🦋Chap 4: Hukuman
"HEI! Di mana sopan santunmu!" Seorang peri bermata biru berteriak. Pelipisnya mengurat. Sepertinya ia tak sesabar Avy dalam menghadapi seorang Faga.
Tempat di mana Faga berada sekarang, disebut Balai Petinggi. Sesuai namanya, pemuda itu sekarang sedang berhadapan dengan para petinggi di tempat itu.
Awalnya, Faga kembali meyakini bahwa ia memang benar-benar bermimpi saat Nait membawanya terbang keluar dari tempat berdinding kulit pohon tadi.
Mata Faga tak bisa tak berkedip saat pemandangan menakjubkan menunggunya. Ia melupakan soal sensasi pertama terbang yang sempat membuatnya gentar.
Banyak makhluk seperti Nait terbang hilir mudik. Pohon-pohon dan kristal raksasa dijadikan tempat tinggal. Saat Faga menatap ke bawah, segerombolan makhluk yang sama, tetapi tak bersayap, terlihat sibuk bahu-membahu mengurus ladang. Beberapa peri berzirah lewat menyapa Nait. Pakaian-pakaian mereka sangat aneh di mata pemuda itu. Rambut dan warna mata warna-warni. Tidak masuk akal.
Faga menelan ludah. Ia mendadak merasa malu dengan dirinya yang dibawa Nait terbang dengan melingkarkan kedua tangannya di ketiak Faga. Banyak tatapan penuh tanda tanya dari para makhluk bersayap itu saat berpapasan dengan Nait. Faga tak tahu harus berekspresi seperti apa hingga mereka tiba di sebuah bangunan berdinding kristal dengan banyak peri berzirah berjaga di depan. Raut wajah pemuda itu langsung berubah lega.
"Aku memaafkan sikapnya, Tuan Bee." Suara Avy memberi atensi. Ruangan tempat Faga diadili itu cukup luas. Faga duduk di kursi pesakitan dengan menghadap sebuah podium penuh makhluk berpakaian indah—walau tak lebih indah dari pakaian Avy.
Faga baru saja membuat keributan dengan menatap tajam para peri yang terbang rendah di atas podium.
"Bagaimana bocah itu bisa ada di sini?" Seorang peri dengan kepala botak akhirnya melontarkan pertanyaan. Ia tak mau memperpanjang masalah.
Avy mengangkat tangannya. "Kemungkinan besar terjadi keretakan gerbang antar dunia. Tuan Bee, mungkin kau harus memeriksanya." Sosok menawan itu tersenyum tipis pada pemilik mata biru tersebut.
Bee mengomel dan segera menyuruh anak buahnya melaksanakan tugas itu. Ia tak mau kehilangan kesempatan memberikan hukuman pada pemuda tersebut.
"Lantas jika memang dia masuk karena kupu-kupu emas, apakah kita akan mengeluarkannya?" Peri botak itu kembali bertanya. Keretakan gerbang antar dunia, pasti berujung pada lepasnya kupu-kupu emas ke dunia lain.
"Aku tidak yakin, Tuan Bald. Sepertinya aku tak bisa melepasnya begitu saja," ujar Avy seraya menatap Faga.
Yang ditatap menelan ludah kasar. Saat sebelum Bee marah, kepalanya dipukul oleh Nait yang terbang rendah di belakangnya, karena berlaku tak sopan pada para petinggi. Ia tak mau membayangkan tangan panjang Nait kembali menyentuh kepalanya, sementara kedua tangannya sendiri diikat ke belakang.
Faga sebenarnya takut untuk kembali bersuara, tetapi sikap arogan dia kembali muncul saat mulai memahami pembicaraan para petinggi. "Kenapa nggak dilepasin aja, sih? Persetan sama tempat ini. Gue nggak peduli. Gue mau pulang sekarang!"
Plak!
Mata Faga melebar. Nait kini tak punya ampun. Ia benar-benar geram dengan bocah tak bersayap di depannya. Pipinya baru saja ditempeleng hingga membuat pemuda itu jatuh tersungkur di lantai kristal. Kursi kayu tempat ia duduk ikut terlempar.
"Hei, Nak," bisik Nait seraya menarik kerah baju seragam Faga. Ia berjongkok di depan pemuda itu dengan tatapan membunuh. "Sekali lagi kau bersikap tak sopan pada Ratu Avy, kau mati."
Faga gentar. Tatapan mata Nait tidak terlihat sedang bercanda. Walau pemuda itu sering berkelahi, kekuatan Nait terlalu mengerikan untuknya.
"Tambahan untukmu jika menatap kami tak sopan," timpal Bald dengan tangan teracung ke udara.
Mata Faga kembali melebar. Ia bisa melihat dengan jelas kobaran api itu menyala-nyala selayaknya obor di kepalan tangan Bald. Faga merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat membasahi pelipisnya. Dengan terpaksa, ia mengangguk pelan tanda paham.
Avy yang sudah cukup melihat peringatan itu, menyuruh semua peri untuk meninggalkan mereka berdua. Sempat menuai protes, tetapi Avy berhasil meyakinkan bahwa ia mengenal pemuda itu saat berkunjung ke dunia manusia. "Aku mengenalnya saat melakukan perjalanan antar dunia."
Setelah ruangan besar itu berangsur sepi, Avy memutuskan terbang menghampiri Faga yang duduk tak berdaya di lantai kristal.
"Bangunlah."
Faga mendongak. Ia menatap ngeri makhluk di depannya. Ia masih memiliki akal sehat. Cukup menebak bahwa ia sedang diawasi dari balik dinding kristal, Faga menurut bangkit.
"Kau pasti sangat terkejut karena guru BK-mu selama ini adalah peri." Avy tersenyum aneh.
Faga hanya menatap makhluk cantik di depannya dengan tatapan kosong. Ia memang sangat terkejut akan hal itu. Pemuda itu mengumpat dalam hati saat mengingat perlakuannya pada Avy. Terlebih, insiden malam itu.
Apa Faga akan dihukum? Mengingat Avy adalah penguasa tempat ini—walau baginya itu sangat konyol dan tidak masuk akal.
"Aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Avy Fai. Ratu ke-7 di Failig."
Faga meringis. Tamparan Nait benar-benar mengerikan. "Kenapa saya bisa ada di sini?" tanya pemuda itu lirih. Akhirnya ia bisa menanyakan pertanyaan wajar setelah berkutat dengan keraguan di hatinya.
Dengan senyuman tulus, Avy menjawab, "Saya tahu kamu pasti terkejut, tetapi apa yang membuatmu masuk ke sini berhubungan dengan saya."
Faga bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Ia mendongak, kembali menatap netra amber sang Ratu. "Maksudnya?"
Dengan kekehan penuh wibawa, Avy kembali bersuara, "Apa kamu lupa soal kejadian malam itu? Saya seorang ratu. Jika jiwa saya terusik atau menyimpan sebuah dendam, keretakan gerbang Failig akan terpengaruh olehnya. Dan mungkin kupu-kupu emas itu mengincar si Pelaku."
Setelah hening beberapa jenak, Faga akhirnya tersadar. Jika semua yang dikatakan wanita itu benar, itu artinya Faga sedang dalam bahaya sekarang. Pupil matanya bergetar. Ia kini sibuk membayangkan apa yang akan dia dapatkan setelah ini. Apa siksaan dari Nait, atau malah tinju api dari Bald?
Faga berjengit. Ia bisa membayangkan dirinya mati konyol jika berlama-lama bersikap seperti ini. Pemuda itu menelan ludah kasar. Tak ada cara lain, batinnya. Dengan tangan yang terikat di belakang, pemuda itu susah payah memposisikan dirinya agar berlutut dengan layak di depan Avy.
"Tolong," lirihnya. "Bawa saya keluar dari tempat ini."
Avy sedikit terkejut. Kata "tolong" keluar dari mulut Faga. Terlebih, wajahnya sangat tulus. Avy menggeleng dalam hati. Ia tetap tak bisa melakukan itu begitu saja. Bahkan pemuda itu belum minta maaf sama sekali atas kejadian malam itu. Seandainya Faga mengucapkan kata "maaf" saat itu juga, Avy bersumpah akan segera mengeluarkannya dari sini.
Faga kembali menyeret lututnya agar mendekat. Ia bersimpuh di bawah kaki Avy. "Tolong bawa saya pergi dari sini." Kali ini pemuda itu mengatkannya dengan jelas. Bahunya bergetar tanda ia sangat ketakutan.
Avy menatap Faga sangsi. Bahkan dalam keadaan seperti ini, kata maaf tak terlontar dari mulutnya.
"Baiklah." Avy mendesah. Ia melirik Faga yang wajahnya kini berubah cerah.
"Tapi ada syaratnya," lanjut Avy.
Faga mendongak. Mata elangnya bisa menangkap senyuman miring makhluk di depannya. Walau merasa aneh dengan ekspresi Avy, ia merasa bayangan soal Bald dan Nait yang akan menghajarnya setelah ini pupus saat itu juga.
"Kamu harus menjadi budak para peri," kata Avy.
"Hah?"
Andai saja telinga Faga bisa ia korek dengan jemarinya, pasti ia lakukan sekarang. Apa ia salah dengar?
***
"Failig itu negeri peri terkuat di sini. Ada 4 wilayah yang berada di bawah pemerintahan Failig. Aurume, tempat ini, adalah pusat pemerintahannya." Avy terus terbang mendampingi Faga yang terduduk di dasar punggung seekor merpati.
Sedikit tergelitik dengan sikap Faga yang gentar. Padahal Nait mendampingi di depannya. Menjadi pilot untuk Faga.
"Faga, apa kamu mendengar saya?" Avy bertanya.
"Ya, saya mendengar," jawab Faga dengan suara gemetar. Jemarinya mencengkeram erat rompi yang dipakai Nait. Sementara sayap Nait terlipat agar Faga bisa fokus berpegangan pada makhluk itu. Avy sempat menjelaskan bahwa sayap mereka bisa dilipat dan disembunyikan kapan saja. Tetapi itu ibarat memaksa tangannya disembunyikan, ungkap Avy beberapa menit sebelum penerbangan dimulai.
"Kami akan mengantarmu ke asrama para budak. Sebenarnya tidak disebut budak juga, karena hanya beberapa budak di Failig. Mereka adalah narapidana yang dihukum."
Avy terus mengepakkan sayapnya mengiringi merpati putih yang ditunggangi Faga dan Nait. Kepakan sayapnya meninggalkan jejak serbuk cahaya.
Ia kini melirik ekspresi Faga yang masam. Berusaha menahan tawa, makhluk menawan itu kembali menjelaskan. "Di Failig, ada 6 tingkatan kasta. Pertama, yang paling atas, adalah aku. Sang Ratu."
Faga menelan ludahnya susah payah. Selain harus berususan dengan punggung merpati yang ia tunggangi, ia juga harus tetap fokus pada setiap penjelasan Avy. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Namun, setelah Avy mengatakan kembali soal dirinya yang menguasai tempat ini, Faga mengurungkan niatnya.
"Lalu kedua, di bawah sang Ratu, ada penyihir. Mereka peri dengan kemampuan sihir dan menduduki kursi petinggi di Failig, serta beberapa menjadi gubernur Aurume dan 3 distrik sisanya."
Avy menunjuk sebuah menara marmer di tengah tempat itu. Ia kembali menjelaskan soal betapa pentingnya menara itu untuk para penyihir. Karena di sanalah pusat perkembangan teknologi Failig.
"Lalu di bawahnya, ada kesatria. Nait adalah salah satunya. Tugas kesatria peri mirip-mirip dengan tentara di bumi. Menjaga keamanan."
Faga kembali ciut. Pantas saja Nait sangat kuat, batinnya. Ia ingin sekali melepaskan cengkeramannya dari rompi Nait, tetapi ia lebih takut nyawanya melayang akibat jatuh dari ketinggian.
"Kau dengar itu, Nak? Jangan macam-macam!" desis Nait dengan seringai keji.
Faga hanya bisa berusaha bersikap tenang agar Nait tak berlaku buruk padanya.
"Ketiga, ada para pekerja. Mungkin kalau di bumi sebutannya pengusaha, pengajar, dan semisalnya. Mereka yang mengendalikan perekonomian Failig." Avy menunjuk segerombolan peri berpakaian rapi dengan gulungan kertas kusam di tangan mereka.
Gerombolan peri berpakaian necis itu membungkuk saat Avy terbang melewati mereka. Beberapa darinya sibuk mengawasi Faga yang dibonceng Nait. Mereka sudah mendengar kabar soal pemuda asing yang tak tahu sopan santun itu.
Avy kembali mempercepat kepakan sayapnya. Nait otomatis mengarahkan sang merpati agar segera mengiringinya.
"Kelima, ada rakyat biasa. Merekalah yang biasanya mempunyai budak untuk membantu pekerjaan sehari-hari mereka, di saat mereka harus menjalani kehidupan sebagai seorang rakyat di Failig. Biasanya mereka mengurus ladang atau menjadi karyawan di bawah arahan para pekerja. Mungkin istilahnya salah, tetapi para pekerja ini memang sangat penting untuk pertumbuhan Failig."
Faga mengangguk. Ekor matanya menatap pemandangan di bawahnya berupa para makhluk tak bersayap sibuk membajak tanah. Avy bisa menebak pemuda itu sedang penasaran.
"Mereka adalah para budak. Kasta paling bawah. Sayap mereka sengaja dilipat dan disegel sihir penahan. Hanya bisa terbuka jika masa hukumannya selesai. Para budak bertugas melayani tuannya, yaitu rakyat Failig."
Avy mendarat tepat di sebuah rumah pohon dengan teras papan kayu. Nait memberi isyarat Faga agar loncat turun. Pemuda itu mengangguk lalu segera melompat.
"Jika kamu ingin keluar dari dunia ini, kamu harus menaikkan kastamu hingga menjadi penyihir."
"Apa?" Kedua bola mata Faga seakan mau keluar. Pemuda itu setengah tak percaya dengan ucapan Avy barusan. Ia melotot tak habis pikir.
Avy terkekeh. "Bukannya kamu ini pemimpin geng paling kuat di sekolah? Suka ngajak tawuran dan selalu menang?"
Ucapan Avy telak mengenai ulu hatinya. Benar-benar membuatnya malu akan dirinya sendiri.
Avy menyodorkan gulungan kertas yang sedari tadi ia bawa. "Ketuk pintu rumah ini, dan serahkan gulungan ini jika kau tak ingin tidur di luar."
Kedua sayap keemasan Avy kembali mengepak. Namun kali ini ia memilih membonceng di belakang Nait.
Nait gelagapan. "R-Ratu! Apa yang—"
"Jalan," titah Avy.
Tanpa di suruh dua kali, peri itu segera menghentak sang merpati agar terbang.
Bahu Faga lemas. Apa yang barusan terjadi?
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro