
Bab 6 : Pulang Sendiri
Alleta berulang kali melihat waktu melalui jam tangan kecil di pergelangan tangannya. Sesekali dia menghembuskan napas kasar. Kakaknya terlalu lama, padahal jam pelajaran sekolah sudah selesai beberapa menit yang lalu. Gadis itu berdiri tepat di sebelah kanan mobil merah Juwita yang terparkir di parkiran sekokah.
Ayah sengaja membelikan mereka mobil untuk kendaraan mereka, sebab Ayah tidak menggaji sopir untuk mengantar mereka. Ayah selalu menyetir sendiri jika berangkat ke klinik atau mengantar mereka ke sekolah. Ayah hanya sesekali meminta bantuan sopir jika memang ke luar kota untuk urusan klinik gigi yang dia bangun.
Ayah membeli dua mobil yang sebenarnya kurang penting untuk gadis di bawah umur seperti Alleta. Juwita memilih mobil merah Nissan Juke, sementara Alleta memilih mobil sedan kecil hutched berwarna putih. Sampai sekarang, Alleta hanya mengendarai mobilnya untuk mengelilingi kompleks perumahan sekadar memanaskan mesin. Gadis itu belum memiliki SIM karena masih berumur enam belas tahun, sedangkan Juwita beberapa minggu yang lalu sudah berusia tujuh belas tahun.
"Sorry lama," ucap Juwita tiba-tiba melempar kunci Mobil.
"Kak, pertimbangin lagi kalau aku yang bawa mobil. Aku enggak punya SIM," protes Alleta setelah menagkap kunci mobil yang dilempar Juwita.
Juwita menyipitkan matanya. "Udah, jangan banyak protes! Lo kan bisa bawa pelan-pelan lewat jalan tikus!" pungkas Juwita.
Alleta menggigit bibirnya dan meremas-remas tangannya. Pandangannya juga kosong, hanya menatap kakinya yang bersepatu hitam. Melewati jalan tikus bukan solusi yang tepat. Sebab, banyak jalan tikus yang membuat kesasar dan perjalanan pulang justru terasa lebih jauh.
"Kak, minta tolong temenmu, ya? Atau Kak Airlangga," ucap Alleta.
"Jangan sebut-sebut nama dia!" protes Juwita kembali. "Udah, sana pulang!"
"Kak, aku harus tahu Kakak ke mana? Aku jawab apa kalau Ibu bertanya?" tanya Alleta. "Kata Ibu, pulang sekolah langsung pulang."
"Lo enggak denger kalau tadi pagi Ibu bilang mau pergi sama Ayah? Lo jangan ngatur hidup gue, gue kakak lo, paham?" jawab Juwita sinis.
"Ya, deh, jangan kesorean pulangnya," saran Alleta.
"Apaan, sih! Berisik!" jawab Juwita seraya meninggalkan adiknya sendirian.
Alleta membuka pintu mobil dan memulai menyalakan mesin mobil. Gadis itu sudah bisa menyetir, tetapi untuk jalan raya yang padat kendaraan dia belum terbiasa. Perlahan akhirnya dia bisa menjalankan mobil keluar dari halaman sekolah yang cukup luas.
Namun, mendadak matanya menangkap Juwita dan Gama sedang berdiri berhadapan di parkiran sisi lain. Juwita akan pulang diantar Gama. Dari dalam mobil, Alleta melihat keduanya saling bercakap-cakap. Juwita juga tampak tersenyum malu-malu. Khas sekali sikap dibuat-buatnya. Jika ada penghargaan gadis paling drama, Juwita adalah pemenangnya. Gadis itu bisa berekting kapanpun dan dalam situasi apapun.
Alleta mengalihkan pandangannya ke depan dan fokus menyetir. Gadis itu tanpak pilu, mengapa menyukai cowok yang sama dengan kakaknya. Sudah pasti dia harus mengalah, toh Gama belum mengenalnya. Alleta juga belum memiliki interaksi dengan Gama, tetapi dalam diam dan sembunyi-sembunyi Alleta mengagumi sosok wakil ketua OSIS itu.
Menyukai seseorang dalam diam ternyata memang besar tantangannya. Salah satu tantangannya ketika seseorang yang disukai itu ditikung orang lain, parahnya orang lain itu adalah kakaknya sendiri. Jika Juwita tahu akan perasaan yang dia pendam terhadap Gama, bisa jadi kakaknya itu akan mencemoohnya.
Tak terasa kendaraan yang dilajukan Alleta sudah memasuki jalan protokol kota. Padatnya lalu lintas membuat gadis itu konsisten menginjak pedal rem dan gas bergantian. Sampai di simpang empat, Alleta tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan 40Km/jam. Tanpa sengaja, matanya terlambat melihat lampu hijau berubah menjadi merah secara tiba-tiba.
"Aduh, aku nerobos lampu merah!" ucapnya panik. "Aduh, gimana nih?"
Alleta mencoba tetap melajukan mobil. Dia mencoba untuk tidak membuat masalah di jalan raya, sebab dia tidak memiliki lisensi mengemudi. Dia berdebar-debar, khawatir jika pelanggaran lalu lintas yang dia lakukan tadi bisa menimbulkan masalah besar.
Meski pada umumnya masyarakat menganggap 'menerobos lampu merah karena terlambat beberapa detik' adalah hal sepele, tetap saja hal itu adalah sebuah pelanggaran dalam lalu lintas. Alleta yang tidak pernah menyetir mobil di jalan protokol langsung merasa cemas.
Beberapa detik kemudian seorang polisi yang mengendarai motor dinas berwarna putih dominasi biru mengiringi mobilnya. Lalu polisi itu memotong laju mobil dan memberikan isyarat pada Alleta untuk menepikan mobilnya.
Alleta terkejut seraya menepuk dahinya. Selanjutnya, dia menelan saliva dan keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Mata gadis itu juga refleks melotot dan dadanya berdebar-debar. Perlahan dia menepikan mobilnya.
Polisi mengetuk kaca jendela pintu mobilnya. "Selamat siang, Dek. Saya Indra Satgas Lantas. Bisa Adek perlihatkan surat-surat berkendara, Adek?" tanya seorang petugas kepolisian yang meminta menepikan mobilnya.
"Tapi, tapi Pak!" jawab Alleta gugup.
"Adek tahu, salah Adek apa?" tanya Polisi itu.
Alleta menggeleng pelan. Sebenarnya dia tahu kesalahan sepelenya. Tetapi, dia sengaja tidak menjawab pertanyaan polisi itu. Dia berencana akan berkilah kalau dirinya tidak sengaja menerobos lampu merah. Dia jujur, dia benar-benar tidak sengaja.
"Adek sudah menerobos lampu merah," sambung polisi.
Alleta hanya menanggapi dengan mata melotot.
"Ayo, mana surat-surat Adek? Mana SIM?"
"Tidak ada, Pak," jawab Alleta diiringi gelengan.
"Tuh, tidak punya SIM. Sebenarnya Adek tidak diizinkan mengemudi. Kalau begitu STNK mana?" Polisi kembali mengintrogasi Alleta.
"Tidak ada, Pak. Ini mobil kakak saya. Tadi dia yang maksa saya bawa mobil ini," jawab Alleta lirih.
"Baiklah, kalau begitu ikut kami ke pos polisi," ucap polisi mengakhiri introgasi.
Ibu, tolong ....
Setelah duduk di pos polisi, Alleta diceramahi polisi habis-habisan. Polisi memberikan nasehat tentang peraturan lalu lintas, cara berkendara yang baik, dan kesalahan menyetir di bawah umur. Total kesalahan Alleta ada tiga, menerobos lampu merah, tidak punya SIM, dan tidak punya STNK.
Berulang kali Alleta meminta maaf kepada Polisi untuk pulang ke rumah. Namun Polisi tidak mengizinkan pulang. Alleta justru dikerjai mereka dan mengatakan akan dipenjara satu hari. Alleta tidak tahu kalau Polisi hanya bercanda padanya karena Alleta selalu menampik saat dimintai orang tua datang.
"Maaf, Dek. Kami tidak mengizinkan kamu pulang sebelum orang tua kamu datang menjemput," ucap salah satu polisi yang duduk di pos lalu lintas.
"Orang tua saya di Bandung, Pak. Saya minta maaf, saya janji tidak akan menerobos lampu merah lagi, saya janji tidak akan menyetir lagi sebelum SIM saya keluar" jawab Alleta terisak-isak.
"Maaf, Dek. Kami hanya menjalankan tugas. Kalau orang tua tidak bisa menjemput. Silakan Adek tidur si kantor polisi," timpal polisi yang diguga adalah komanda Satgas lalu lintas.
Setelah bernegosiasi cukup alot, akhirnya polisi mengizinkan Alleta dijemput keluarga lainnya. Sepertinya polisi mulai bosan melihat Alleta yang menangis terus-terusan.
Alleta mencoba menelepon Juwita, tetapi Juwita tidak mengangkat telepon. Alleta pun mengirim pesan WhatsApp.
Kak, aku ditangkap polisi
Lama tak ada balasan dari Juwita, akhirnya Alleta teringat Mbok Ijah --asisten rumah tangga Ibunya. Mbok Ijah sudah lama menjadi asisten rumah tangga, bahkan sebelum Alleta dan Juwita lahir. Alleta berpikir sebaiknya dia meminta bantuan Mbok Ijah. Dia tak ingin merepokan Ibu dan Ayahnya yang ada pekerjaan ke luar kota.
Alleta mencoba menjauh dari pos polisi untuk menelepon Mbok Ijah dengan panggilan video. Alleta berencana akan mengakui Mbok Ijah sebagai neneknya. Masalah mobil, dia berencana akan meminta bantuan pada Airlangga untuk membawanya pulang. Dia sangat berharap Airlangga masih nongkrong di sekolah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro