Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Rumus Cinta Kaisar

Kamu percaya jodoh?

(Arunika)

***

"Sikok, duo, tigo, passss!"

Baron mengangkat tangan tanda tidak memegang uang sepersen pun. Gaya bicaranya sudah seperti bintang iklan habis menyeruput kopi. Pas kopinya.

"Eh, kurang seribu ini!"

"Bah! Kau salah hitung kali, Cal."

"Eh sori. Aku anak IPS sejati. Dan pilek sama belekku udah ilang."

"Aah.. sinting." Baron nyengir. "Hubungannya apa coba?"

"Eh, aku kan cuma megang janji. Kau bilang hari ini mau lunasin."

"Aku beneran miskin nih!"

"Aku kan juga miskin!"

"Giliran gini aja, berebut mau jadi miskin!" Edi menyela.

Baron menggaruk-garuk kepala.

"Ya udah, aku utang gorengan ya, ntar kau yang bayar. Jadi impas." Ical memberi ide.

"Huahaha.. sama aja monyong!" Baron menoyor kepala Ical.

Ical tertawa-tawa. Tangannya melambai-lambai pada seorang perempuan di balik kaca gerobak. "Bude Ester, utang lagi ya! Pregnant tahu dan fried tempe!" katanya asal. Ia langsung mencomot dua gorengan dari dalam nampan.

Perempuan setengah baya itu, Bude Ester, langsung mengambil buku kasbon. Bisa bahaya kalau tidak dicatat. Anak-anak tengik itu akan mendadak hilang ingatan. Tempo hari, Ical tertangkap basah menyembunyikan tempe goreng di bawah nasi uduknya. Niat busuknya supaya tempe goreng tidak masuk hitungan jajan, malah menjadi bencana pagi hari. Alhasil, jeweran pedas dari Bude Ester mampir tak terkendali. "Welah, dalaaah! Jangan gitu toh?! Jangan kayak koruptorrr...!" begitu semprotnya saat itu. Alhasil, Ical kapok bukan main. Kupingnya merah selama seminggu lebih delapan jam.

"Eh, Runi kemana?" Edi celingak-celinguk.

"Iya, ya? Kau tau nggak, Sar?"

Kaisar yang sejak tadi sibuk dengan gitar mendongak asal. "Alaaaah paling ngerokok di WC." jawabnya.

"Nggak ada, tadi kan aku habis berak."

"Aku heran, akhir-akhir ini tuh anak aneh." celetuk Ical. Ia mencium sesuatu. "Kemarin juga, nggak dateng tanding bola. Kemana sih tuh anak?"

"Dia emang aneh." Baron berseloroh asal.

"Iya sih, dia aneh. Maksudku, lebih aneh dari biasanya. Sekarang mendadak ilang, dan girang banget waktu dihukum bikin resume sama Pak Zul. Trus broo.. Kau tau? Aku lihat dia nulis rumus di kertas, lalu dibaca-bacanya terus." Edi berseru heboh.

"Ha? HAHAHAHA... jimat biar juara satu?" Ical ngakak.

Kaisar berhenti memetik gitar. Di kepalanya tiba-tiba melintas rumus Fisika yang kemarin ia sampaikan pada Runi. Matanya melebar. Eh seriusan?

**

Runi sedang duduk di dahan Akasia, sambil terus merapal rumus itu seperti mantra.

'Profesor' Kaisar bilang, cinta itu ibarat ilmu fisika. Sekali jatuh, bisa jatuh sejatuh-jatuhnya. Sekali berubah, bisa mengubah semuanya.

"Jadi ya Run, cinta itu kayak gaya listrik." kata Kaisar kemarin sore. Ia sengaja menghabiskan waktu di rumah Runi sambil menikmati susu coklat terenak sedunia buatan mama Runi. Sepulang dari sekolah, ia sengaja sedikit berlama-lama di rumah Runi. Dan memberikan pelajaran cara merebut hati gadis.

"Maksud kau?"

Kaisar menggapai-gapai ranselnya, kemudian mengambil sebuah buku catatan Fisika. "Untuk menghitung gaya listrik, pake rumus ini." Kaisar menyodorkan bukunya.

"Apa sih, Sar?"

"KAI. Oke-F itu kan gaya... k itu konstanta, Q1 itu muatan benda pertama, Q2 itu muatan benda kedua. Trus, R itu jarak."

"Jadi?"

"Jadi... F itu ibarat kekuatan dalam sebuah hubungan. Kau dan Tami itu ibarat Q1 dan Q2. Lingkungan kalian itu ibarat k. Dan kalian terpisah dalam sebuah jarak yang diberi lambang R."

Hening.

"Aku nggak ngerti. Sori kayaknya kita beda dunia." Runi melambai asal. Ia teguk susu-nya hingga tandas tak bersisa. Bahkan hingga ke tetes terakhir seperti di dalam lagu iklan susu era 90-an.

"Ah kau ini, filosofis dikit napa?"

"Jelasin sekali lagi."

"Jadi... ini pelajaran Gaya dalam listrik. Oh, God, I love Nikola Tesla! Rumus ini gunanya untuk mencari kepastian apakah gaya yang terjadi antara dua muatan, tarik-menarik atau tolak-menolak." ucap Kaisar diplomatis. "Dan kau! Kau kan mau tau Tami itu suka apa nggak sama kau. Teguran aja nggak pernah gimana bisa tau? Selama ini, kau selalu mingkem kalau di depan Tami. Bukannya ngajak ngobrol."

Runi menelan ludah.

"OHH... OHH..!" Runi mengacungkan telunjuknya. Ia condongkan tubuhnya. Nalarnya mulai tangkap.

"Nah, k atau konstanta itu lebih mirip lingkungan. Faktor pendukung antara Q1 dan Q2. Kan kalian sekelas tuh? Berarti udah satu kesempatan untuk berada di lingkungan yang sama. Nah, sekarang tinggal gimana R nya saja. Maksudku, jarak."

"Betul juga ya!"

Kaisar diam sebentar. Memainkan kedua alisnya tanda berpikir keras.

"Kupikir kau perlu menyamakan lingkungan lagi supaya gaya yang terjadi lebih besar. Kau mesti tau bagaimana Tami memandangmu sebelum ngarep lebih." Kaisar memberi kesimpulan.

Runi mengangguk. "Pinter kau ya."

Kaisar membusungkan dada.

Menyamakan lingkungan? Runi menyandarkan tubuhnya ke dahan pohon yang paling besar. Percakapannya dengan Kaisar semalam memang ada benarnya. Kalau ia tidak tahu bagaimana gadis itu memandangnya, menyatakan perasaan padanya akan serupa dengan berjudi nasib. Sesuatu harus dilakukan untuk mengetahui apakah Tami punya perasaan serupa. Semisal tanda, barangkali. Ia harus berada di sekitar Tami.

Selain berada dalam satu kelas, sepertinya ia dan Tami memang tidak bisa punya kesempatan bertemu lebih lama. Tami selalu saja dikelilingi oleh geng anak-anak garda terdepan. Tahu kan? Maksudnya, anak-anak yang bisa dibilang pintar, selalu duduk di depan, dan yang selalu menunjuk tangan kalau guru bertanya. Dalam bahasa Nadia, golongan cari muka sama guru. Walau kenyataanya mereka memang cerdas. Tapi paling pelit kalau urusan contek-menyontek. Mereka tipikal orang-orang yang mendadak budek saat ulangan.

Memang, Tami beda. Terlalu beda, malah. Terkadang Runi melihat Tami sedang duduk sambil mengobrol bersama teman-temannya. Tapi kadang ia juga melihat Tami duduk menyendiri.

Cewek itu sudah mulai rileks. Bukan lagi gadis yang selalu memasang wajah tegang. Tapi seharusnya sekelas bisa membuat semuanya lebih mudah. Tapi tugas yang menumpuk, Tami yang menjaga jarak dan selalu terlihat tak peduli dengan anak-anak barisan belakang, membuat semuanya menjadi terasa samar.

Kaisar ada benarnya. Runi harusnya tak hanya menjadi teman sekelas saja. Tak berapa lama, senyum Runi mengembang. Ya, benar. Jalan keluarnya adalah Runi harus memasuki dunia Tami. Dengan begitu hubungan mereka akan sangat dekat.

Perlahan, Runi melompat ke tanah seringan tupai. Ia melangkah santai menuju gedung perpustakaan yang tak berada jauh di depannya. Jam istirahat masih 15 menit lagi, Runi punya kesempatan menemui Tami tanpa ketahuan teman-temannya. Jika teman-temannya tahu, kalau dia ke perpus dengan tujuan suci; membaca buku, bukan resume buku seperti biasanya. Mereka pasti langsung epilepsi.

Runi? Ke perpus? Dia pasti kebanyakan makan tumis kangkung!

Sekarang, kentara sekali. Runi mengerti, di mata teman-temannya, dia itu bejat dan cowok bejat harusnya tidak di sini!

Tapi masa bodoh. Toh mereka semua di kantin. Runi memantapkan niat. Ia langkahkan kakinya masuk ke perpus dan langsung disambut dengan pertanyaan Ibu Winda,

"Kamu disuruh resume buku apa?"

Runi tersedak. "Saya mau baca buku, Tante..."

"Kalau di sekolah, jangan panggil saya Tante-dan... kamu serius ke sini untuk baca buku? Kamu demam?"

"Iya. Demam parah." Runi menatap Winda dengan kesal. Ia sodorkan kartu perpus yang masih mulus, tersimpan rapi di dalam dompet seumpama kartu pusaka yang masih licin lantaran tak pernah terpakai. Ia membiarkan Winda tertegun memandanganya. Winda tampak ingin bertanya tetapi Runi sudah buru-buru memberi senyum paling eligmatik dan langsung ngeloyor ke lorong-lorong rak.

Bagi Runi, perpustakaan adalah tempat paling membosankan. Buku-bukunya hanya seputar pelajaran dan sastra lama. Tak ada pasokan buku terbaru dari pusat produsen buku. Malah yang ada justru bertumpuk-tumpuk kliping berjudul jenis-jenis penyimpangan sosial yang dibuat oleh siswa dalam pelajaran sosiologi. Dan karena sayang, disumbangkan ke perpus. Beruntung jika bisa mendapatkan bacaan era baru. Runi bahkan tak bisa menemukan majalah Hidayah di tempat ini.

Ia heran, bagimana Tami bisa betah?

Oh ya, dia kan beda. Runi membatin. Ia tak mau ikut-ikutan menjuluki Tami sebagai anak nerdy seperti Kaisar dan lain-lain. Menurut Runi, ia sendiri terkadang suka aneh. Ia yang perusuh dan suka buat onar di sekolah adalah seorang nycthophilia dan sedikit sekali teman-temannya yang tahu soal itu.

Andai mereka tahu, ia pasti habis difitnah sebagai cowok melow kelas berat. Dari situ Runi bisa menyimpulkan kalau di dunia ini, tidak ada yang namanya orang aneh. Yang ada hanya orang-orang yang tidak mengerti seseorang namun sudah men-jugde terlebih dahulu. Orang aneh hanya bisa dimengerti oleh orang aneh. Dan, artinya Runi aneh.

Intinya, bagiku normal itu relatif.

Cowok berkepala spikey itu tersenyum sendiri. Iris matanya yang coklat mengedar ke penjuru ruangan, mencari objek yang sudah berada di dalam hatinya terlebih dahulu sejak hari-hari kemarin, kemudian pandangannya terhenti pada sosok mungil yang tengah duduk di pojok sendirian.

Jantungnya mendadak berdegup kencang.

Dia suka banget nyelip kayak Ciko.

Runi mengekeh. Ciko itu hamster adiknya.

"Ternyata kamu memang selalu di sini ya." sapa Runi.

Tami menjengit. Suara itu. Ia menghentikan aktivitas menulisnya dan menoleh pelan. Menatap Runi dengan tatapan yang seolah berkata, 'siapa ya?' Tapi Tami memilih mengangguk sopan. Lalu kembali membaca.

"Aku... lagi cari buku. Terus liat kamu." kata Runi lagi sambil memperlihatkan sebuah buku yang ia ambil secara random. Buku itu berjudul Aku Ini Binatang Jalang. "Aku ganggu ya?" tanya Runi.

Tami menggeleng cepat. Ia memang terganggu, tapi ia tidak mau Runi tahu soal itu. Ia tidak ingin membenci dan dibenci siapapun. Tapi sialnya, gelengan itu disambut positif oleh Runi. Cowok itu lantas duduk di depan Tami.

"Kamu baca apa?"

Dengan tegang, Tami memperlihatkan cover bukunya ke arah Runi.

"Perhiasan bumi... wah, keren dong. Wanita Solehah, ya?"

"Ha? Bu-Bukan."

"Jadi?"

"Cerpen. Tapi tentang obat-obatan herbal, orang sakit, banyak..." jawab Tami ringkas.

Runi tertawa keras. Tami sampai syok karenanya. Keringat dingin sudah mengucur deras dari pelipisnya.

"Kenapa ya cover buku itu selalu menjebak?"

"..."

"Mungkin memang bener, don't judge book by its cover... jangan pernah nilai buku dari luarnya. Artinya, cover bukan segalanya. Berlaku juga untuk manusia kan?" ujar Runi sambil menatap Tami lurus-lurus.

Tami menggaruk belakang lehernya. Dengan cepat ia menguasai keadaan. "Cover memang bukan segalanya. Tapi buku yang bagus pun, tetap butuh cover."

Bersamaan dengan mulut Runi membuka, hendak menyampaikan sesuatu, bel tanda istirahat selesai berbunyi nyaring hingga membuat telinganya berdengung. Kesempatan ini diambil cepat oleh Tami yang langsung berdiri bak tersengat listrik.

"Aku... duluan ya." Tami menganggukkan kepala.

Tanpa menunggu respons Runi, ia sudah melangkahkan kakinya lebarlebar meninggalkan ruangan itu. Dari kaca jendela, Runi bisa melihat Tami yang menyeka keringatnya. Ia tersenyum penuh arti. Setidaknya hari ini selangkah lebih maju. Pandangannya beralih pada meja yang baru saja Tami tinggalkan.

Runi mematung.

***

AN.

Hai, BTW chapter yang ini aku masukin rumus fisika, mudah-mudahan bisa bantu kamu buat inget rumus haha. Jadi, aku punya senior yang pinter banget menghubungkan rumus fisika ke dalam filosofi kayak begini. Kan keren kan? lah aku hanya bisa memandang rumus-rumus itu saja. hm. Happy reading! [aksi-reaksi]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro