Day 5; Incandescence
Bangku taman itu terduduki. Mainkan kaki yang berayun, ia menengadah. Mungkin memikirkan sesuatu yang entah apa itu.
"Hah..."
Hela napas kuat, ia kembali menekuri bumi. Menyusuri lekuk kaki yang ia amati secara mendalam. Teringat akan beberapa pujian dari teman. Iri terhadap kulit putihnya.
Huh. Memangnya apa yang bisa ia banggakan dari kulit yang lebih pucat dari yang lainnya? Atau malah mereka hanya menyindir karena pada kenyataannya mereka jauh lebih feminin dengan berbagai perawatan itu?
Tak sengaja, ia melihat luka di sisi kakinya. Begitu kecil hingga nyaris tak diperhatikan. Membuatnya mengulas senyum tipis. Menyadari hidupnya seperti itu.
Kebanyakan dari mereka di luar sana menganggap ia hidup bebas. Hidup tenang seperti kebanyakan orang. Di mana itu justru menjadikan dirinya mudah dicibir ketika tak mampu melakukan sesuatu.
Padahal aslinya, luka menganga siap melebar dengan cepat dari sana seiring dengan tekanan batin yang terkadang jatuh ke jurang terdalam. Luka yang tersembunyi, persis seperti luka di sisi kakinya.
Dan ia akui, ia nikmati semua itu. Ia nikmati bagaimana hidup menjatuhkannya ke jurang terdalam. Walaupun itu sama saja dengan membunuh dirinya yang fobia akan ketinggian. Sungguh ironi yang mengenaskan.
Keadaan sekitar menarik perhatiannya sebentar. Di mana ada sosok lelaki di bangku sebelah tengah mengisap sebatang halusan tembakau. Bumbungkan asap kecil, sebelum akhirnya jatuh ke rumput kering di bawah sana.
Lelaki itu pergi. Tak peduli bahwa sisa rokoknya masih menyala. Pun ia sama saja. Tak mengambil pusing dengan benda yang menghilang di antara rerumputan itu.
Pejamkan mata dengan perlahan, ia nikmati bagaimana semilir angin musim panas memijat wajah. Nyaris membuatnya terlena, jika saja ia tidak mendengar gemericik aneh dari seberang kakinya.
Ia mengeryit melihat bagaimana percikan bunga api yang tiba-tiba membesarkan diri. Mengubah suasana sekitar menjadi lebih panas kala ternyata api itu mulai melahap sekitar.
Ah, rupanya alam bersinergis. Angin panas berhenti membelai wajahnya, memilih untuk bermain dengan api yang kian membesar. Menggabungkan diri secara suhu dengan buatan alam itu.
Hawa kering seketika menyambar wajahnya yang hanya berjarak kurang dari 10 meter dari sumber api itu. Alarm peringatan di kepala menyala, tetapi kakinya enggan bergerak. Malah semakin mengayunkan diri dari bangku, seolah menikmati semua itu.
Ia menyipit bagaimana melihat cahaya di sekitarnya berubah. Yang semula hijau berpadu biru, kini menjadi merah bersaru jingga. Indah nan elegan di saat bersamaan. Buat dirinya semakin terpaku dan membeku di tempat.
Api kian menyebar begitu menyadari tak ada yang menghentikannya. Wajar. Lokasi mereka terpencil dari taman utama. Perbesar peluang tiada yang mengetahui bahwa sudut taman itu sudah terlalap api.
Sebagai satu-satunya makhluk bernyawa di situ hanya diam saja. Tak melakukan apapun walau menyadari si Jago Merah mulai melirik ke arahnya. Oke. Bahkan sepertinya alam menaruh ketertarikan kepada gadis pucat laiknya ia.
Seolah lelaki yang mencoba mendekati perempuan idaman, api itu mulai menggeser diri menuju bangku sebelah. Ia yang ada di sana menggeser diri. Berikan ruang kepada tamunya untuk duduk. Atau malah mengundur waktu bertemu kegelapan di baliknya?
Yang ia lakukan hanya menghela napas dengan cepat seiring bulir keringat yang membanjiri tubuh begitu api mencoba merengkuhnya. Ia tidak lari. Tidak semenjak ia memenuhi pemikiran gila yang entah sejak kapan bersarang di pikirannya.
Ia akan pergi bersama cahaya bertemperatur tinggi itu. Atau tepatnya, bersama kegelapan yang tersenyum di baliknya.
.
Pancor, 05 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro