah airku... tanah tumpah darahku.... Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku... Indonesia kebangsaanku..."

Terdengar suara paling melengking dan terkesan egois hendak memonopoli suara lainnya.

"Stop! Stop! Stop—Ical! Kau yang bener dong!" Vasetha, sebagai dirijen langsung menghentikan gerakan tangannya. Tim pengeret bendera terpaksa berhenti juga.

"Ya Allah ya Tuhanku... aku lagi aku lagi!"

"Kau tuh nggak nyadar-nyadar! Coba kau rekam latihan nyanyi kita ini pake Hape-mu yang keren itu. Suara kau doang yang monopoli! Barengan bisa nggak sih?"

"Coba sini! mana, mana, mana—"

Selagi mereka berdebat, seorang siswi berlari melewati koridor yang letaknya persis di belakang mimbar pembina upacara. Tidak ada yang menyadari kehadirannya karena beberapa pohon palem dan bonsai tumbuh menyubur di antara garis lapangan dan koridor.

Sekilas, ia mendengar pertengkaran itu. Ia suka kelas itu, tapi tidak orang-orangnya. Baginya kelas IPS itu sangat keren. Ia akan membahas ilmu manusia, sosiologi dan terutama pelajaran Sejarah lebih lama. Dia mencintai sejarah sama seperti ia mencintai sastra. Sudah cukup banyak buku sejarah yang ia lahap selama duduk manis di perpustakaan.

Tapi ia tidak suka harus berteman dengan anak-anak cowok lebih banyak. Empat belas cowok di kelasnya, sudah cukup membuatnya was-was. Semua orang tahu, di mana-mana, kelas IPS selalu dikuasai oleh makhluk kromosom XY. Jika ada 40 orang di kelas itu, 28 dari mereka adalah cowok. Dan dia, merasa gentar dengan mereka. Ia takut di bully. Dan rasa takut akan di bully itu lebih menakutkan daripada di bully itu sendiri. Ketakutan sudah terlebih dahulu menyerangnya.

Setelah melalui koridor, dia menyebrangi lapangan menuju perpus dan melewati laboratorium dan ruang seni. Dari dalam ruang seni, terdengar suara-suara lantunan lagu Sekapur Sirih dari kelompok ekskul penari sekolah yang sedang berlatih untuk kompetisi.

Tami berhenti di depan pintu perpus. Menghela napas, lalu ia gegas masuk dan berlari ke arah meja tempat ia biasa duduk membaca. Tetapi ia tidak menemukan apapun di sana.

"Cari ini?"

Tami melonjak. Winda sudah berada di belakangnya sambil memperlihatkan buku merah maroon. "Ibu ketemu di mana?" tanyanya, bernapas lega.

"Bukan. Tadi siswa yang namanya Runi titip ini."

Tami terdiam. Tidak menyangka Runi yang menemukan bukunya. Banyak pertanyaan yang mendadak muncul di kepala Tami. Tetapi ia sungkan bertanya pada Winda.

"Sebenarnya tadi saya sudah bilang ke dia untuk kasih buku ini ke kamu karena kalian sekelas. Tapi katanya dia lagi terkena penyakit manusia purba. Takut kamu tertular." kata Winda sambil tertawa.

Tami ikut tertawa.

"Aneh ya dia?" tanya Winda.

"Iya."

"Dia gimana di kelas?"

"Ribut." ucap Tami singkat. Tapi kemudian terdiam lagi.

"Kamu masih mau di sini?" Winda sudah menyandang tas dan siap pergi.

Tami mengangguk mantap.

"Kalau gitu, saya duluan ya. Oh, ya. Tolong nanti sekalian rapikan resume-resume hukuman di meja Bu Clara ya." kata Winda lagi. Ia nampak buru-buru.

Tami mengannguk. Ia melepas Winda dengan senyum. Lalu ia beringsut ke bangku terdekat sembari memandangi buku Maroon-nya. Ia berharap Runi tidak membaca isi buku itu.

**

"Ha?! Jadi Tami orangnya? Yang bikin kau jarang ngumpul? Yang bikin kau rajin ke perpus?

"AHAHAHAHAHA..."

Semua ngakak. Tapi Baron yang tawanya paling besar dan khas, "Wuakakakakaka"

"Ini namanya gempa tektonik..! Eh, bukan! Ini namanya tsunami...! Lah bukan, ini namanya keajaiban!"

"Ternyata Runi normal." Kaisar menepuk pundak Runi. Meskipun akhirnya dia dihadiahi timpukan kerikil.

"Yang mana sih Tami itu?" Aldo menghentikan permainan gitarnya.

"Ada, temen sekelas kami. Setuju nggak kau?"

"Asalkan bukan Nadia, aku setuju. Huahahahaha"

"Aku juga!" timpal Edi

"LOH?! Kau suka Nadia?!"

"Eh, bukan gitu!"

Sore teduh di bawah tugu Jam berubah menjadi sore yang merah jambu. Hari itu mereka sebenarnya sepakat berkumpul untuk lalu pergi bersama ke studio latihan band.

Dan kesempatan menghabiskan hari bersama itu Baron gunakan untuk menginterogasi Runi. Ia meminta penjelasan mengapa akhir-akhir ini Runi suka duduk di bangku paling depan, mengapa ia absen dari nongkrong bareng mereka, mengapa Runi melewatkan aksi mengamen mereka di simpang empat pusat kota. Runi bahkan tidak ikut tanding bola melawan sekolah lain.

"Tami itu, Swastamita ya?" tanya Ical.

"Kau kenal Cal?" Kaisar penasaran.

Ical tak menjawab.

Baron yang mendengar, memilih tak menggubris. Ia justru fokus pada Runi. "Sejak kapan sukanya?" tanyanya kemudian.

Runi hanya mengedikkan bahu. Jangan tanya yang seperti itu. Karena siapapun tak pernah tahu secara pasti kapan ia jatuh cinta. Sejak kelas X ketika menangkap sosok Tami yang selalu melewati kelasnya, atau sejak kelas XI, atau malah sejak 5o.ooo tahun yang lalu ketika Tuhan sudah mengangkat pena ketika menulis pembagian jodoh setiap orang.

"Dan.. kenapa Tami?"

"Nggak ngerti juga." Runi nyengir. Ia merenggut gitar yang dipegang Aldo. Ia mulai memainkan nada-nada.

"Kukira kau suka yang model-model kayak Nadia cs... hahahaha!"

"Emangnya kau?"

Suka sama model-model kayak Nadia cs? Demi apapun, bagi Runi, Nadia cs cuma teman seru-seruan di kelas. Mereka sama-sama tidak suka duduk di depan kelas. Sama gokilnya, sama lucunya. Tapi soal perasaan, sejak kapan kita bisa mengatur untuk suka pada siapa atau tidak suka pada siapa?

"Eh, beneran aku nggak nyangka! Seorang Runi fall in love sama Tami??"

Mereka ngakak lagi. Tapi Runi bosan membuka mulutnya.

"Bantuin ya buat deketin dia. Dia anaknya susah... sejenis perempuan yang tidak bisa digoda sembarangan."

"Bantuin gih. Kali aja bakal jadi pasangan legendaris." timpal Kaisar.

Baron langsung berdiri tegap. Lalu menggeleng takzim. "Maaf, aku nggak tertarik dengan hal-hal seputar percomblangan."

Runi menoleh. Lalu berdiri sambil menunjuk-nunjuk. "WOI STRES! Lu ngapa ketawa kalo gitu?"

"Ngapain juga kalo akhirnya Tami ditinggalin ke Jakarta? Tami tuh... delicate." Baron mengucapkannya setelah menahan napas. Baginya, Tami serupa porselen yang gampang pecah jika disentuh. "Apa jadinya kalo beneran sama kau ya? Orang gila, tukang berantem—"

"Delicate apaan? Aneh iya! Kau juga tukang berantem!"

"Kau yang aneh! Suka cewek tapi ngatain dia aneh. Coba jawab, kenapa suka Tami?"

Runi mendecak kesal. "Sedalam-dalamnya lautan, ia masih bisa diukur. Sedalam-dalamnya pikiran orang memang sulit diukur." ujar Runi sambil meremas-remas tangannya. "Kau ada hati sama Tami?"

"APAAN SIH?!"

"TERUS KENAPA NGGAK MAU BANTU, NYET?!"

"Kau kan mau balik ke Jakarta!"

"Kau tau teknologi nggak sih? Telpon dong telpon!"

"Tetep nggak mau!"

Runi mendengkus. Selang beberapa menit, Runi menatap kawan-kawannya sambil menyobek bungkus roti, memakannya dengan lahap. "Well, kalau kau nggak mau bantu, oke, aku bisa sendiri. Mundur itu bukan prinsip."

"Terserah, Good Luck!" Baron merampas roti Runi dan memakannyya dengan lahap juga. Kalau Runi sudah bilang tidak ingin menyerah, Baron ataupun Kaisar tak bisa menyangkal. Runi memang cowok paling optimistik sedunia. Cewek mana saja yang ia suka, tinggal tunjuk. Tapi tidak jamin mereka juga mau sih. Cuma sekadar main tunjuk saja.

"Tapi aku hanya ingin mengingatkan." kata Runi lagi. "Baron, saat kau tidak punya uang saku tetapi lapar menyerang. Siapa yang selalu hadir mentraktirmu?"

Baron membelalak. Dan kemudian wajahnya putus asa. "Runi."

"Saat kau dalam kesulitan, termasuk saat kau memakai uang SPP untuk main warnet, siapa yang bersedia dengan tulus memberikanmu uang untuk melunasi SPP?"

"Runi..."

"Saat kau tak buat PR, siapa yang sungguh-sungguh mencontekkan untukmu?"

Kali ini Baron menatap lemas temannya sambil berkata, "Runi...."

"Saat kau terpergok—"

"Iya, iya, Runi, aku bantuin!"

Runi mengangguk-angguk.

Matahari sudah siap tenggelam. Semburat cahaya sorenya begitu indah. Tak lama lagi, beberapa menit paling berharga akan tiba. Cahaya sore yang indah. Runi menyalakan sebuah lagu di MP3 miliknya dan mereka mulai melantunkan: Wish you were here lagunya Pink Floyd.

Di belakang mereka, Ical yang sejak tadi hanya mendengarkan terlihat memikirkan sesuatu.

**

AN. Oke ini bab baru. hehe, bagi yang sudah lama ngikutin cerita ini pasti bingung sama perombakan yang aku lakukan. Tapi, tenang dan terimakasih, ini bab yang baru! :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro