Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 3; Oblivion

Gigi gemeretuk pecahkan biskuit yang langsung diambil lidah untuk dilumatkan. Mengulangi hal yang sama hingga jemari berhenti memberikan lagi. Kemudian, kembali bersembunyi di balik rapatnya bibir.

Ia yang benda mati mungkin hanya tahu itu sebagai kewajiban, tanpa peduli tentang motif di balik tuannya yang senantiasa menyuruhnya bekerja di atas rata-rata di beberapa saat tertentu. Ah, andai ia tahu, mungkin beda lagi ceritanya.

Kini, giliran mata yang merefleksikan seluruh pemandangan di depan. Menangkap lalu menyimpannya di memori. Berikan kesempatan pada hidung untuk mendengkus singkat.

Ah, semua itu hanya sebuah rutinitas biasa yang tiada apa ia rasakan. Ia tahu benar. Semenjak ia sadar sudah tidak ada lagi yang ia harapkan.

Di sini, ia hidup nyaris tanpa asa. Namun, siapa juga yang peduli? Tidak ada. Bahkan instansi di mana ia menggadaikan hidup pun mengangkat tangan. Siapa juga yang mau peduli kepada ampas jalanan seperti dirinya?

Minuman kaleng disesap perlahan. Berikan efek segar nan pahit sementara yang mengalir dengan lancar ke dalam tubuh. Timbulkan pikiran santai untuk beberapa detik.

Sejujurnya, ia kadang mempertanyakan eksistensi seorang manusia fana seperti dirinya. Apakah dirinya manusia ataukah makhluk lain? Oh ayolah. Ia berkata seperti itu hanya karena tercenung melihat betapa dirinya terasingkan dari permainan takdir.

Jika ia adalah makhluk halus, ia tak akan repot-repot memikirkan mengapa dirinya mudah untuk diabaikan atau tidak disadari oleh sesiapapun di depannya. Namun, otaknya membantah. ia adalah manusia. Ia adalah darah berdaging yang diberi nyawa.

Sayangnya, kehidupan mengenyahkan itu semua. Lihatlah  Tak ada yang peduli padanya. Halusnya, tidak ada yang menyadari mengapa ada sosok yang tengah menarik diri di antara mereka.

"Trash. It is a trash."

Gumamkan kalimat itu berulang-ulang, sisa minuman ia sesap lagi hingga tandas. Bunyi klontang terdengar beberapa detik kemudian mengiringi bekasnya yang menghilang dalam tabung berwarna kecokelatan. Lalu ditinggalkan begitu kaki mulai menjejak langkah.

Tangan masuk ke dalam saku jaket tebal guna hangatkan diri. Sementara matanya kembali menyesuaikan diri dengan sekitar. Melihat bagaimana kehidupan orang yang jauh lebih berwarna dari dirinya. Kesimpulan tak mendasar atas kenaifan seorang anak manusia.

Tak jauh dari posisinya, ia melihat ada orang yang tengah berorasi. Serukan tentang betapa pentingnya tatanan yang bersih. Ia terkekeh mendengarnya. Memangnya sejak kapan hal seperti itu akan benar-benar putih? Bullshit!

Jika bersih, harusnya ia tidak menggelandang seperti saat ini. Harusnya ia tengah berada di rumah panti atau penitipan orang. Tak masalah. Hanya saja, manusia lebih mementingkan untuk membuncitkan perut mereka sendiri daripada melaksanakannya dengan baik.

Buka kacamata lebih lebar, ia tersenyum kecut. Entah karena dirinya yang terlalu transparan atau memang pihak berwenang tak memedulikan, intinya ia tengah sengasara. Sengsara karena nasib memainkannya sedemikian rupa.

Sol beradu aspal timbulkan suara berdecit, terlebih ketika kakinya sengaja menggeret dengan dalam. Tak peduli kaki nyaris mencium luaran karena pelindung yang tipis mengundang lubang.

Menengadah, ia sipitkan mata terhadap cakrawala yang menyenja. Beberapa menit kemudian, berakhir sudah hari ke sekian yang ia jalani sebagai penghuni alam. Diam-diam ia berterima kasih. Setidaknya masih ada pohon dan tanah yang tidak akan membiarkannya kelaparan serta kedinginan.

Sekarang pertanyaan baru menghuni jaringan di balin batok kepala keras itu.

Mengapa bisa manusia bernyawa lebih mati dari alam yang hanya diam saja?

.

Pancor, 03 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro