Day 13; Ephemeral
Pucat. Dingin. Kaku.
Tiga kata itu memenuhi indra kala jemari menyentuh kulit di bawah sana. Bukan kulitnya, tetapi ia rasakan hal yang sama. Buat dirinya diam-diam menitikkan air mata. Dadanya sesak.
Dirinya hanya terdiam kala tubuhnya ditarik paksa dari tempat itu. Ia harus menghindar, atau nanti dirinya ikut basah oleh proses memandikan. Namun, ia tidak bisa menghindar kala sesak itu kian menjadi di saat dirinya melihat tubuh yang dimandikan itu tidak bereaksi. Sama sekali kaku laiknya kayu.
Begitu juga ketika tubuh itu diangkat, lalu dipindahkan ke atas kain putih berlapis dengan wewangian kapur barus di antaranya. Segera ia menghapus air mata. Sentuhan terakhir berupa kecupan singkat di atas dahi dingin itu tentu tak boleh dirusak oleh perasaannya yang sudah lebur.
Dan kesadarannya ambruk begitu wajah itu tertutupi sempurna tanpa celah. Ia meronta. Meminta agar semua orang di sana membangunkan sosok itu. Tak ada yang menurutinya. Hanya isak tangis dari yang lain menjadi jawabnya.
"Ini terlalu cepat, Dik. Kau masih kecil. Bangunlah. Kakak sudah pulang ..." lirihnya ketika proses atas sosok itu akan selesai.
Keranda itu sudah tertutupi kain hijau dengan bordiran ayat suci. Suatu pemandangan yang menyesakkan dirinya yang kini mematung, menatap kosong nan hampa pada benda itu. Kilasan demi kilasan bayang seolah berkelebat. Memberitahu betapa jahatnya waktu karena memisahkannya dengan sosok di dalam sana.
"Kakak sudah pulang lho, Dik ... mana pelukan 'selamat datang'-mu itu?"
Ucapan bernada sama terus berulang dari bibirnya. Seolah menjadi rapalan agar hati itu tenang. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya. Sudut matanya mulai mengalirkan air kembali.
Padahal, baru beberapa waktu yang lalu mereka bertukar kabar via telepon.
Padahal, foto mereka bersama penuh di ponselnya ketika kepulangannya bulan lalu.
Padahal, seharusnya sekarang mereka saling memeluk erat sembari mengambil foto yang kesekian ratus kalinya.
Begitu banyak 'padahal' yang ingin ia teriakkan. Walau di realita ia hanya terdiam seribu bahasa. Lidahnya sudah kelu akibat menjerit kala kabar sosok itu pergi sampai pada dirinya. Realita yang tak pernah ia harapkan akan terjadi.
Dipapah oleh sahabat, ia memaksa diri untuk pergi, turut mengiringi sosok itu menuju peristirahatan terakhir. Berulang kali ia tegaskan bahwa dirinya tegar, walau itu tidak menutup fakta tubuhnya tidak bisa berdiri tegak. Kesedihan sudah menggerogoti tenaganya.
Maka, sampailah mereka di tempat itu. Tempat di mana beratus sosok bernasib sama sudah lebih dahulu tertidur nyenyak di bawah lindungan pohon kamboja. Sekarang, sosok miliknya itu akan menyusul. Akan segera terpeluk bumi dan ternaungi rerumputan kecil.
Dirinya hanya bisa menangis dalam diam kala lantunan ayat suci pengiring terdengar. Masih mencoba memaksa alam bawah sadar untuk menerima semua ini sebagai sebuah kenyataan. Terlebih ketika matanya menangkap jelas timbunan tanah sudah terbentuk dalam waktu yang singkat.
Ia menurut saja ketika diajak untuk berdoa, berikan hadiah terakhir dari mereka yang sudah berbeda alam dengan sosok itu. Daripada ayat suci, ia lebih memilih untuk menanyakan pertanyaan yang tidak akan pernah ia dengar jawabannya.
"Mengapa harus sesingkat ini?"
.
.
Pancor, 05 Januari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro