Day 8; Sonder
Kertas berserakan, buku tercerai berai, juga ampas beberapa makanan ringan bercampur menjadi satu di atas kasur berwarna biru gelap. Beberapa terjatuh ke atas lantai berkeramik sewarna koral. Timbulkan kesan kotor yang tentunya akan membuat jijik bagi yang memandangnya.
Pengecualian bagiku, mungkin. Aku justru hanya menatapnya datar, sebelum kembali menambah sampah dengan membuang bekas permen di mulut. Semuanya terlihat biasa saja. Tentu saja karena aku pelakunya.
Kurebahkan badan di atas kasur bermandikan kertas. Seolah para pujangga yang tertidur di atas hamparan mawar. Menerawang, memikirkan alur kehidupan selama nyaris 18 tahun ini.
Genggam kertas di sisi badan membuatku tersadar. Hidupku tak lebih dari gumpalan berwarna putih pucat itu. Tercoreng sesuatu yanh tak berwarma, kusut mengkerut tanpa makna. Simpel, tetapi membuatku memberikan tatapan geli ke arahnya.
Apa hanya kehidupanku yang seperti ini? Apa hanya aku pemeran yang gagal dalam kontesnya sendiri? Bagaimana dengan mereka yang senantiasa tertawa seolah tanpa beban? Mungkinkan kehidupan mereka seolah novel fantasi yang direalisasikan?
Aku mendengkus geli beberapa kali. Merespons betapa naifnya pemikiranku itu. Terlalu naif untuk remaja yang memasuki detik-detik kepala dua. Saat di mana seharusnya jiwa ini sudah mulai menjadi dewasa.
Namun, apa yang terjadi? Keluh kesah datang bagaikan terjangan ombak, di tengah kehidupan yang kian tak bersahabat. Dewasa di sisi mananya itu? Kedewasaan hanyalah bagi mereka yang sudah mengontrol dengan baik seluruh resahnya. Setidaknya itu yang kujadikan pegangan untuk meniti sisa usia ini.
Samar-samar, aku mendengar suara televisi yang tengah menyiarkan tayangan bersosial nan kemanusiaan. Tentang betapa menyeramkannya kehidupan mereka yang hidup di daerah rawan intrik memanas di Timur Tengah.
Itu membuatku berpikir. Bila dibandingkan, aku masih jauh lebih beruntung dari mereka. Kasur empuk, makan dan minum terpenuhi, lingkungan damai, tak akan mereka temukan dalam kondisi itu. Sementara di sini aku terkesan tidak menyukuri apa yang ada.
Angkat tangan seolah hendak genggam sesuatu, kulakukan berulang kali. Harapanku entah kemana, tak ingin berada di sampingku lagi. Seolah ia tahu bahwa ia tak akan berguna bila berada di jalur nasib anak Adam seperti diriku.
Embuskan napas berulang kali, aku mulai lagi membanding-bandingkan antara kehidupanku dengan mereka yang selalu masuk ke dalam kata "beruntung" di kamusku. Sepertinya banyak perbedaan di antara bumi dan langit seperti itu.
Lamat-lamat, aku membayangkan jika berada di posisi salah satu dari mereka. Bagaimana rasanya menjadi pintar? Bagaimana rasanya menjadi terkenal? Bagaimana rasanya memiliki lingkaran pertemanan yang begitu luas?
Lantas, apa yang akan mereka lakukan jika berada di sisi kelam sepertiku? Sudah pasti mereka tidak akan hanya berdiam diri laiknya kura-kura di dalam perahu sepertiku. Kuyakin mereka mampu untuk bangkit dan kembali berpindah ke sisi yang terang.
Di saat memikirkan hal yang tidak berfaedah seperti itu, sisi lain diriku malah mengingatkanku untuk tidak mengambil sesuatu berdasarkan satu sisi. Ia menyadarkanku bahwa masih banyak sisi lain yang harus digali ketika aku ingin mengeluh tentang hidupku.
'Bisa jadi kan mereka yang selalu tertawa justru yang paling kencang tangisannya di malam hari?'
'Bisa jadi kan mereka yang teelihat bahagia justru aslinya tengah merana?'
Menggelengkan kepala, aku hanya bisa terdiam. Tak ada gunanya jika aku membantah hal yang memang benar itu. Namun, sisi gelapku mulai mencoba mengambil alih.
'Bagaimana jika nyatanya kau memang bukan pemeran utama?'
.
Pancor, 10 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro