Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 1; Dystopia

Sosial.

Tempat di mana ia hanya menjadi penonton. Tak layak untuk menjadi pemeran walau itu adalah pertunjukannya sendiri. Sering melewatkan kesempatan untuk unjuk gigi yang terkadang ia sesali. Namun, siapa yang peduli? Sosialnya menerapkan hukum rimba. Siapa yang kuat, maka ia yang menjadi penguasa. Lemah sepertinya hanya menjadi ampas bertumpuk di bangku sisa.

Sekolah.

Nyaris selama setahun hanya menjadi rutinitas tiada akhir yang menuntut partisipasinya di dalam suatu ruangan bernama kelas. Masih beruntung ia mau menghadiri tempat di mana ia hanya menjadi seonggok daging yang kehilangan minat karena berbagai faktor.

Keluarga.

Ikatan abadi yang saat ini sedang goyah. Di balik wajah datarnya, ia berusaha untuk mempertahankan itu semua. Sayangnya, beberapa di antara mereka berusaha melepas diri. Lantas, masihkan ia bisa mengharapkan kehangatan dari sesuatu yang kian mendingin setiap saat?

Dirinya.

Hanya satu raga tanpa jiwa. Seonggok daging bernyawa tiada sukma. Membuatnya terkadang membenci, kadang juga mengasihani. Benci karena mengapa dirinya harus hidup dan dengan alasan yang sama ia pun memberikan simpati sepihak. Lucu memang.

Mendesah kecil, ia balikkan sebelah wajah yang kram akibat terlalu lama menjadi alas tidur. Menggantinya dengan sisi satunya demi melanjutkan mimpi. Tak lupa, lengan pun turut membentuk peraduan bagi wajah yang menyentuh meja. Antarkan si pemilik raga untuk segera menyelami memori terdalam.

Sayangnya, telinganya yang belum terbius malah memasukkan dengungan halus. Berputar sebentar, sebelum masuk dan menginfokan sesuatu yang mampu menarik sudut bibir menjadi asimetris.

Lagi-lagi, ia mendengar itu. Cibiran tentang dirinya—atau bukan— yang pemalas nan pendiam. Menyayangkan mengapa ia menghabiskan waktu hanya dengan melamun atau tidur.

Matanya tetap terpejam. Biarkan para lebah berdengung semakin lebat. Karena apa yang mereka katakan itu bukanlah salah besar. Jadi, mengapa dirinya harus merasa tersinggung?

'Dasar manusia tidak tahu berterima kasih.' Ia membatin kala memutar kembali apa yang ia dengar. Lalu tanpa diminta, terpaksa sel otak yang hendak beristirahat kembali mengolahnya.

Apa yang salah dengan pilihan hidupnya sehingga patut dibicarakan seperti itu? Dirinya memang pemalas. Lantas, apa yang aneh? Justru karena dirinya yang pemalas itu ada, mereka semua bisa mendapatkan gelar sebagai "yang rajin dan yang pintar." Dan mereka sama sekali tidak berterima kasih untuk itu.

Manusia memang aneh.

Masalah penyendiri, ia hanya akan tersenyum simpul menjawabnya. Bagaimana mungkin ia akan ikut masuk ke dalam dunia mereka sementara dunianya masih lebih bagus? Walau ia tak memungkiri. Dunia mereka adalah nyata, sementara miliknya hanyalah khayalan belaka. Tak heran dirinya menjadi seorang pemimpi.

Miris memang.

Namun, ia yang memiliki sosial, sekolah, keluarga, dan diri seperti itu bisa berbuat apa? Hanya bisa membiarkan diri turut mengalir dalam air kehidupannya yang menderas.

Sementara dirinya bertemu dengan hal itu; mimpi. Membuatnya lebih sering mengunjungi dunia di mana ia bisa tertawa bebas. Tempat di mana alam bawah sadarnya merealisasikan diri. Merubah wujud menjadi wonderland yang membuatnya ketagihan. Berakibat pada bad temper yang ia miliki jika diputuskan dengan dunia itu.

Terkadang, ia berpikir untuk hidup selamanya dalam ilusi dunia maya itu. Beberapa kali mencoba melakukannya dengan menghancurkan batas antara rasionalitas dengan keinginan semu. Namun, untuk sementara akal sehatnya masih lebih unggul.

Atau malah sudah gila dengan membiarkannya tetap hidup di dunia seperti ini?

Jadi, apa yang harus ia pilih? Dunia nyata yang menyesakkan, ataukah dunia ilusi maya yang singkat?

.

Pancor, 01 Desember 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro