Day 4; Petrichor
Gelegar suara petir menyahuti satu sama lain. Timbulkan ketakutan sementara bagi yang tidak siap mendengarnya. Pun kala cahayanya melesat secepat kedipan mata. Membuat suasana semakin mencekam.
Namun, itu tidak berlaku untukku. Di taman belakang rumah, aku duduk sendiri. Menunggu pertunjukan perdana dari kejadian alam yang sebentar lagi akan dimulaikan ini. Jaket di badan kueratkan. Tak beri ruang kepada angin yang mulai bersikap kasar.
Perlahan tetapi pasti, bias-bias mulai terasa membasahi wajahku. Menengadah, kusaksikan bagaimana mega mendung berkumpul membuat langit menjadi kelabu. Sebelum akhirnya harus mengerjap karena setitik air memasuki mata.
Satu diikuti yang lain. Jatuh satu, tumbuh menjadi seribu dengan cepat. Menjadikan pakaian yang ada di badanku memberat dan memperjelas lekukannya. Ah, biarlah. Toh hanya aku makhluk bernyawa yang ada di sini.
Indah. Hanya itu yang kupikirkan bagaimana melihat anakan langit yang membentuk barikade bernama hujan melingkupiku. Rasanya seolah dipeluk oleh beribu kehangatan di balik kedok udara dingin bersaru guyuran air. Dua perpaduan sempurna untuk masuk ke dalam favoritku.
Kakiku seketika telanjang begitu alasnya terlepas. Biarkan tapak menginjak tanah melumpur, aku berlarian kecil di antaranya. Seolah bocah yang diberi kebebasan oleh sang ibunda. Tawa kecil terdengar samar secara sekilas.
Sudah dua menit berlalu. Tiada tanda hujan akan mereda. Aku hanya tersenyum simpul. Biarkan tubuhku kembali mencumbu dengannya, kududukan pula ia di atas bangku tergenang. Kembali menikmati totokan alami begitu aku menengadah dengan mata terpejam.
"Kau mengingatkanku akan hujan. Kalian beraroma sama. Menenangkanku kapanpun kalian ada."
Kubuka mata perlahan begitu merasa hujan mulai merintik. Yang pertama kali kulihat adalah sinar yang menusuk tepat di mata. Betapa cepatnya alam menggantikan suasana kesukaanku itu.
Namun, hujan masih bersamaku melalui jejak yang ia tinggalkan. Membasahi paru-paru dengan aroma rumput yang sudah dipijakinya. Pun wangi tanah berlumpur turut membagi diri memasuki indera penciuman. Menenangkan, seperti biasa.
Sama seperti dirinya.
Mengambil posisi jongkok, iseng-iseng kumainkan rumput yang tertunduk menahan beban. Ringankan mereka dengan membuang sisa airnya. Sekaligus mengalihkan pemikiranku dari sekelebat bayang yang mencoba merealisasikan diri.
Sayangnya, wewangian sisa tangisan langit itu malah semakin membuat sosok itu mendarah daging dalam penglihatan. Antarkan diriku menghela napas, sebelum akhirnya menyeka sudut mata.
Kini, aku menyerah. Membiarkan kenangan akan sosok Hujan milikku menjadi nyata di dalam pikiran. Membiarkan senyumnya mematri diri lebih jelas. Timbulkan getaran yang semakin menggelegak kala aku semakin mengingatnya.
Aroma hujan yang tersisa aku sesap kembali. Penuhi rongga dada akan kehadirannya yang maya. Kemudian tanpa diminta, bibirku fasih merapalkan sebuah nama.
Sekali lagi, aku menyerah. Biarkan air bergaram turuni pipi dengan baik kala wajah lelaki itu membayang dengan jelas seolah ia ada di depanku. Namanya kembali kurapal dalam lirihan. Sebelum kenyataan menampik seluruh kenangan itu dengan kencang.
Aku tertawa kecil sesudahnya. Apa faedah dari rapalan nama tiada bertuan? Dirinya sudah tiada. Untuk apa aku mengingatnya kembali? Padahal dia sendiri yang memintaku untuk segera mencari penggantinya.
Dan realita tak semudah ekspetasi. Faktanya, aku semakin mengingatnya. Semakin menancapkan dirinya ke dalam ingatan dengan kuat, seiring waktu yang sudah berjalan lima tahun. Semenjak hujan membawanya pergi dari sisiku menuju keabadian.
"Kau mengatakan aromaku seperti hujan kan? Maka, temukan lagi yang lainnya agar hujanmu tetap sama."
Bagaimana hujanku tetap sama jika aromanya berbeda?
.
Pancor, 04 Desember 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro