Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🦋Chap 8: Perpustakaan

FAGA membuka matanya saat Nub berusaha menggoyangkan lengan pemuda yang berbaring di atas dipan itu. Sudah 1 minggu berlalu sejak dirinya tinggal di mansion Hui, dan pemuda itu mulai terbiasa tidur di atas kasur berisi jerami.

"Faga, cepat bangun, Tuan Hui mencarimu."

Masih setengah sadar, Faga memaksakan diri untuk bangkit dari posisinya. Semenjak berada di dunia peri, kebiasaan tidur molor Faga terganggu. Nub selalu membangunkannya pagi-pagi buta seperti saat ini.

Faga menguap. Ia meregangkan otot tangannya, lalu menatap datar ke arah Nub dengan mata masih setengah terbuka. "Di mana Tuan Hui?" tanyanya dengan suara serak.

Mengetahui Faga sudah bangun, Nub kembali membereskan tempat tidurnya. "Ada di ruangannya," jawab peri berambut ikal itu.

Faga tak mengangguk. Ia memutuskan keluar dari biliknya, dan membasuh muka dengan air dingin di pancuran belakang. Faga begidik merasakan sensasi dingin mengenai wajahnya. Setelah mengeringkan wajah dengan pakaiannya sendiri, pemuda itu melangkah menuju ruangan Hui.

"Tuan memanggil saya?" ucap Faga dengan intonasi datar.

Hui melirik sekilas budak muda itu. Segera setelah itu, Hui menyodorkan amplop pada Faga. "Berikan ini pada Tuan Mons secara langsung," kata Hui. "Entah kenapa penyihir itu menyuruhku mengirim surat tak penting seperti ini harus lewat kau. Padahal banyak tugas yang harus kau kerjakan di sini, alih-alih mengantar surat resep." Ekspresi Hui terlihat bebal. Seolah tak rela budaknya harus mengantar surat pagi-pagi sementara mansion besar miliknya membutuhkan perawatan setiap pagi.

Faga mengerjap. Ia hanya mengangguk lantas pergi setelah menerima amplop tersebut.

Sepanjang perjalanan, Faga merasa dirinya sudah hampir berhasil dalam mendekati Penyihir Mons. Membayangkan portal menuju bumi di depan mata, membuat Faga semakin mempercepat langkahnya.

"Bagaimana punggungmu?" Mons menyambut dengan sebuah pertanyaan.

Akhir-akhir ini, Faga lumayan sering ke tempat ini karena Mons yang menyuruh. Walau pertemuan mereka hanya berkisar 5 sampai 10 menit, hal itu cukup untuk membuat Penyihir Mons merasa akrab dengannya.

Faga mencoba merasakan punggungnya. Empat hari yang lalu, Mons memperingatkan tentang punggungnya yang akan menumbuhkan sayap. Dan lusa kemarin, Mons memberikan padanya sebotol ramuan pemercepat pertumbuhan.

"Saya rasa, seperti ada akar-akar kuat di punggung saya," jawab Faga seraya menyodorkan amplop dari Hui.

Mons terkekeh. Membuat rambut pirang panjangnya bergerak-gerak. "Itu otot," tukasnya sambil menerima amplop dari pemuda itu.

Pipi Faga berkedut. Ah, iya juga ... otot. Kenapa dirinya bodoh sekali akhir-akhir ini?

"Mons, sudah saatnya." Suara Bald menginterupsi. Kepala peri botak itu muncul dari balik pintu. Wajah Mons yang awalnya santai berubah serius. Ia memberi isyarat pada Faga agar segera kembali ke mansion.

Mons dan Bald melesat menuju lantai tertinggi menara.

Faga mendongak. Ia menelan ludah. Sekarang pemuda itu mulai mengerti, kenapa tangga di menara ini mulai berdebu. Pasti semua itu karena mereka tak memerlukannya.

Insting Faga mengatakan, Mons dan Bald sedang berurusan dengan portal dunia lain. Sebelum firasatnya melemah, pemuda itu segera mengendap menapaki setiap anak tangga. Tak ada penjagaan di dalam menara karena memang para penyihir itu cukup kuat untuk menghadapi serangan.

Napas Faga mulai tak beraturan. Ia mengumpat dalam hati. Berhenti sejenak untuk mengatur napasnya, pemuda itu menatap lelah tangga yang barusan ia lewati. Batinnya ingin menyerah. Namun, itu akan menjadi kesia-siaan karena dirinya sudah sampai di tengah jalan.

Setelah merasakan lelahnya mulai menguap, Faga kembali menggerakkan kakinya.

"Apa ini sudah sempurna?"

Suara Mons terdengar sangat jelas sampai telinga Faga. Puncak menara tak memiliki pintu. Hanya atap luas dengan satu lubang untuk turun.

Faga mencoba melongokkan kepalanya ke luar. Ia menahan napas saat mendapati pusaran cahaya yang kian membesar dikendalikan oleh Mons dan Mint. Bald sibuk meneliti portal tersebut.

"Kurasa ini sudah sempurna ...," gumam Bald kurang yakin.

Angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut mereka-kecuali Bald. Faga terus memperhatikan ketiga penyihir itu, hingga Bald mengatakan portal itu sudah sempurna. Ide gila mendadak muncul di kepala Faga.

Sebelumnya, pemuda itu berniat mendekati Mons dan meminta agar dikembalikan ke bumi lewat keakraban mereka, namun mengingat Mons yang hanya penasaran soal pertumbuhan sayap dan telinga Faga, membuat pemuda itu tak yakin Mons akan benar-benar memberikannya akses dengan portal itu.

Sekarang adalah kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Berbekal pengalamannya saat tawuran, Faga segera menaiki anak tangga yang tersisa dan berlarian masuk ke dalam portal.

Mons, Bald, dan Mint sontak terkejut. Ketiganya tak menyangka Faga akan menerobos. Suara dentuman keras berhasil membuat ketiga penyihir itu menutup telinga serentak.

"ARGH!!" Faga berteriak kesakitan. Tubuhnya ditolak oleh portal. Ia terlempar hingga membuat tubuhnya bedebam jatuh. Lengannya berdarah akibat tolakan tersebut.

Bald marah besar. Ia sudah bersiap dengan sihir apinya untuk memberi budak itu pelajaran. Namun, Mons lebih dulu mencegah. "Dia hanya budak bodoh!" tegur penyihir berambut panjang itu pada Bald.

Mint segera memeriksa keadaan pemuda itu. Luka di tubuh Faga yang lain cukup parah. "Sihir penyembuhku tidak bisa muncul! Mana-ku tidak cukup," ujar Mint. Ia khawatir Faga mati dan Ratu menuntut mereka bertiga.

Mons berusaha berpikir cepat. Melihat Faga yang terkapar tak berdaya membuatnya membayangkan hal yang sama. Mereka bertiga bisa dituntut.

"Sihir penyembuh hanya dimiliki olehku dan Ratu. Apa yang harus kita lakukan?" Mint mencoba menyumbat aliran darah di lengan Faga. Ia menatap Bald dan Mons gentar.

"Bald, panggil ratu kemari. Kita tidak bisa membawa budak ini ke hadapannya. Hanya kau di antara kami yang terbangnya paling cepat."

Bald terlihat bimbang, namun sepersekian detik kemudian, ia melesat menuju istana yang jaraknya tak jauh dari menara.

Avy tiba 5 menit kemudian. Ia segera memberikan Faga sihir penyembuh. Tangannya fokus mengendalikan cahaya kehijauan di sekitar lengan Faga.

"Apa yang membuat dirinya terluka separah ini?" tanya Avy di sela-sela kegiatannya.

Bald, Mons, dan Mint saling lirik. Ketiganya ragu hendak menjawab.

"Jawab!" bentak Avy.

Mons-pemimpin penelitian itu-akhirnya menjawab, "Kami sedang mencoba penemuan kami, Ratu. Sebuah portal menuju dunia lain tanpa harus menggunakan kekuatan kupu-kupu emas. Saat kami sedang berdemo dengan penelitian kami, budak ini tiba-tiba muncul dan mencoba masuk ke dalam portal. Namun, sepertinya dia tertolak."

Avy mengembuskan napas kasar. Hampir saja ia mengira, ketiga penyihir itu menghajar Faga.

***

Mata Faga mengerjap. Kepalanya berdenyut. Pemuda itu menggeram merasakan seluruh tubuhnya sakit.

"Kau sudah siuman?" Mint muncul dengan ekspresi datar. Penyihir berjubah hijau itu mendapatkan tugas khusus mengawasi perkembangan Faga sekarang.

Faga mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri.

"Argh," geram Faga saat kepalanya kembali berdenyut.

Mint segera menggunakan sihir penyembuhnya pada kepala Faga. "Sebaiknya kau istirahat, Nak," kata pemilik mata hijau itu datar.

Faga mendelik sekilas pada Mint. Tangan kirinya mencoba memijat pelipisnya sendiri.

Mint berucap, "Seandainya Mons tidak menjelaskan alasan kau terluka, aku bisa menebak Ratu akan menghukum kami karena sudah membiarkanmu menerobos."

Faga kini menyesal telah nekat melakukan hal ceroboh itu. Ia merasa, yang kemarin itu bukan dirinya. Faga adalah seorang pemimpin geng yang disegani di sekolahnya. Bahkan setiap penyerangan-dalam artian tawuran-Faga selalu merencanakannya dengan matang. Apa ia terlalu mendalami perannya sebagai budak hingga lupa akan jati dirinya?

Terdengar suara pintu diketuk. Mint dan Faga menoleh. Sosok bercahaya keemasan itu menyambut.

"Keluarlah, Mint. Ada yang harus kubicarakan dengan anak ini," ujar Avy melangkah masuk.

Tanpa disuruh dua kali Mint mengangguk dan melangkah keluar setelah menunduk memberi penghormatan.

Suasana mendadak canggung. Faga membuang muka. Ia sama sekali tak tahu harus bersikap bagaimana di depan guru BK-nya itu.

Avy menarik kursi kayu di dekat Faga. Makhluk bermata amber itu mengambil posisi duduk. Menatap Faga penuh wibawa.

Faga masih membuang muka. Ia enggan menoleh.

"Di mana sopan santunmu terhadap Ratu?"

Jantung Faga berdegup kencang. Demi mendengar kalimat yang terasa seperti ancaman itu, Faga akhirnya menoleh. Mata elangnya menatap sekilas sosok Avy, lalu buru-buru menundukkan kepala.

Avy terkekeh. Ia tersenyum miring. "Jadi, bagaimana hari-harimu sebagai budak? Apa kau menikmatinya?"

Faga tak menjawab. Ia mengumpat dalam hati. Andai saja posisi Avy bukan seorang ratu, ia pasti akan mengumpat secara langsung tepat di depan wajah itu.

Tangan Avy terulur pada lengan kanan Faga yang dibebat. Sontak Faga menarik diri.

"Saya hanya mau menyembuhkan lukamu. Biar kamu bisa balik kerja jadi budak," tegur Avy.

Telinga Faga terasa gatal mendengar kalimat ejekan tak langsung tersebut. Pemuda itu akhirnya membuka suara,"Lebih baik saya terus terluka seperti ini daripada harus menjadi budak."

Mata Avy mengerjap tiga kali. "Well, kalau begitu, kamu bakal lama di sini. Malah ujungnya nggak akan balik lagi ke bumi."

Faga mengangkat kepalanya. Ucapan Avy memang benar. "Apa saya tidak bisa menjadi rakyat saja?" Pemuda itu bertanya dengan intonasi sinis.

"Jaga cara bicaramu, Nak."

Faga reflek menunduk. Sial, batinnya. Ia merasakan emosinya tak stabil akhir-akhir ini. Terkadang ia bisa menjadi sangat penakut, terkadang juga ia sangat berani.

Avy mencoba menjulurkan tangannya sekali lagi. Telapak tangannya menyemburkan cahaya hangat kehijauan. Faga tak bisa menolak kali ini. Ia memilih mengunci rapat mulutnya.

"Portal itu," kata Avy. "Akan menyerang kalau yang masuk bukan peri murni. Kamu masih setengah peri, jadi wajar jika kamu terluka parah seperti ini."

Avy menghela napas. "Saya tahu kamu ingin segera kembali ke bumi, tetapi kesempatan menghukum Faga Langit tak datang dua kali."

Faga menatap lengannya yang diselimuti cahaya hijau yang berpendar. Ia diam menunggu Avy menyelesaikan ucapannya.

"Malam itu, saya dilecehkan. Untuk ukuran seorang ratu peri, pastilah saya bisa melawan mereka, tetapi saya menahan diri saat melihat kamu lewat dan menghiraukan saya. Jujur saya kaget, murid yang selama ini saya beri arahan agar hidup lebih baik, malah berharap hidup saya hancur."

Menahan napas, Faga merasakan setelah ini dirinya tak akan baik-baik saja.

Avy menarik tangannya. Ratu para peri itu tersenyum miring. "Kalau kamu mau bebas, kamu harus lakukan apa yang saya perintahkan, atau kamu akan berada di sini selamanya." Sosok berpakaian serba keemasan itu bangkit lalu meninggalkan Faga yang masih sibuk dengan pikiran di kepalanya.

Hening.

Ruang perawatan itu akhirnya menjadi saksi senyum miring seorang Faga Langit. Liat aja nanti.

***

Faga tak punya banyak pilihan. Antara dirinya harus mendapatkan bentakan kasar terus menerus, atau ia berinisiatif sendiri menyelesaikan masalahnya dengan bekerja lebih giat.

Faga sudah bebas tugas dari mansion Hui. Ia kini dipindahkan ke rumah rakyat biasa yang memiliki ladang cukup luas. Pemuda itu sekarang sibuk menanam bibit baru tanaman wortel. Entah itu memang wortel atau bukan, Faga menganggapnya demikian karena bentuknya mirip dengan wortel di bumi.

Pemuda itu mendongak menatap mentari yang kian terik. Peluh membasahi pakaiannya. Sudah dua pekan dia bekerja di rumah Nyonya Moi sebagai pengurus ladang. Faga merasa bersyukur majikannya kali ini adalah orang yang tidak suka membentak. Walau makanan yang disediakan hampir tak pernah enak, setidaknya rasanya jauh lebih baik daripada sup hijau kental yang ia dapatkan saat dirinya bekerja pada Sprout.

Faga menghela napas kasar. Tubuh jangkungnya menggelepar di bawah pohon rindang. Ia harus beristirahat sejenak. Matahari semakin ganas saja akhir-akhir ini, pikirnya.

Seraya melemaskan badan, telinga Faga sayup-sayup mendengar suara dari balik pondok kayu yang berada tak jauh di dekatnya.

"Aku tak yakin, tapi Para Penghancur itu."

"Tutup mulutmu!"

Dahi remaja itu berkerut. Ia mencoba menegakkan badannya. Fokus pada percakapan mereka.

"Tapi melihat keanehan cuaca di Failig, itu cukup masuk akal."

"Para Penghancur itu hanya mitos, bodoh!"

"Mitos bagaimana? Sudah jelas Raja Edward I meninggal akibat ulah merek-"

Faga menghela napas. Ia sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pergunjingan para petani itu, tetapi berada di dunia ini tanpa teman, membuat Faga merasa cukup kesepian.

Mata elang Faga menerawang jauh ke depan. Ia teringat Joan, Putra, dan Han yang selalu mengekorinya setiap hari. Walau akhirnya mereka lebih sering membubarkan diri lebih dulu, hal itu tak membuat Faga membenci mereka.

"Hei, Budak. Kembalilah bekerja."

Faga tersentak. Lamunannya buyar. Pemuda itu mendongak menatap siapa yang baru saja menegurnya.

"Liga," gumam Faga menyebut nama teman sekamarnya.

Liga terkekeh. Ia ikut duduk di samping Faga. Bersandar batang pohon yang lebar, Liga menghela napas panjang.

Pemilik mata elang itu melirik Liga sekilas. Liga selalu saja tampak berwibawa, padahal dirinya hanya memakai pakaian lusuh. Mata keemasan Liga kini beralih ke arah Faga. "Ada apa?"

Faga menggeleng singkat. Ia kembali menatap lurus ke depan. Ladang yang sedari pagi ia garap, sudah hampir selesai.

Rambut cokelat Liga bergerak diterpa angin sepoi-sepoi. Peri bekas kesatria itu sedang menikmati suasana siang yang damai.

"Omong-omong, apa kau tak mandi?" celetuk Liga seraya menutup hidung.

Faga sontak mengendus badannya. "Apa di sini perlu mandi?"

Liga menoyor kepala Faga dengan kesal. "Jadi selama ini kau tidak mandi? Astaga!" Netra keemasan itu menatap Faga sangsi.

Setelahnya, Liga berceloteh dan menasehati Faga. Tak lupa dirinya menjelaskan di mana letak kamar mandi agar mantan teman sekamarnya itu tak menjadi budak menyedihkan.

"Seharusnya aku menunjukkan letak kamar mandi padamu dulu," desah Liga seraya memijat pelipisnya.

Faga menggaruk rambutnya yang terasa gatal setelah menyadari dirinya tak mandi. Sebenarnya, saat hari pertamanya menjadi budak, dia tak terlalu memikirkan soal itu. Terlebih yang ia lihat selama ini adalah para budak bangun dan mencuci muka. Pemuda itu bahkan tak pernah mengira bahwa mereka semua akan mandi setelahnya.

"Pantas saja." Liga bangkit berdiri.

"Lo mau ke mana?" Faga tanpa sadar menggunakan bahasa gaul pada peri di depannya. Cepat-cepat ia meralat, "Kamu mau ke mana?"

Liga mengangkat tas yang ia bawa. "Aku diperintahkan majikanku untuk mengembalikan buku-buku ini ke perpustakaan. Ada apa? Kau mau ikut?"

Perpustakaan, batinnya. Jika ia diharuskan menjadi penyihir sebagai syarat keluar dari dunia ini, pemuda itu harus mengetahui tentang mereka lebih dalam. Ia ingat kata-kata Nub soal mencari semua informasi itu di perpustakaan.

"Saya nyusul." Faga bangkit berdiri. Ia menepuk-nepuk bagian belakang celana, lantas segera menyelesaikan pekerjaannya.

Liga mengangkat bahu. "Kalau begitu, aku tunggu saja." Pemilik rambut cokelat itu kembali menyandarkan tubuhnya di bawah pohon rindang. Ia memilih membaca salah satu buku yang ia bawa untuk mengusir bosan.

***

Hening. Hanya terdengar suara kertas yang dibalik. Faga merasakan atmosfer tempat ini sangat kontras dengan hiruk pikuk di luar.

Pemuda itu melangkah mengikuti Liga menuju tempat pengembalian buku. Keduanya mengantre dengan tenang.

"Kau tidak tertarik membaca salah satu dari mereka?" bisik Liga pada Faga yang berdiri di belakangnya. Ia heran kenapa pemuda itu malah ikut mengantre dengannya.

Faga menelan ludah. Setelah bersitatap dengan Liga sejenak, pemuda itu akhirnya melangkah meninggalkan barisan.

Ini kesempatannya untuk mengetahui lebih dalam soal sihir. Faga merasa kikuk saat ia berjalan di antara rak-rak yang menjulang tinggi. Hampir tak ada budak di sini. Kalau ada, pastilah mereka makhluk-makhluk sejenis Liga.

Beberapa kali pemuda itu mendapatkan tatapan sinis para pengunjung. Mereka berterbangan ke sana kemari dengan senyap, namun tatapan mata merendahkan mereka tak bisa disenyapkan.

Faga mengusap tengkuknya. Di bumi saja, dia tak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan. Bagaimanalah dia mengerti seluk-beluk tempat ini.

"Kau budak itu, 'kan?" suara merdu itu berhasil mengejutkan Faga. Pemuda itu menoleh. Sosok peri berpakaian sederhana, tersenyum padanya.

Sekilas, Faga mengira peri itu adalah Avy, tetapi warna mata mereka sangat berbeda. Peri di hadapannya itu bernetra biru.

"Namaku Ivy Fai. Adik Avy."

Faga bergeming. Ia tak tahu harus merespons bagaimana.

Ivy celingak-celinguk sambil bergumam, "Apa yang kau cari di tempat membosankan ini?" Rambut keemasan Ivy bergerak seirama dengan gerakan kepalanya.

Faga kembali mengusap tengkuknya yang gatal. "... penyihir."

"Apa?" Ivy mendekat. Ia hampir tak mendengar ucapan pemuda itu.

"Buku tentang penyihir," ulang Faga lebih jelas. Ia kini berani menatap manik biru Ivy. Baru kali ini ia tak sebenci biasanya jika bertemu perempuan.

Ivy manggut-manggut. "Aku tahu di mana letaknya. Ikut aku."

***

(Bersambung)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro