Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🦋Chap 7: Telinga

AURUME. Ibukota Failig. Negeri bangsa peri. Distrik itu berada di sekeliling pegunungan yang dibatasi hutan. Di ketiga sisinya terdapat tiga distrik lain. Argentume, distrik pemasok senjata; Aesume, distrik pemasok bahan mentah; dan Ferrume, distrik pinggiran yang sebagian besar dihuni oleh para pemburu.

Di antara 4 distrik, Aurume adalah satu-satunya yang terluas dan termaju teknologinya. Mulai dari perkebunan, Akademi Aeris, Menara Penyihir, serta istana Failig yang megah berlapis kristal berada di ibukota negeri tersebut.

Pagi hari adalah waktu-waktu paling sibuk di Aurume. Mulai dari para kesatria yang bergerombol berangkat menuju akademi, hingga para budak yang sudah sibuk mendorong gerobak hasil panen ke pasar. Para pedagang di sepanjang pasar sudah mulai menggelar lapak. Para peri berpakaian necis terlihat terbang teratur menuju salah satu rumah pohon raksasa. Faga bisa menebak mereka adalah para pengusaha yang super sibuk seperti ayahnya.

Faga menyaksikan semua hiruk pikuk itu setelah keluar dari gerbang mansion milik Hui. Dengan langkah pasti, Faga mulai berjalan menyusuri trotoar. Tujuannya saat ini adalah menara penyihir yang berada di tengah-tengah Aurume. Kenekatan Faga kemarin tanpa disangka ternyata membuahkan hasil. Pagi tadi, Hui memerintahkannya untuk mengirimkan surat balasan pada sang Penyihir di menara. Itulah alasan wajah Faga lebih cerah pagi ini. Di sakunya sudah terlipat rapi secarik amplop titipan majikan. Tiket pertamanya untuk kembali ke bumi.

Sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya membayangkan Joan, Putra, dan Han menyambut kedatangannya dengan bangga. Merokok di jembatan sambil menyaksikan matahari terbenam adalah kebiasaan yang remaja itu rindukan. Walau ia tak terlalu suka dengan ketiga kawannya, tetapi ocehan mereka setiap pulang sekolah menjadi obat tersendiri baginya untuk mengusir sepi.

Tanpa sadar pemuda itu sudah tiba di depan menara penyihir dua puluh menit kemudian. Kepalanya mendongak. Bangunan berlapis marmer itu sangat tinggi, hampir-hampir menembus awan.

"Apa Penyihir Mons ada di dalam?" Faga bertanya pada penjaga pintu menara.

Setelah memindai tampilan Faga dari atas hingga bawah, peri penjaga itu balik bertanya, "Ada urusan apa?" Memberi tatapan curiga. Ada apa seorang budak datang ke mari?

Faga mengeluarkan amplop dari sakunya. "Ada surat khusus untuknya, dari Tuan Hui." Tak lupa pemuda itu memasang ekspresi seolah dirinya sama sekali tak berbahaya. Tampilannya seakan mengatakan, saya hanya budak rendahan yang menjalankan perintah.

Peri penjaga itu akhirnya memberi isyarat agar melewatinya. "Penyihir Mons berada di lantai tiga," katanya.

Faga mengangguk. Berusaha untuk tetap memasang ekspresi datar padahal dalam hati ia bersorak senang. Setelah memasukkan kembali amplop ke dalam saku, remaja berusia 17 tahun itu melangkah melewati pagar penjagaan.

***

"Apa tidak ada cara lain?" Mons bergumam. Ia terus memperhatikan pusaran cahaya di atas meja.

"Sepertinya kita akan mengetahui jawabannya setelah mendapatkan surat balasan dari Tuan Hui," balas salah seorang penyihir di ruangan itu.

Rambut panjang Mons bergerak. Pusaran cahaya di depannya semakin cepat hingga menghasilkan angin di sekitarnya.

Mons kembali bersuara, "Aku tidak yakin portal ini akan berhasil dalam waktu dekat."

Dua penyihir lain di ruangan itu tak banyak komentar. Keduanya fokus memperhatikan perkembangan pusaran cahaya yang dibuat Mons.

Tok ... tok.

Fokus Mons buyar. Begitu juga dua penyihir lainnya. Hal itu mengakibatkan pusaran cahaya buatan penyihir berambut panjang itu menciut.

"Masuk!" teriak Mons sedikit kesal. Tangannya masih berada dalam posisi yang sama.

Suara pintu terbuka. Ketiganya saling bertukar pandang saat mendapati seorang budak remaja muncul dari balik pintu.

"Ada apa?" Bald mendekat. Peri botak itu masih ingat dengan sosok Faga. Sikap pemuda itu saat di Balai Petinggi tak bisa ia lupakan begitu saja.

Begitu juga pemuda itu. Bayangan soal tinju api milik Bald membuat Faga merasa gentar seketika. Seketika nyalinya untuk mengakrabkan diri dengan para penyihir ciut saat itu juga.

Bald bersidekap. "Apa telingamu tidak berfungsi?" tanyanya dengan ekspresi kesal.

Faga tersentak. Pemuda itu tersadar.

Setelah berusaha menguasai diri, Faga menjawab,"Saya diutus untuk menyampaikan surat ini." Tangannya mengulurkan secarik amplop dari sakunya pada Bald.

Penyihir botak itu segera membuka amplop tersebut di tempat. Takzim membaca setiap kalimat yang tertulis.

"Hei, aku sepertinya pernah melihatmu," ujar Mons melirik Faga sekilas.

Faga seketika merasa gugup.

Alis Mons terpaut. Ia berusaha membagi konsentrasinya saat mencoba mengingat sosok Faga. Kesepuluh jarinya masih sibuk melingkupi pusaran di atas meja bundar.

"Ah, kau pesakitan yang dibonceng Nait."

Ekspresi tegang Faga luruh seketika. Ia menghela napas lega. Andai saja Mons mengira pernah bertemu Faga di pasar, pastilah tak ada harapan lagi untuknya. Bisa gawat kalau ketahuan nguping.

Mons memberi isyarat penyihir di sampingnya. "Kau saja yang lanjutkan, Mint. Ini sudah cukup stabil. Mana-ku habis."

Penyihir berjubah hijau itu mengangguk. Mengambil alih pusaran cahaya yang tadinya dijaga Mons. Jemarinya lihai mengatur pusaran itu agar stabil.

Sementara Bald sibuk menerjemahkan maksud surat Hui, Mons melangkah mendekat pada Faga.

"Kau masih terlalu muda untuk membuat masalah di Failig, Nak," ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Faga menggaruk telinganya yang gatal. Mons menatap penuh selidik saat mendapati telinga Faga memerah.

"Apa kau awalnya bukan penghuni Failig?" selidik Mons dengan alis terangkat sebelah.

"Aku mengenalnya. Dia anak tak punya sopan santun yang berasal dari bumi," sahut Bald dari mejanya. Kini peri botak itu sudah mengenakan kacamata dan disibukkan dengan perkamen sihir. Surat dari Hui sepertinya harus dipelajari ulang olehnya.

Pandangan Mons kembali tertuju pada Faga. "Oh, wow ... apa kau sedang dalam masa pertumbuhan sekarang?" tanya Mons lagi.

Faga menggeleng. Lebih tepatnya dia tidak tahu. Pemuda itu memilih diam, namun lagi-lagi tangannya menggaruk telinganya yang semakin terasa gatal.

"Biar kulihat." Mons mengarahkan kepala Faga agar menghadap ke samping. Pria berjubah cerah itu mungkin agak tertarik dengan Faga yang berasal dari dunia lain.

Faga hendak melawan. Ia tak suka sembarangan disentuh Namun, teringat soal misinya mendekati para penyihir itu, dalam satu tarikan napas, ia berusaha menahan diri dan bersikap tenang.

Mons terus mengamati telinga Faga. "Ini aneh. Kapan terakhir kali kau diberikan ramuan oleh Joq?" Jemarinya memeriksa setiap sudut telinga pemuda itu.

Seiring tangan Mons turun, Faga mencoba mengingat kapan waktu ia tiba di asrama budak. "Tiga hari yang lalu," jawab Faga dengan wajah sedikit bersungut-sungut.

Mata Mons berkedip tiga kali. Tanpa aba-aba, pria itu mengepakkan sayapnya hingga mendekati langit-langit ruangan. Faga sontak mundur karena kaget. Ia hampir lupa bahwa semua makhluk di sini bisa terbang-kecuali para budak.

Bald menghentikan kegiatannya sejenak, sementara penyihir berjubah hijau yang sibuk mengurus pusaran sihir itu hanya mendongak sekilas dan berkomentar, "Apa yang mau kau lakukan pada budak itu?"

Mons terkekeh di atas sana. Ia berusaha menarik buku yang sudah usang di rak bagian atas. "Sudah lama aku tidak bertemu dengan makhluk dari dunia lain. Bisa saja itu sedikit membantu proyek kita," pungkasnya.

Mons melesat turun. Ia mendarat tepat di depan Faga. "Apakah setelah ini kau masih ada tugas lain?" gumam Mons tanpa melirik Faga. Tangannya sibuk membuka halaman demi halaman buku yang ia bawa.

Faga menggeleng ragu. Seingatnya, tugas dia hanyalah membersihkan lorong panjang dan rak buku di mansion Hui. Setidaknya lorong itu sudah ia bersihkan sedikit. Ia masih bisa melanjutkannya besok.

"Telingamu itu," kata Mons. "Sangat sensitif terhadap suara. Kemungkinan besar, ramuan yang kau minum dari Joq membuat telingamu memerah saat proses pertumbuhannya. Kau harus diberi ramuan yang lebih kuat agar tak terkena efek samping."

Faga bergidik ngeri. Membayangkan telinganya bertambah besar dan berujung lancip. Hal itu membuatnya berkali-kali mengecek keadaan telinganya.

Mons menutup bukunya tiba-tiba. Pemuda itu tersentak. "Kalau kau mau, aku bisa memberikan ramuan khusus padamu besok. Sekarang kembalilah ke mansion Tuan Hui. Tugasmu sudah selesai di sini, Nak."

Faga ber-yaah kecewa dalam hati. Selama ia berada di ruangan itu, dirinya selalu berusaha curi-curi pandang pada pusaran yang sedang dijaga oleh sang penyihir berjubah hijau di tengah ruangan.

Pemuda itu akhirnya membungkuk hormat. Dengan langkah masygul, ia berbalik pergi.

***

"Dasar budak rendahan! Kenapa mengelap jendela saja kau tak becus!"

Telinga Faga berdenging. Ia terus menunduk. Baru saja, kepala pelayan memanggilnya. Pemuda itu tak terlalu banyak bertemu dengannya karena memang di hari pertama, ia diarahkan langsung oleh Hui, sang pemilik mansion.

"Ini sudah hari ketiga! Kenapa lorong ini masih saja kotor? Apa kau lupa pesan Nub agar membersihkan tempat ini sebelum para tamu tiba!" bentak peri tua itu dengan suara serak. Manik matanya berkilat-kilat berang.

Tangan Faga terkepal. Dengan kepala masih menunduk, ia melirik Nub yang berdiri ketakutan di belakang kepala pelayan. Pemuda itu bahkan sama sekali tak mendapat kabar dari Nub. Kenapa dia yang disalahkan? Faga tak habis pikir akan hal itu.

Sementara sang kepala pelayan mengoceh, Faga menahan diri agar tak mengatakan yang sebenarnya. Ia bisa saja beralasan bahwa Nub sama sekali tak memberitahunya, tetapi membayangkan peri malang itu akan dihukum, membuat Faga urung membela diri.

"Aku tidak mau tahu. Bagaimanapun caranya, petang nanti lorong ini harus bersih!" Sang kepala pelayan berbalik pergi. Meninggalkan Faga yang masih berdiri dengan kepala tertunduk.

Nub menelan ludah. Ia menatap nanar punggung kepala pelayan yang mulai mengecil dari pandangannya.

"Maafkan aku, Faga. Aku benar-benar lupa mengatakannya padamu." Wajah Nub memelas. Pria itu terlihat menyesal.

Faga berdecih. Dengan wajah bersungut-sungut, ia memungut kembali lap kain yang tadinya jatuh akibat hardikan kepala pelayan padanya. Padahal dia harus ke menara penyihir saat itu juga.

Nub buru-buru mencegah Faga melanjutkan tugasnya. "Biar aku saja!"

Alis Faga terangkat sebelah. Seringai keji mendadak muncul di wajah pemuda itu. "Karena ini salahmu, kamulah yang harus menyelesaikannya," ketus Faga seraya melempar kain lap ke arah Nub hingga peri berambut ikal itu gelagapan menangkapnya.

Faga melangkah cepat keluar dari mansion dengan tatapan waspada. Ia tak mau kepala pelayan melihatnya pergi begitu saja. Yang ada di kepalanya sekarang adalah, menara sihir.

Walau ia tak ingin keadaan telinganya diteliti dan disentuh, Faga memilih merasa risih akan hal itu demi mendapatkan akses menuju portal dunia lain.

"Tak kusangka kau kembali secepat ini," sambut Mons saat mendapati seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya adalah Faga.

"Masuklah."

Faga segera melangkah masuk ke dalam ruangan. Tidak seperti kemarin, ruangan besar yang penuh benda-benda aneh itu kini kosong. "Bald dan Mint ada di lab uji coba. Aku sengaja menunggu di sini seandainya kau benar-benar datang." Rambut pirang Mons bergerak seirama dengan langkahnya.

Faga diarahkan agar mengambil posisi duduk di salah satu kursi kayu. Tanpa banyak bicara, pemuda itu segera melakukannya. Walau ia tidak tahu cara mengakrabkan diri, setidaknya menjadi penurut di dunia ini malah menjadi senjata andalannya sekarang.

"Mari kita lihat." Mons sibuk mengamati telinga Faga yang terlihat mulai memanjang. "Apa kau tidak menyadari kalau telingamu sudah bertambah panjang sejak kemarin?"

Keringat membasahi pelipis pemuda itu. Telinga memanjang? Astaga, itu mengerikan.

"Halo, apa kau mendengarku?" Mons melambaikan jemari panjangnya di depan wajah Faga.

Mata cokelat pemuda itu mengerjap. Ia tersadar. "Saya tidak pernah bercermin sama sekali," jawabnya sedikit gentar. Ia masih enggan membayangkan telinganya benar-benar memanjang.

Mendengar itu, Mons hanya mengangguk. Ia memaklumi keadaan para budak yang mendapatkan fasilitas serba terbatas.

"Ini, bercerminlah." Mons memberikan sebuah cermin bergagang pada Faga.

Sontak mata Faga melebar. Jantungnya berdegup kencang saat mendapati telinganya benar-benar memanjang. Hampir sempurna berujung lancip. Seolah tak percaya, Faga kembali meraba kedua telinganya.

Sebenarnya, dia menyadari ada yang aneh dengan telinganya, namun karena takut menerima fakta itu, pemuda itu berusaha menepis semua bayangannya soal telinga lancip-walau kemungkinan besar akan tetap dialaminya.

"Oh, sudah berubah sempurna!" Mons berseru. Hal itu sontak membuat Faga kembali mematut dirinya di cermin. Faga bisa merasakan jati dirinya sebagai manusia mulai menguap.

Ia melirik Mons dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu berkata, "Apakah telinga saya tidak bisa kembali seperti semula?"

Faga tidak tahu kenapa ia harus menjalani prosedur aneh ini. Apakah memiliki tubuh manusia adalah sebuah hambatan untuk naik kasta? Sepertinya tidak, pikirnya.

Mons mengangkat mengangkat kedua alisnya. Ia memilih menjawabnya dengan menyodorkan sebotol ramuan berwarna hijau pada Faga. "Minumlah, setidaknya kau tak akan mengalami gatal-gatal di punggung atau telingamu."

Faga menatap botol kecil di tangannya dengan tatapan curiga. Sepertinya ia mulai parno dengan sesuatu berwana hijau sekarang.

Mengetahui sikap Faga yang terlihat enggan menuruti perintahnya, Mons akhirnya berkata, "Kau mau sayapmu tumbuh, sementara punggungmu merasakan gatal-gatal hebat?"

"Apa!"

Mons tersenyum miring. "Ada apa? Bukankah sayapmu juga akan tumbuh?"

Faga berjengit. Tubuhnya mendadak kaku. Punggungnya? Sayap?

"Berhentilah merengek dan tenggaklah ramuan itu, Nak!" Mons senakin tak sabar.

Dengan terburu-buru, Faga segera menenggak habis ramuan itu.

Sial, batinnya.

***

Bersambung


#salamfiksi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro