Bab 12 : Ice Cream
Juwita sudah kembali ke sekolah setelah dua hari merajuk gara-gara dinasehati ayahnya perkara Alleta ditilang polisi. Begitu kembali ke sekolah dia langsung mendapatkan informasi kalau dia mengikuti lomba sains mewakili sekolah. Hebatnya, Juwita mewakili sekolah tanpa melakukan proses seleksi seperti yang dilakukan Gama atau Alleta.
"Kamu emang beneran beruntung ya, Juwi. Namamu keluar tiba-tiba tanpa seleksi," ucap Mina seraya mengaduk-aduk bakso ayam yang baru saja sampai. Juwita dan ketiga temannya kini sedang duduk-duduk di kantin menghabiskan jam istirahat dengan memakan makanan kecil yang tersedia di kantin.
"Itu tandanya Juwi memang dibutuhkan di sekolah," sambung Caca yang membolak-balik bakwan yang ada di tangannya.
"Tapi kali ini Juwita enggak di matematika, sih. Juwita di fisika, tumben enggak di matematika," timpal Nana.
"Loh, jadi aku ikut lomba bukan dari kelompok matematika?" tanya Juwita kaget. Gadis itu tidak tahu kalau dirinya berada di kelompok fisika. Sebab biasanya dia selalu mengikuti lomba dari kelompok matematika.
"Mungkin proses rolling, Juwi. Sekolah kan pengen kita menangnya enggak di matematika terus. Lagi pula, kamu mah aman aja mau ditaruh di pelajaran apapun," ucap Mina.
"Lha terus, yang di matematika siapa, dong?" tanya Juwita penasaran.
" GAMA," jawab Mina, Nana, dan Caca serempak.
Hah, Gama? Kok bisa, sih? Pinter juga pinteran gue. Kemaren aja dia K.O jawab soal matrix sama logaritma. Kaya gitu apa masih pantes ikutan lomba? Bisa melorot nih prestasi sekolah gara-gara cowok ambisius kayak dia. Dasar tuh Gama, pasti dia mohon-mohon sama Pak Yance supaya dipilih. Awas, ya, gue tuker nama lo!
"Oh, Gama. Duh, kesem-sem gak sih? Udah ganteng, pinter, wakil ketua OSIS, anak orang kaya, sopan, apa lagi, ya?" ucap Juwita.
"Idaman mertua," sambung Caca yang kemudian diiringi tawa mereka berempat.
"By the way, kalian tau enggak, yang kelompok matematika siapa aja?" tanya Juwita.
"Seingetku kemarin Gama, terus Rico, Galang, terus ada anak kelas satu. Ya kan, Ca?" timpal Mina.
Mereka menceritakan tentang siapa saja yang ada dikelompok matematika. Jika peserta lomba umumnya diikuti nkelas XI, Tetapi khusus kelompok matematika ada terselip dua orang siswa kelas X yang lolos seleksi. Saat pengumuman peserta yang lolos seleksi, hampir semua siswa yang melihat pengumuman kala itu tahu dengan Alleta dan Jia. Apalagi Jia yang bersorak-sorak di papan pengumuman.
"Aku enggak tau pasti, tapi kayaknya anak yang berkacamata itu, deh," ucap Nana seraya menunjuk Alleta yang sedang mengantri di meja penjual es krim.
"Ah, iya dia. Namanya entah Alleta entah Jia. Sebab kelas X yang lolos cuma dua nama itu," timpal Caca.
Setelah mendengar percakapan temannya, Juwita pun akhirnya menoleh dan melihat sosok adiknya yang berdiri mengantri di depan meja penjual es krim.
Alleta? Ya ampun! Anak ini beneran coba-coba eksis. Gimana, sih! Kalau gue marahin juga gak bisa. Kecerdasan itu kan enggak bisa disembunyiin. Tapi masalahnya, ah udah deh. Mungkin dia emang ikut seleksi, gue enggak boleh marah dekat temen-temen gue.
"Kamu kenal?" tanya Nana.
"Kenal. Eh iya, Aku nyamperin dia dulu, ya. Mau ngasih selamat," ucap Juwita seraya berdiri dari duduk. Gadis itu berjalan pelan tetapi hatinya berkecamuk dan kesal. Bukan kesal karena Alleta lolos, tetapi kesal karena Alleta diam-diam akan membeli es krim. Juwita tahu kalau Alleta sebenarnya alergi dingin.
Ngapain bocil ini beli es krim? Mau mati?
"Permisi, permisi. Alleta, ikut Kakak, yuk?" ucap Juwita seraya menarik Alleta menjauh dari kerumunan pengantre es krim. Gadis itu akhirnya memilih sudut kantin yang tak kelihatan oleh orang banyak. Alasan sederhana, dia tidak mau terlihat orang banyak karena memarahi Alleta.
"Heh, ngapain lo beli eskrim? Lo tu bengek. Lo bisa pingsan trus nyusahin gue," bisik Juwita ke telingan Alleta dengan merapatkan gigi.
"Anu, anu, Kak," jawab Alletta tergagap.
"Anu, apa? Ngomong yg jelas!" sambungnya.
"Tadi, Jia sama Diana yang minta tolong. Mereka capek banget setelah piket," jawab Alleta tertunduk.
Juwita mengembuskan napas pelan. Gadis palsu itu melihat ke kiri dan ke kanan agar siswa lain tidak mengetahui sifatnya. Dia merasa kesal Alleta diperlakukan seperti ini. Walau dirinya merasa Alleta adalah beban, Alleta adalah penghalangnya, tetap saja gadis itu tidak terima Alleta diintimidasi orang lain.
"Nggak ada alasan, itu namanya merintah-merintah, bego!" bisiknya.
"Dia minta tolong, Kak. Sumpah!"
"Nggak ada minta tolong, yang ada tuh nitip. Lo kan nggak bisa makan es krim. Lo gak niat beli, berarti dia udah merintah lo," cecar Juwita.
"Minta tolong, Kak," bisik Alleta tak mau kalah.
"Itu namanya nyuruh-nyuruh, Bocil! Lo tau perundungan! Sini anter gue ke tempat mereka!" paksanya.
"Enggak usah, Kak."
"Apaan, sih lo! Bawa gue ke sana!"
"Iya, iya," jawab Alleta terpaksa.
Mau tak mau Alleta menyanggupi permintaan kakaknya itu. Mengambil simpati khalayak ramai, Juwita mengamit lengan Alleta dan terlihat sangat sok akrab. Sementara Alleta seperti terlihat sangat gugup. Juwita melihat wajah Alleta yang dirundung kecemasan. Mungkin Alleta takut kalau Juwita melabrak teman-temannya itu. Tidak semudah itu Juwita menampakkan aslinya, dia tentu saja tidak ingin dianggap sebagai tukang bully. Dia tau bagaimana caranya bersikap.
Nih anak, lembeknya gak ketulungan. Capek gue!
Begitu sampai di kelas, Alleta memasuki kelasnya diikuti Juwita dan tiba-tiba mengembalikan uang Jia dan Diana. Sementara Jia dan Diana kebingungan karena Juwita tiba-tiba masuk ke kelasnya.
"Hai, Girls. Kalian yang namanya Diana sama Jia?" tanya Juwita dengan memasang wajah ramah. Juwita menatap Jia dan Diana bergantian, tentu saja dengan senyum yang sangat manis.
"Iya, Kak," jawab mereka serempak.
"Duh, maaf banget, nih. Aku udah ikut campur urusan kalian. Tadi aku kaget lihat Alleta di kantin beli es krim. Yah," ucap Juwita tertunduk dan menghentikan pembicaraannya dan memasang wajah sedih. Gadis itu mencoba mengambil tisu di saku seragamnya dan menyeka matanya.
"Kenapa, Kak?" tanya Jia penarasan.
"Kami ini kan, satu dokter spesialis. Aku sering ketemu dia. Kami sering kebetulan barengan periksa. Jadi, kami ini ada sedikit masalah sama pernapasan kami. Kami gak boleh makan es krim. Aku sebagai kakak kelas tentu aja ngingatin dia," cerita Juwita dengan wajah sedih dibuat-buat.
"Waduh, maaf, ya, Kak. Aku simpati banget sama kondisi Kakak dan Alleta. Tapi kami cuma minta tolong, kok, Kak," jawab Jia mewakili Diana.
"Kan perginya jauh, enggak boleh. Itu nyusahin orang, itu sama dengan perundungan," ucap Juwita pelan. Gadis itu mendekat kepada Jia yang duduk di bangkunya.
"Gitu, ya?" tanya Jia.
"Iya," jawab Juwita seraya memijat leher Jia.
"Maaf, deh. Tapi kami kan capek," jawab Diana.
"Aduh kamu capek, ya, Diana?" Kini Juwita mendekat dan memposisikan dirinya dibelakang Jia dan Diana yang kebetulan duduknya di bangku paling belakang di kelas.
"Jadi, es krimnya, belom jadi di beli, ya?" Jia kembali bertanya.
Alleta menggeleng pelan.
"Kalian kan bisa beli sendiri. Di sekolah ini gak boleh ada perundungan. Kalau kedapatan bisa dapat sangsi," ucap Juwita sambil menguatkan cengkraman tangannya di tengkuk Jia dan Diana. Dengan dalih memijat tengkuk Juwita dia sengaja mencengkram leher mereka karena kesal.
"Aduh, aduh, kak, iya kak. Pijatnya udahan dulu,"'protes Diana.
"Loh, kenapa? Pijatan tanganku terlalu kuat, ya?" tanya Juwita polos.
"Enggak, sih, Kak. Kayaknya capekku udah ilang deh. Ya kan Diana?" ucap Jia tiba-tiba.
"Ya, betul betul, tiba-tiba capekku ilang. Kak Juwita emang pinter banget pijat refleksi," sambung Diana dengan wajah meringis.
Sementara Alleta hanya diam, menunduk, dan mengulum senyum melihat interasi kakaknya dan teman-temannya. Alleta tahu kalau Juwita sengaja melakukannya. Untuk melampiaskan kekesalan dan kemarahannya.
"Aduh, maap, ya. Kalau pijatanku terlalu kuat! Duh, jadi sakit deh, leher kalian," jawabnya sambil melepas tangannya dari tengkuk Diana dan Jia seraya menutup mulutnya dengan ekspresi pura-pura terkejut.
"Oh, enggak apa-apa, Kak," jawab Diana.
"Habisnya tadi kalian bilang capek, sih," jawab Juwita dengan wajah tanpa dosa.
Jia dan Diana saling berpandangan. Mereka menggit bibir mereka. Sepertinya mereka sedang berpikir kalau yang dilakukan Juwita tadi sebenarnya adalah pijatan atau cekikan? Mengapa rasanya lumayan nyeri. Bukannya hilang capek, tetapi justru lehernnya tambah sakit.
"Oh, iya ini. Duit sepuluh ribu. Buat ganti ongkos kirim beli eskrim tadi. Lagian duit kalian tadi kurang," tutur Juwita dengan nada yang sangat pelan.
Udah nyuruh-nyuruh, duitnya kurang lagi. Dasar gak tau malu!
"Wah, Kak. Enggak usah repot-repot," tolak Jia pelan.
"Enggak apa-apa ambil aja, lain kali beli sendiri ya. Sebagai sesama pasien dokter THT Alleta enggak boleh terlalu capek. Jadi, kalian jangan nyuruh-nyuruh Alleta lagi, aku khawatir kalau dia pingsan," pungkas Juwita.
"Oke, Kak. Terima kasih tambahannya," ucap Diana malu-malu.
"Sama-sama. Sebagai kakak kelas, aku cuma ngingatkan aja, kok," ucapnya lembut.
"Wah, iya, Kak. Enggak apa-apa, kok," ucap Jia.
Juwita berjalan keluar kelas mereka. Dirinya puas secara tidak langsung melabrak teman-teman Alleta yang dia anggap sangat menggangu. Jika melabrak langsung, tentu saja tidak bisa. Sebab, rumor dan skandal buruk tentu saja akan menimpa dirinya yang sampai sekarang image-nya bersih.
Mampus, kalian gue cekik!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro