Satu
Sebagai permulaan, aku posting bab satunya hari ini.
Happy reading.
Semoga suka.
***
Suara bising khas klub malam yang terdengar samar di private room, tidak sedikit pun mengusik dua orang yang duduk di pojok ruangan. Sofa beludru hitam yang tampak nyaman itu seharusnya bisa menampung hingga lima orang dewasa. Tapi tidak malam ini. Dua orang dewasa tengah duduk di atasnya, ditemani berbotol-botol alkohol, hingga membuat satu di antaranya berada tipis di ambang kesadaran.
"Anda terlalu banyak minum." Seorang yang sedari tadi tidak sedikitpun menyentuh minumannya memperingatkan lelaki yang tengah mabuk berat itu.
Lelaki itu mengerling sekilas sebelum menyeringai. Diangkatnya gelas kaca berukuran kecil yang terisi hampir setengah, sebagai isyarat. "Dan kau belum menyentuh minumanmu. Ah, apa kau mau minuman yang lain? Biar aku pesankan." Lelaki itu sudah mengangkat tangannya, hendak memanggil bartender, namun orang itu lebih cepat menahan laju tangan si lelaki.
"Tidak usah. Cukup wine ini saja." Orang itu menggeleng. Melihat kerutan di dahi lelaki itu, ia cepat mengangkat gelasnya. Dengan ragu ia mendekatkan pinggir gelas ke bibirnya yang terkatup rapat. Aroma buah-buahan dari fruit wine pesanannya, membuatnya seketika mengernyit.
Oh demi Tuhan! Dia sama sekali tidak pernah menyentuh alkohol. Setetes pun tidak.
Lelaki itu masih menunggu, dan itu tampak jelas di matanya yang sayu karena pengaruh alkohol. Orang itu meneguk ludah, merasa terperangkap dalam permainannya sendiri. Menutup mata, bibirnya yang terkatup membuka sedikit. Membiarkan cairan beralkohol rendah itu memenuhi kerongkongannya.
Orang itu berdecak saat meletakkan gelas ke atas meja. Rasa panas langsung mendominasi kerongkongannya. Pun lidahnya yang baru pertama kali bersentuhan dengan alkohol.
"Anda tidak biasa minum?" lelaki itu bertanya dengan nada mengejek. Ia mengangkat gelasnya kembali dan mulai menenggaknya hingga habis. Seolah alkohol berkadar tinggi yang baru saja lenyap tak bersisa adalah air mineral biasa.
"Anda benar, Pak Doni. Saya tidak biasa minum," aku orang itu dengan muka yang mulai memerah. Tak berselang lama, suara cegukan lolos dari bibir orang itu. Gegas ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah dari tatapan Doni yang intens padanya.
Alkohol sialan!
Doni Puryanto tergelak pelan sebelum menyeringai. Lelaki yang belum genap berumur 50 tahun itu kembali menuangkan vodka ke gelas orang itu, dan ke gelasnya. "Berarti aku orang yang beruntung menjadi orang pertama yang menemani Anda minum. Bukan begitu?"
Orang itu mengerling, dadanya bergejolak melihat senyuman miring Doni. Perhatian Doni pada vodkanya dan penerangan temaram di dekat mereka, membuat lelaki itu tidak menyadari tatapan tajam nan dingin yang terhunus padanya.
"Ya, begitulah." Orang itu menatap Doni sekilas sebelum memandang gelasnya yang kembali terisi alkohol. "Saya di sini hanya untuk menemani Anda yang tengah berduka setelah kematian istri Anda."
Doni kembali menuang vodkanya, lagi dan lagi. Mengabaikan ucapan orang itu, seolah pembahasan mengenai istrinya yang telah meninggal bukanlah hal penting. Berkali-kala rasa terbakar di tenggorokan ia terima, tapi ia tidak peduli.
"Dia istri yang terlalu baik, untuk ukuran orang sepertiku." Doni meloloskan dua cegukan dari bibirnya. Menatap lawan bicaranya yang duduk dengan kaki merapat dan pandangan penasaran yang begitu jelas. "Tuhan memanggilnya karena dia terlalu bodoh. Wanita bodoh yang tidak menuruti prinsip suaminya sendiri. Dia terlalu cepat bertobat."
Doni tertawa, kembali menuang tanpa beban. Alkohol perlahan-lahan membuat pikirannya kacau hingga meracau tidak jelas.
"Andai saja dia tidak mengungkit-ungkit masalah itu, mungkin saat ini dia masih hidup." Lagi, Doni menghabiskan vodkanya. Ia mengobrol sedikit, menuang, kemudian menghabiskan minumnya sebelum kembali berbicara. Begitu seterusnya hingga pandangannya kini benar-benar mengabur.
"Anda orang yang seperti apa, Pak Doni?" sebuah tanya itu membuat Doni terkikik pelan. Ia menggoyangkan botol vodka yang tinggal sedikit ke arah si penanya.
"Aku orang yang tidak terkalahkan. Aku lebih licin dari belut." Doni tiba-tiba memutar tubuhnya ke samping, hingga bertatapan langsung pada seorang yang menatapnya penuh minat. "Kau tahu? Kalau tidak karena kejadian itu aku tidak akan sekaya dan sesukses ini. Berkat kejadian itu aku bisa hidup bergelimang harta, mobil dan rumah mewah, martabat, disanjung banyak orang, bahkan aku bisa menjamin keluargaku hidup nyaman hingga tujuh turunan."
"Kejadian itu?"
Doni Puryanto mengangguk cepat, bahkan suara tawanya membuat orang mengira ia begitu bahagia. Dan faktanya, ia memang bahagia karenanya. "Ah, sebenarnya ini rahasia. Tapi orang hebat dan berpotensi seperti dirimu membuatku tak ragu untuk berbagi rahasia. Mumpung kau masih muda dan bersemangat, dengarkan baik-baik ceritaku."
Doni mempersempit jarak di antara mereka. Dengan gerakan jemari, ia memberi syarat pada orang itu untuk mendekat. Setelah jarak mereka hanya satu jengkal, Doni menatap sekeliling, seolah takut ada yang mencuri dengar percakapan mereka.
"Aku menghancurkan sebuah keluarga. Keluarga bahagia, aku akui. Tapi pemimpin keluarga itu terlalu bodoh hingga aku dengan mudah menghancurkannya." Doni sedikit berbisik. "Dengan mata kepalaku sendiri aku menjadi saksi kehancuran lelaki bodoh itu."
"Lalu, apa yang terjadi pada keluarga itu?" kejarnya pada Doni.
"Mereka hancur. Hancur sehancur-hancurnya tanpa ada yang tersisa."
"Siapa mereka? Maksudku, keluarga itu."
"Salah satu pendiri Ranika Group. Ah, saking muaknya aku dengan kenaifan lelaki itu, aku sampai melupakan namanya." Doni kembali meraih menuang vodka, menghabiskannya tanpa mengetahui seseorang yang menyimak pembicaraan itu tengah mengirim mantra kematian padanya.
Doni kembali menikmati vodkanya hingga gelasnya tandas, pun isi di dalam botol. Dengan tubuh yang sedikit terhuyung, Doni berusaha berdiri. Tubuhnya hampir saja jatuh mencium lantai, jika orang yang menemaninya sedari tadi tidak dengan sigap menahan punggung lelaki itu.
"Biar saya bantu, Pak."
Doni menoleh sekilas sebelum mengangguk.
"Ah, andai anakku belum memiliki pasangan, aku akan dengan senang hati menjadikanmu menantu. Kau begitu sopan, anak muda."
Orang itu menggeleng, mengulum senyumnya.
"Anda hanya meracau karena mabuk, Pak."
"Aku tidak bohong. Hasil kerja dan kegigihanmu membuatku ingin menjadikanmu salah satu bagian dari keluarga Puryanto."
"Terima kasih, Pak. Tapi seperti yang Anda katakan, anak Anda sudah memiliki kekasih. Saya tidak ingin menjadi penghancur hubungan orang."
"Ah, kau benar-benar baik." Doni tertawa, menepuk punggung orang yang kini susah payah memapahnya ke tempat parkir.
Sungguh tidak mudah memapah Doni ke tempat parkir. Lelaki itu selalu berhenti sejenak sebelum mengeluarkan racauan. Bahkan lelaki itu tak segan membocorkan aibnya pada orang yang merelakan tubuhnya dirangkul Doni.
Alkohol yang ia konsumsi malam ini benar-benar merusak kewarasannya.
"Anda harus istirahat, Pak."
Susah payah orang itu membuka pintu mobil. Sedikit mendorong tubuh Doni yang memiliki beban lebih darinya. Saat Doni tengah memasang sabuk pengaman, orang itu lantas bertanya, "Anda yakin bisa mengemudi sendiri, Pak? Kalau Anda mau, saya bisa menjadi sopir Anda untuk malam ini."
Doni mengangkat tangannya sebagai kode. Entah bagaimana, meski hampir seluruh kesadarannya terenggut oleh alkohol, ia masih bersikukuh mengendarai mobilnya sendiri.
"Tidak perlu. Aku masih cukup sadar."
Orang itu hendak memprotes, namun dengan cepat Doni menutup pintu mobilnya. Tak berselang lama, deru mesin terdengar memecah keheningan malam. Selepas kepergian Doni dan mobilnya orang itu mendesah lega. Memutar tubuhnya dengan senyum lebar di wajah.
***
Jalanan lenggang dengan sebuah mobil yang melaju kencang. Si pengemudi—Doni Puryanto—belum pernah merasa sebebas ini. Berkat alkohol dan sepinya jalan, ia melajukan mobilnya bak pembalap profesional.
Di bawah pengaruh alkohol, ia tidak sadar telah mengemudi di angka tertinggi speedometer-nya. Bahkan jalanan yang seharusnya lurus kini berkelok-kelok karena aksinya yang mengemudi dengan pola zig-zag.
Doni tertawa di sela pandangannya yang sayu dan kabur. Ia menekan klakson berkali-kali, seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan. Tingkahnya itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia baru kehilangan wanita yang telah menemaninya lebih dari dua puluh tahun.
"Juita, kamu pergi terlalu cepat karena begitu bodoh."
Doni menyeringai, mengingat istrinya. Wanita yang telah memberikannya dua buah hati itu telah pulang pada Sang Pencipta.
"Kalau kamu tidak menyuruhku mengakui kesalahanku dulu, aku yakin kamu masih bisa tertawa di dunia ini."
Doni semakin bersemangat menginjak pedal gas. Ia bahkan tidak peduli saat sebuah sinar menghalangi pandangannya. Ia tidak menghindar karena merasa dirinya hebat dan tak terkalahkan.
"Doni Puryanto memang tak terkalahkan. Mereka semua orang-orang bodoh!"
Doni terus meracau tak jelas, semua inderanya seakan mati rasa. Bahkan saat suara klakson melengking nyaring dari arah depan, Doni tetap bergeming. Ia tetap menekan pedal gas hingga mobilnya melesat bak anak panah.
Tepat sebelum mobil itu berbelok di sebuah tikungan, suara besi yang saling menghantam terdengar begitu memekakkan telinga. Disusul suara klakson yang mendengung bak kumpulan lebah.
Kepala Doni Puryanto terjatuh di atas setir, tangannya terkulai di kedua sisi. Kaca depan mobilnya retak tak beraturan. Menciptakan darah segar mengalir di kepalanya.
Meski napasnya tersengal dan kesadaranya semakin menipis, lelaki tua itu masih saja meracau, "Aku tak terkalahkan. Doni Puryanto tidak akan dikalahkan oleh siapa pun."
Perlahan mata sayu Doni tertutup sempurna. Kemeja putih yang melekat di tubuhnya terkena imbas dari darah segar di kepalanya. Seketika, bau anyir darah melingkupi isi mobilnya.
Saat malaikat maut datang dengan seringai lebar di wajah, dan menarik paksa rohnya, Doni Puryanyo tidak akan pernah tahu sebuah mobil berhenti tak jauh dari lokasi kecelakaan yang menimpanya. Seseorang turun dari mobil dengan senyum puas di wajah melihat kekacauan di depannya.
Setelah yakin tidak ada yang selamat dari tragedi yang baru saja terjadi, orang itu kembali masuk ke dalam mobil. Memutar arah dan pergi dari tempat itu seolah tidak ada yang terjadi.
Orang itu tertawa keras. Bahagia karena sesak di dadanya berkurang mengetahui Doni Puryanto telah mati.
***
Gimana? Komen yuk biar aku tahu respon kalian setelah membaca bab satu ini.
Kalau kalian suka, jangan ragu memasukan Fake Identity ke library dan atau reading list kalian ya. Kalau bisa, bagi votingnya juga ya, hehe.
Oh iya, supaya aku lebih bersemangat lagi nulis ini, kalian bisa share cerita ini ke teman-teman kalian. Merekomendasikannya agar lebih banyak lagi yang membaca.
Oke?
Thank you.
Xoxo
Winda Zizty
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro